Hari ini, tanggal 8 September, merupakan Hari Keaksaraan Internasional yang diperingati setiap tahun di seluruh dunia. Bagi Indonesia, peringatan ini mengingatkan masyarakat dan pemerintah Indonesia akan situasi keaksaraan kita yang masih memprihatinkan. Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (2009), prosentase penduduk buta aksara saat ini sebesar 9.7 juta orang atau 5.97% dari jumlah penduduk. Di antara jumlah ini, perempuan buta aksara mencapai 6.3 juta orang yang diantaranya sekitar 70% berusia di atas 45 tahun (KOMPAS, 28 April 2009). Lebih lanjut, Indonesia masih dihadapkan dengan potensi buta aksara baru yang jumlahnya diperkirakan 600 ribu orang pertahun. Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam jajaran negara di dunia masih termasuk dalam daftar 10 negara yang angka buta hurufnya tinggi, yaitu berada pada peringkat tujuh setelah antara lain China, India dan Bangladesh.
Padahal berkeaksaraan adalah hak dasar setiap warga negara yang bukan hanya berarti hak mendapatkan proses pembelajaran yang mencerdaskan tetapi juga bermakna perluasan akses dan kesempatan untuk berkarya dan sejahtera. Penyebab umum buta aksara di Indonesia adalah karena mereka tidak pernah sekolah sama sekali atau putus sekolah yang disebabkan oleh banyak faktor yang diantaranya adalah faktor budaya, sosial, politik, ekonomi, dan gender.
Interaksi dari berbagai faktor ini pada gilirannya telah menciptakan kemiskinan, khususnya dikalangan perempuan, yang merupakan bentuk konkrit dari ketidakmampuan masyarakat yang sangat berkorelasi dengan tingkat buta aksara. Ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keaksaraan ini secara jelas juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan 2 dan 3 dari MDGs, target-target Education For All (EFA), dan kesepakatan CONFINTEA. Dalam rangka peringatan hari keaksaraan ini, sangatlah tepat waktunya bagi kita untuk merefleksikan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam memajukan pendidikan Indonesia khususnya dalam pengentasan buta aksara ini. Namun upaya-upaya ini sangatlah terkait dengan keberhasilan pembangunan, karena tingkat keaksaraan merupakan indikator pembangunan manusia.
Persoalan keaksaraan tidak lepas dari persoalan pendidikan secara umum. Kebijakan pendidikan yang berpihak pada kelompok miskin merupakan sarana pencapaian keberhasilan pendidikan. Namun ketika kebijakan privatisasi pendidikan semakin gencar dilakukan pemerintah Indonesia dimana pendidikan diserahkan ke masyarakat dan pasar bebas maka semakin sedikit warga miskin yang dapat mengakses pendidikan. Dalam situasi ini kemungkinan jumlah mereka yang buta huruf berkurang akan semakin kecil peluangnya, meskipun anggaran pendidikan untuk tahun 2009 sudah dinaikkan menjadi 20% dari seluruh total APBN.
Penulis: Yanti Muchtar, Direktur KAPAL Perempuan