Judul : Country Of My Skull
Jenis : Drama
Sutradara : Jhon Brooman
Pemain : Samuel L. Jackson, Julliette Binoche
Durasi : 104 menit
“Never, never and never again shall it be that this beautiful land will again experience the oppression of one by another.” (Nelson Mandela)
Politik apartheid di Afrika Selatan membawa negara tersebut memasuki sejarah kekerasan yang panjang. Tidak ada catatan pasti tentang jumlah orang yang meninggal, hilang atau keluarga yang tercerai berai. Akan tetapi politik apartheid cukup hebat untuk membuat seluruh rakyat Afrika Selatan menangis dan hidup dalam ketakutan. Mimpi buruk ini akhirnya berakhir pada tahun 1994. Politik apartheid dihilangkan dan Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Seiring dengan ini, rakyat Afrika Selatan memasuki kisah baru – kisah-kisah tentang pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Inilah yang melatarbelakangi film Country of My Skull. Film ini mengambil tempat di Afrika Selatan pada tahun 1995, ketika negara itu masih diliputi semangat rekonsiliasi. Saat itu pemerintah menawarkan amnesty pada mereka yang melakukan pelanggaran HAM, baik pada pihak kulit putih maupun kulit hitam. Syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan amnesty adalah, mereka harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan dapat membuktikan bahwa mereka terpaksa melakukan pelanggaran HAM tersebut karena mengikuti perintah atasan mereka.
Untuk mendapatkan amnesty, para pelaku pelanggaran HAM harus menghadiri sidang terbuka yang diadakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sidang ini boleh dihadiri oleh siapa saja: pers nasional maupun internasional, aktivis, warga sekitar, perempuan dan anak-anak. Tidak seperti persidangan kasus pidana biasa, sidang terbuka KKR diselenggarakan di berbagai daerah di Afrika Selatan secara bergantian. Ruang yang digunakan pun bisa bermacam-macam, mulai dari gedung pemerintah, gereja sampai sekolah. Dalam ruangan-ruangan inilah para korban dan keluarga korban bertemu langsung dengan orang-orang yang membuat mereka menjadi ‘korban’. Para korban atau keluarga korban diminta untuk mengungkapkan cerita, pengalaman, perasaan, maupun trauma-trauma yang masih dirasakan sampai saat itu akibat tindakan pelanggaran HAM yang mereka alami. Di sisi lain, para pelaku juga dipersilahkan untuk mengungkapkan cerita mereka, mulai dari kronologis dan detil kejadian sampai perasaan-perasaan negatif yang kemudian menghantui mereka.
Tentu saja pemberian amnesty ini mengundang berbagai kontroversi. Salah satu hal yang menarik dalam film ini adalah kontroversi pemberian amnesty dimunculkan oleh dua tokoh utama yang saling berseteru karena pemahaman yang berbeda tentang pemberian amnesty. Anna Malan (Juliette Binochet) adalah seorang jurnalis untuk sebuah stasiun radio. Ia seorang Afrikaan (orang kulit putih yang lahir dan besar di Afrika) yang memandang pemberian amnesty sebagai salah satu langkah penting dalam proses rekonsiliasi. Menurutnya, dengan memberikan amnesty maka para korban dan pelaku bisa mulai saling memaafkan. Pemberian maaf, menurut Anna dan banyak orang Afrika Selatan, merupakan kebiasaan yang sesuai dengan budaya setempat. Berbeda dengan Anna, Langston Whitfield (Samuel L. Jackson) bersikap cukup skeptis terhadap pemberian amnesty. Menurutnya, pemberian amnesty sama saja dengan membiarkan si pelaku pelanggaran HAM meloloskan diri dari hukuman atas perbuatannya. Ia ragu apakah rekonsiliasi semacam ini mampu mengobati luka mendalam yang timbul akibat politik apartheid.
Perbedaan pandangan antara kedua jurnalis ini mencerminkan kontroversi tentang pemberian amnesty pada saat itu. Akibatnya, kedua jurnalis ini saling bermusuhan dan menghindar satu sama lain. Akan tetapi, seiring dengan banyaknya sidang dan cerita korban yang mereka dengarkan, perseteruan itu berubah. Anna mulai memahami pandangan Langston, karena ia sendiri goyah ketika mendengar berbagai cerita kekejaman orang-orang kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam dan juga sebaliknya. Demikian pula Langston, ia mulai memahami pandangan Anna ketika ia diperkenalkan dengan konsep ‘ubuntu’ (sama seperti pepatah sama rata, sama rasa di Indonesia) di Afrika Selatan dan melihat berbagai kasus di persidangan. Saling memahami lama kelamaan berkembang menjadi cinta. Cerita tentang percintaan Langston dan Anna mendapatkan porsi tersendiri dalam film ini sebab mereka sama-sama sudah berkeluarga. Pada akhirnya Anna bercerita tentang perselingkuhannya dengan Langston pada suaminya dan kemudian berusaha membangun kembali hubungan rumah tangga mereka. Sepertinya sang sutradara, John Boorman, juga ingin mengangkat pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi di tingkatan yang lebih kecil lagi, yaitu keluarga.
Salah satu karakteristik yang menarik dari film ini adalah munculnya berbagai aspek dari proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui cara-cara sederhana. Selain dari perseteruan antara Anna dan Langston, aspek-aspek tersebut muncul dari cerita-cerita korban dalam persidangan. Misalnya saja kasus seorang anak yang melihat kedua orang tuanya dibunuh oleh aparat kulit putih. Sejak kejadian itu anak tersebut tidak pernah bicara pada siapa pun. Saat persidangan, sang aparat mengakui perbuatannya dan menyatakan bahwa ia harus melaksanakan perintah atasannya. Ia merasa sangat berdosa sampai-sampai ia ingin merawat anak tersebut, menyekolahkannya atau melakukan apa saja untuknya untuk menebus rasa bersalahnya. Reaksi sang anak cukup menakjubkan, ia bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk pria kulit putih yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ketika ada sebagian orang yang merasa pemberian amnesty sama dengan membiarkan sang pelaku lari dari tanggung jawab atas tindakannya, kasus ini membuktikan kebalikan dari pendapat tersebut.
Kasus lainnya muncul dari pelaku pelanggaran HAM nomor satu di Afrika Selatan, Kolonel de Jager. Langston mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai de Jager secara pribadi. Dari sinilah sebuah kasus pelecehan seksual dan perkosaan terungkap. Tawanan mereka, seorang perempuan kulit hitam, dibawa ke daerah pegungungan, ditelanjangi, diperkosa dan dibiarkan berhari-hari dalam keadaan telanjang dan tanpa makanan sampai ia mati. Lalu untuk mendapatkan amnesty, de Jager dalam sidangnya berargumen bahwa siksaan dan perkosaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi penting dari tawanan sehingga sang kolonel bisa ‘menyelamatkan’ negaranya. Ia hampir yakin bahwa ia akan mendapatkan amnesty karena merasa telah membela negaranya. Dalam kasus ini, tindakan pelanggaran HAM bersembunyi di balik argumen ‘membela negara’. Lalu apakah amnesty dapat diberikan pada orang-orang yang telah ‘membela negaranya’, seperti kolonel de Jager?
Country of My Skull cukup bagus untuk memberikan gambaran sederhana kepada para pemirsanya tentang berbagai aspek yang cukup kompleks serta berbagai kontroversi dalam pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Melalui berbagai adegan dalam cerita ini, para pemirsa diajak untuk melihat sisi para korban dan juga para pelaku – kenapa mereka melakukan tindak pelanggaran HAM dan rasa bersalah yang kemudian dirasakan (atau tidak dirasakan) mereka. Dari sejarah kekerasan inilah masyarakat Afrika Selatan belajar tentang kebenaran dan pemaafan.
Grace Leksana, Redaktur Sekitarkita