Agustus 1971.
Aku termasuk salah seorang dari delapan ratus lima puluh tapol[ii], yang diangkut ke proyek kerja paksa di Pulau Buru. Rombonganku ini merupakan rombongan tapol ketiga dari dua Rumah Tahanan Chusus (RTC) di Salemba Jakarta dan Tangerang.
Kami meninggalkan RTC Tangerang pada 2 Agustus 1971, tiba di perairan Namlea tanggal 8 Agustus, dan menginjak tanah di dermaga Namlea tanggal 10 Agustus. Sesudah dibariskan dan diapel di sepanjang jalan di depan kantor Kodim, kami digiring oleh banyak tonwal menuju ke Jiku Kecil. Desa ini terletak sekitar 3 km di luar kota kecamatan, arah timur laut, di sana ada sebuah unit dibangun di samping asrama tentara kompi sekian batalyon sekian dari Divisi Pattimura. Di unit transito ini, begitulah namanya karena memang sekedar tempat tapol bertransit, kami diberi waktu tujuh hari untuk “aklimatisasi” dengan lingkungan dan cara-cara hidup yang baru sama sekali. Di gapura jalan di sana-sini memang ditulis besar-besar “menuju hidup baru”, “menuju masyarakat pancasilais”, dan yang lain-lain semacamnya.
Sesudah selesai upacara 17 Agustus di lapangan apel unit transito, kami semua dibawa ke unit-unit bakal tempat pemukiman kami. Kami diangkut dalam beberapa sampan bermotor atau sekoci, tapi — entah mengapa — istilah yang digunakan ketika itu sepatah kata asing sloep (Belanda) atau sloop (Inggris), tapi diucapkan seperti dua “o” dalam Belanda. Sebuah contoh perkawinan paksa kebodohan Orde Baru dalam bidang kebahasaan.
Kami dibariskan dalam kelompok-kelompok menurut urutan nomor baju, berjalan kaki dari Jiku Kecil menuju dermaga Namlea. Setelah menunggu berjongkok sepanjang jalan di depan kantor Kodim Namlea, tetap dalam barisan, berjam-jam di bawah sengatan matahari terik langit Namlea yang tandus, kami digiring turun berloncatan dalam sloep yang telah menunggu berderet-deret. Satu demi satu kami harus melompat, sambil meneriakkan nomor foto di baju masing-masing, dan menerima pukulan gada karet tonwal di kepala. Terjun di dasar sloep kami langsung harus berdiri tegak, seperti batang-batang gedebog pisang yang ditata berhimpit-himpitan. Ransel dan segala rupa bawaan tidak boleh ditaruh di lantai sloep, tapi dijunjung di atas kepala atau bahu.
Lima ratus tapol menyeberangi teluk Kayeli menuju pantai Sanleko, dan dari sana disambung dengan berjalan kaki menuju Unit XIV Bantalareja; dan yang tiga ratus lima puluh sisanya menuju ke Kaki Air (muara Wai Apo) di ujung teluk sana, dan dari sana menuju dermaga Air Mandidi, untuk diteruskan dengan berjalan kaki menuju Unit XV Indrapura. Yang menuju Unit XIV dipimpin Komandan Unit (Dan Unit) Lettu Sukirno dari Brawijaya, dan yang menuju Unit XV di bawah Lettu Suyadi yang tak lama kemudian diganti oleh Lettu Doim dari Siliwangi. Selang dua-tiga bulan kemudian, jumlah penghuni Unit XV itu pun segera digenapkan menjadi lima ratus orang dengan tapol-tapol r-t-c Jakarta dan Tangerang angkatan berikut. Semua unit tapol di Buru memang masing-masing diisi dengan lima ratus orang, selain Unit I Wanapura dan Unit II Wanareja yang masing-masing seribu orang.
Apa itu unit tapol?
Yaitu komplek tempat pemukiman, dalam hal ini pemukiman untuk “tapol G30S/PKI”. Semuanya ada sembilan belas unit, terdiri dari delapan belas unit pemanfaatan dan satu unit penghukuman.Yang delapan belas disebut menurut nomor urut, dan biasanya ditulis dalam angka romawi, sedangkan yang satu disebut menurut nama desa di mana unit itu terletak, yaitu Unit Jiku Kecil, yang dahulu merupakan unit transito seperti sudah disinggung di atas. Belakangan, tepatnya sejak 1976, unit yang delapan belas ini ditambah lagi dengan tiga unit, yang masing-masing mendapat nama sandi huruf, bukan angka romawi, yaitu unit-unit R, S dan T — seperti pernah diceritakan pada tulisan terdahulu. Sementara itu kedudukan Markas Komando (Mako) Inrehab, telah dipindah dari Namlea ke pinggir sungai Wai Apo, di dekat Unit I dan Unit II. Karena itu juga Unit Jiku Kecil sejak tahun 1974 dipindah ke seberang Teluk Kayeli, menyatu dengan unit-unit lainnya, dan menjadi tetangga Unit IV Savanajaya dan Unit XIV Bantalareja. Fungsi Unit Jiku Kecil sebagai unit tempat hukuman tapol “kepala batu” pun telah diubah, setidaknya secara formal, menjadi sama seperti unit-unit lainnya. Unit isolasi pindahan ini, karena letaknya di limbah pasang air laut, kemudian dikenal sebagai “Unit Ancol”. Ancol ialah daerah limbah pasang air laut di Teluk Jakarta.
Sebagian besar unit-unit itu terletak berserakan di sana-sini di lembah Sungai Wai Apo, kecuali Unit IV Savanajaya, Unit XIV Bantalareja, terletak dekat aliran Sungai Wai Bini, dan Unit XV Indrapura dan Unit XVI Indragiri terletak dekat aliran Sungai Wai Tele dan Wai Meten. Walaupun begitu karena letak Unit XV dan Unit XVI yang tidak jauh dari Unit I dan Unit II, maka areal sawah di dua unit ini bergantung pada saluran sodetan dari waduk “Karso(n)tani” di Unit I dan Unit II.
Empat unit tersebut, Unit IV, XIV, XV dan XVI, biasa disebut oleh tapol di sana sebagai “unit bawah”, sedangkan unit selebihnya biasa mereka sebut sebagai “unit atas”. Di sini kata-kata “bawah” dan “atas” tentu saja tidak punya kaitan sama sekali dengan jenjang kepangkatan atau matabat sosial penghuninya, melainkan dengan letak medan areal dalam kaitannya dengan aliran sungai dan letak laut. Areal yang di sekitar “muara” dan laut disebut sebagai “bawah”, dan yang di sekitar “hulu” atau jauh dari laut disebut “atas”, atau dalam istilah penduduk setempat yang “bawah” disebut “kaki”, karenanya ada kampung Kaki Air, dan yang “atas” disebut “kepala”, karenanya ada kampung Kepala Air.
*
Sejatinya tidak 100% salah jika ada orang mengatakan, bahwa pemerintah Orde Baru punya “kejujuran” dan punya “hati nurani”. Dalam hal menyebut unit-unit tapol di Pulau Buru ini, misalnya, digunakan istilah “tefaat”, akronim dari “tempat pemanfaatan”. Karena sekitar dua belas ribu tapol laki-laki dari Jawa itu, diangkut gelombang demi gelombang ke sana, memang tidak sekadar untuk mengosongi penjara-penjara di kota-kota besar di Jawa dari tahanan politik saja. Mereka diangkut dan dimukimkan di sana untuk dimanfaatkan tenaga kerja mereka, mengubah Pulau Buru yang tandus menjadi pulau yang mengalirkan “emas putih” (istilah mereka untuk sagu) dan “emas merah” (istilah mereka untuk kayu meranti), mengubah hutan dan savana menjadi beras dan palawija. Seperti kata Iqbal, untuk “mengubah tanah jadi tembikar, mengubah racun jadi penawar …”
Belakangan sebutan “Tefaat Buru” ini, tentu karena di telinga terdengar kasar dan di hati terasa menodai azas perikemanusiaan Pancasila, nota bene yang mereka sendiri gembar-gemborkan, lalu diubah menjadi Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Pulau Buru. Sepatah akronim yang tidak lebih sebagai ungkapan pelembut atau eufemisme dalam gaya berbahasa, untuk membikin enak pendengaran telinga dan perasaan hati itu. Dua perkataaan asing itu ibarat selimut bulu ayam yang diselimutkan di tubuh seekor musang. Sama seperti dahulu Rumah Penjara (RP) diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP), atau yang dalam bahasa sehari-hari Hotel Pro Deo. Isi dan sifatnya tetap sama: penjara. Sedangkan untuk Inrehab Pulau Buru, atau namailah apa saja, Buru bagi tapol lebih dari penjara, tapi tempat di mana orang diubah menjadi rajakaya seperti halnya kerbau dan sapi atau kuda. Sesungguhnya yang membikin beda antara tapol dengan hewan rajakaya itu hanya satu saja: hewan tidak bisa berbicara, sedangkan tapol bisa berbicara. Walau untuk bicara itu pun mereka tidak punya kebebasan. Di r-t-c Salemba dulu jika pada pagi hari tapol mendapat waktu satu jam untuk ke kakus, mereka gunakan kesempatan yang amat sempit itu juga untuk tertawa terbahak-bahak, tanpa ada sesuatu yang harus mereka tertawakan. Di Buru pada tapol berlaku konsinyes keras, yang selalu ditekan-tekankan oleh tonwal: “dilarang berbasa-basa.”
Ketika kami tiba di Unit XIV Bantalareja hari sudah sekitar senja. Aku sendiri tiba ketika bayangan tubuhku di tanah sudah pecak tujuh, yaitu sudah sepanjang tujuh tapak kaki. Berarti sudah sekitar jam empat. Tapi beberapa kawan baru masuk sesudah lonceng tonwal di gardu jaga terdengar berdentang delapan kali.
Sebenarnya jarak Sanleko – Bantalareja paling jauh 5 km saja. Tapi ternyata jarak itu, yang mestinya cukup ditempuh dalam satu jam perjalanan kaki, telah kami tempuh selama setengah hari dan bahkan lebih. Ini karena kami semua sudah bertahun-tahun tidak pernah berjalan jauh, kemudian tiba-tiba harus berjalan dengan bertelanjang kaki dan merambah jalan yang benar-benar berupa “jalan setapak” atau “jalan babi”, yang harfiah memang demikian: selebar tapak kaki dan berbekas tracak kaki babi. Jalan itu berliku-liku di antara kusu-kusu, sabana ilalang, perdu dan krinyu, serta terkadang menyeberang rawa-rawa sagu. Lagi pula RTC Tangerang, ketika kami diberangkatkan, belum terlalu lama lepas dari berbulan-bulan mengalami isolasi berat. Sehingga ada enam puluh empat kawan yang dari r-t-c ini yang berangkat dalam keadaan lumpuh, dan karenanya harus kami pikul bergantian dengan “tandu” kain sarung; ada pula sekian banyak orang tua, ditambah dengan sekian lebih banyak lagi mereka yang dalam (menurut istilah kami) keadaan “fisik lemah”. Mereka ini perlu dibarengi berjalan, terkadang harus agak dipapah dan digendongkan ransel atau bawaan mereka. Ketika itu aku sendiri berjalan membarengi seorang tokoh “pki-tua” bertubuh renta, yang tak kenal wajah murung, atau pak Mangkudum Sati atau pak Risi — salah satu dari dua itu, aku tak ingat benar.
Ketika melalui areal persawahan Unit IV Savanajaya, di sepanjang pinggir jalan pada jarak sekitar lima puluh meter, ditaruh ember-ember plastik berisi singkong rebus dan ceret-ceret berisi air minum. Tentu saja semuanya itu disediakan oleh kawan-kawan Unit IV untuk kami, yang memang belum makan dan minum sejak meninggalkan unit transito pagi tadi. Tapi tidak ada seorang kawan pun yang tampak dan sengaja mengelu-elukan kami. Mereka dilarang menemui kami, seperti kami pun dilarang bertegur sapa, jika di perjalanan menjumpai mereka.
“Mas!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapaku. Senyumnya tak pernah hilang dari ingatanku.
Seorang tapol bertubuh jangkung muncul dari semak-semak. Aku dan bapak “tokoh tua”-ku tiba di pinggir kali Wai Rata.
“Mas Tris!” Seruku kembali, sambil memeluknya. Ia Tristuti Rachmadi, dalang wayang kulit kondang sebelum 1965.
“Aku dengar sampeyan sudah mati!?”
“Alhamdulilah aku tidak, Mas. Mas Slamet yang katut …”
Yang dimaksud dengan “katut” ialah katut dibunuh bersama sekian banyak “orang komunis” pada “Peristiwa Purwadadi”. Yang disebut “Mas Slamet” ialah kakak Tristuti, juga seorang dalang terkemuka berasal Purwadadi. Ia salah seorang anggota pimpinan Lekra Cabang Purwadadi. Pada festival pedalangan se-Indonesia tahun 1962, kalau ingatanku tidak keliru, Bung Slamet pernah terpilih sebagai dalang wayang kulit nomor satu. Tentang Peristiwa Purwadadi itu sendiri kubaca di koran, ditulis oleh H.J.C. Princen, ketika aku masih di tempat tahanan operasional di Paskoarma II Cilandak Jakarta. Adapun tentang berita kematian Tristuti, justru tidak tentang Slamet, kudengar dari sesama tahanan, Sersan KKO Sugiarto, yang juga berasal Purwadadi dan berkepandaian mendalang. Pembunuhan masal itu, menurut cerita Mas Sersan dalang ini, dilakukan di hutan dan sengaja tidak ditembak agar tanpa suara. Tapi leher kurban direnteng dengan jerat kabel, kemudian ditarik dari ujung ke ujung sekaligus.
Kami lalu segera mengakhiri tegur-sapa. Menghindari agar tidak sampai kepergok tonwal. Tristuti kembali menyelinap di balik kusu-kusu, aku dan “Pak Tua” meneruskan perjalanan. Kilatan sinar matahari di atas seng atap bangunan komplek unit sudah kutangkap di ujung mataku.
*
Komplek bangunan unit memang sudah berdiri ketika kami tiba. Dibangun oleh zeni angkatan darat di atas padang alang-alang, yang ada di tengah hutan dan semak-semak belukar. Komplek ini terdiri dari bangunan sepuluh barak, yang terletak di dalam lingkungan pagar kawat berduri, lima barak berjajar di sebelah sana dan lima yang lain di sini, masing-masing berukuran sekitar 9 x 21 meter. Beratap welit daun sagu, tiang-tiang, usuk dan reng dari batang dan ranting kayu berbatang keras — seperti kayuputih dan laban yang banyak tumbuh di sana –, berdinding pelupuh bambu, dua pintu belakang dan depan serta tiga pasang jendela di kiri dan kanan dari papan kasar. Lantai barak berupa tanah belaka, dengan hamparan “kapling” berupa balai-balai plupuh memanjang di kedua sisi, masing-masing untuk dua puluh lima tapol. Ruangan kosong di antara dua kapling itu diisi dengan meja papan memanjang, lengkap dengan bangku papan sepanjang meja itu, untuk tempat kami makan ransum jatah pagi (bulgur 200 gram) dan petang (nasi 150-200 gram).
Di belakang deretan barak-barak di sebelah sini, demikian juga yang di sebelah sana, terdapat satu bangunan dapur umum untuk melayani dua ratus lima puluh tapol. Satu pompa air “dragon” tersedia di samping dapur. Di luar pagar kawat berduri sana mengalir sungai kecil, Wai Tui, yang dangkal dan tak mengalir deras, dan bermuara di rawa-rawa sagu. Di atas aliran sungai ini di pasang papan-papan melintang, tanpa dinding, untuk tempat kami jongkok ketika mandi atau buang hajat. Agak jauh di atas sana untuk tonwal, dan di bagian bawah sini untuk tapol.
Bangunan untuk kediaman tonwal disebut mes, dan bangunan untuk komandan unit serta stafnya (yaitu wadan unit, kepala gudang, mantri tani atau kepala gusgastan [gugus tugas pertanian], dan mantri kesehatan atau juru rawat), disebut wisma. Mes dan wisma berdinding papan dan beratap seng, tetapi mes tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus seperti wisma. Dengan demikian tiga patah kata itu (barak, mes, dan wisma), tidak hanya merupakan kata-kata penyebut jenis bangunan. Tapi juga menunjuk tentang sisi atau aspek kehidupan yang tampak menggejala, malahan juga sekaligus menunjuk pada kedudukan dan hubungan sosial-politik antara ketiga-tiganya itu.
Barak ialah kandang tapol, mes ialah kediaman alat kekuasaan, dan wisma ialah persemayaman kekuasaan itu sendiri!
Ada dua buah bangunan lagi, terletak di belakang wisma. Yaitu bangunan gudang yang berisi alat-alat kerja tapol seperti pacul, arit, parang, kampak, gergaji; dan bangunan poliklinik yang kosong dengan obat-obatan, kecuali aspro yang persediaannya sangat terbatas.
*
Begitu tiba di barak kami segera mencari kapling masing-masing. Semua harus mengambil tempat masing-masing, berturut-turut sesuai dengan urutan nomor baju yang dikenakannya. Bagi penguasa ini penting, karena akan memudahkan bagi mereka dalam melakukan pengawasan dan pengamanan. Jadi, misalnya, karena aku bernomor baju 438, dengan sendiri aku masuk dalam Barak IX. Di sebelah kananku Soleh Amat, bekas pimpinan Lekra Cabang Semarang, kemudian pimpinan pusat SBKB (Serikat Buruh Kendaraan Bermotor) di Jakarta; di sebalah kiriku Syamsudin Gobel, pemuda berasal Gorontalo, anggota Pemuda Rakyat Jakarta Raya, dan di sebelah kiri Gobel ialah Heru Santoso, salah seorang pemimpin CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) Jawa Timur. Heru mati di Buru tahun 1979 karena sakit kuning akibat sirosis, dan Gobel kembali ke Jakarta sudah kehilangan segala-galanya, juga istri dan dua anaknya. Di sebelah kiri Heru kapling Slamet Karyadi, mahir dalam kiat bela diri pencak silat dan karate, salah seorang dalam kelompok penjaga keamanan CC-PKI di Jalan Kramat Raya 81 Jakarta. Ia lebih dikenal sebagai Slamet Kondor, karena berpenyakit kondor (burut, hernia), akibat siksaan berat yang dialaminya. Dua kapling sebelum kapling terujung di dekat pintu masuk, kapling pak Kromorejo, anggota pimpinan SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) Cabang Cilacap, bekas romusha yang dipekerjakan tentara Jepang ketika membangun Burma Road semasa Perang Pasifik, dan tinggal di sana beberapa tahun sesudah perang usai. Pak Kromo, walaupun tokoh pemimpin serikat buruh tingkat cabang, yang pernah bertahun-tahun di Burma dan menikahi perempuan sana dan punya dua anak, tapi dalam hal berbahasa tetap “bahasa jawa miring” alias, kita menamainya, “jawa ngapak-ngapak”, yaitu bahasa Jawa logat Bagelen. Baginya bahasa Indonesia masih perlu dipikir sebelum diucapkan, belum berada bersama getaran ujung lidahnya setiap saat. Kapling paling ujung ialah kaplingnya Bambang Irawan, kepala barak, yang bernomor baju 450. Ia seorang muda berdarah biru murni dari kraton Yogyakarta (ayahnya kakak Sultan HB IX), anggota pimpinan PB IPPI (Pengurus Besar Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Berseberangan tepat di depannya kapling Suwardi Penjol, yang bernomor baju 401, kawan akrab Irawan. Ia pemimpin IPPI daerah Jakarta Raya, wakil kepala barak. Ketika diperiksa oleh satgas intel pusat, di antara mereka seorang yang terkenal bernama Acep, untuk memeras pengakuan sambil menjatuhkan semangat, di meja interogasi di depan Penjol sepasang muda-mudi kader IPPI yang dikenalnya ditelanjangi, dipaksa bersanggama dengan tubuh mereka dililit kawat tembaga penyetrum.
Selang beberapa kapling dari 401 kapling Kadis Margono, salah seorang pimpinan Denas Sobsi (Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Di sebelah Kadis Margono ialah Karta bin Deris, seorang muda Betawi tulen, anggota Pemuda Rakyat Pasar Minggu, pencipta istilah “sip” yang diberinya arti “makanan tambahan” atau “extra voeding”. Langsung di sebelah kiri Karta, kapling seorang muda sebaya, berkulit hitam bermata tajam, sangat pendiam, hanya sepatah nama: Supardjo. Konon ia seorang guru s-d Cawang II Jakarta Selatan.
Malam pertama itu kami belum bisa apel di luar barak. Bidang tanah di depan deretan barak-barak masih berupa hamparan alang-alang yang tumbuh rapat dan setinggi tubuh. Itu menjadi tugas kami besok, sambil menunggu datangnya alat-alat kerja yang belum dipunggah dari kapal, untuk mencabutinya dengan tangan telanjang. Lapangan apel yang seperti layaknya sebagai hamparan medan alun-alun kekuasaan, di depan wisma dan-unit dan di samping mes tonwal di luar pagar kawat berduri sana, juga masih menunggu tenaga kerja dan siraman keringat tapol.
*
Lonceng tanda waktu terdengar berdentang sepuluh kali. Lonceng itu sebuah besi bekas bom, yang digantung di depan gardu jaga. Kami semua sudah terlalu mengantuk karena kelelahan, da tidak mengira masih akan dilakukan apel malam. Karena itu kami bahkan sudah berbaring di dalam kelambu, juga untuk menghindari gigitan nyamuk dan agas yang luar biasa banyak. Penerangan barak hanya oleh sinar tiga bohlam, masing-masing 25 wat, dua di dekat pintu masuk dan pintu keluar, dan satu di tengah ruangan. Lantai tanah di dalam barak juga terlalu becek dan melumpur, karena sinar matahari siang masih terhalang oleh lebatnya kusu-kusu dan hutan.
Belum lenyap gaung pukulan terakhir lonceng dari telinga, segera terdengar disusul oleh dentang bunyinya yang sejurus terus-menerus. Aba-aba apel malam! Dengan kaki telanjang kami semua segera berdiri di depan kapling masing-masing.
Tiga orang tonwal mengambil apel dari barak ke barak, mulai barak satu sampai barak sepuluh. Seorang komandan apel, berpestol di pinggang, dengan dua anggotanya menyandang karaben. Yang berpestol membawa lampu senter, dan dua lainnya yang satu membawa buku apel dan yang lain membawa lampu gantung kecil.
Tiba di barak kami, Barak IX, tiga tonwal Pattimura itu berdiri di depan pintu. Irawan berdiri tegak di depan mereka, dengan sikap sempurna seperti prajurit bawahan di depan opsir. Ia membungkuk hormat. Kami semua diam. Terasa ketegangan mencengkam. Irawan membalikkan badannya, dalam gaya berbaris, membelakangi para serdadu.
“Siaaap, grak!” Teriaknya.
Kami semua berdiri tegak mematung. Muka memandang lurus ke depan, dua tangan lurus-lurus ke bawah dan mengepal tinju.
Irawan kembali membalikkan badannya, menghadapi sang raja-raja kecil.
“Lapor!” Teriak Irawan. “Barak sembilan. Limapuluh orang. Siap menerima apel!”
“Kembali ke tempat!” Perintah si kopral, komandan apel.
“Kembali ke tempat!” Teriak Irawan lagi. Membeo, seperti layaknya tentara bawahan.
Irawan lalu berdiri tegak di depan kaplingnya, seperti juga kami semua.
“Istirahat di tempaaat, grak!” Perintah serdadu pembawa buku apel.
Kami semua “istirahat” di tempat masing-masing. Buat serdadu aba-aba istirahat itu berarti tetap berdiri tegak, membungkam mulut, tapi tidak perlu bersikap sempurna seperti patung.
Komandan apel lalu mengayun langkah-langkah keangkuhan kekuasaannya, diiringi seorang yang berlampu gantung. Berdiri sejurus di depan setiap kami, lampu senter disorotkan ke wajah dan nomor urut di dada baju kami. Bermula dari ujung depan sebelah sini, dan berakhir di ujung depan sebelah sana.
“Sem’wa, siaaap grak!” Terdengar aba-aba dari si pembawa buku apel.
Kami semua segera berdiri mematung lagi.
“Dari belakang kanan berhituuung, mulai!”
Lalu mulai dari kapling paling ujung sisi kanan, terdengarlah suara teriakan pak Jimsar disahut sambung-bersambung, masing-masing menyebut bilangan angka berturut-turut. Tiba giliran pak Kromoredjo sahutan teriakan tiba-tiba macet. Yang terdengar diteriakkannya sepatah kata bilangan, yang sama sekali tidak bisa dimengerti oleh telinga tonwal-tonwal Pattimura itu.
“Du … du … dualikur!” Teriak pak Kromo. Rupa-rupanya ingatannya telah menjadi mampat tiba-tiba oleh ketegangan. Bukannya teriakan kata “dua dua” atau “dua puluh dua” yang terlempar dari mulut. Tapi terjemahan dari kata Jawa “rolikur”.
“Apa?!” Hardik komandan apel. “Main-main kamu, ya?!”
Bersamaan dengan bentakan komandan apel, yang sedang hendak melangkah untuk “kasih perhitungan” pada Kromoredjo, terdengar suara tawa cekikikan meledak dari kapling berseberangan.
“Siapa itu?” Bentak yang membawa lampu gantung. Ia pun menghampiri arah suara tawa, siap mempermak si pengetawa.
“Jangan pak!” Tiba-tiba terdengar suara Irawan menahannya.
“Apa kamu?!”
“Dia begini, pak!” Katanya sambil menyilangkan telunjuknya di dahi, di bawah penerangan samar-samar bohlam barak.
Arah suara tawa itu dari seberang kapling Gobel. Tentu bukan tawa Kadis Margono, orang yang kukenal lama selagi ia masih memimpin Sobsi Jawa Tengah di Semarang, dan juga bukan suara Karta bin Deris yang berlogat Betawi kental. Supardjo barangkali, pikirku.
“Apa?!”
“Dia begini!” Irawan mengulangi bahasa isyarat dengan telunjuk dan dahinya.
Suasana sejurus diam. Tiga serdadu tonwal saling berbisik.
“Pus-ap! Semua!” Tiba-tiba meraung sang komandan.
Kami semua push-up di lantai barak yang berlumpur. Terus dan terus, sampai kami semua tengkurap kelelahan. Kromoredjo tidak jadi dihukum. Begitu juga Supardjo urung dipermak.
Apel terhenti. Karena seketika telah berubah menjadi adegan pemanasan di malam pertama.
Hersri Setiawan, [i] Mantan tahanan politik yang ditahan di Pulau Buru dari tahun 1971-1979.
[i] Tahanan politik diangkut ke Pulau Buru secara bergelombang, total yang ditahan di pulau itu sebanyak 10-12 ribu orang dari seluruh Indonesia.
Aku sebagai keponakan dari paman Tristuti Rachmadi baru tahu kisah almarhum selama di Pulau Buru.
Aku baca dengan cermat, namun aku bangga bahwa almarhum bisa kembali ke Jawa dan bertemu dengan semua saudara dengan bahagia.
Kepergiannya sudah tidak di sana dan dalam keadaan baik .
membaca ini aku menangis.. aku teringat ayah saat menceritakan pengalamannya menjadi tapol di pulau buru..