Maret 1986, 7 orang pemuda berkulit hitam tewas di perempatan NY 1 dan NY 111, di daerah Guguletu. Nama Guguletu memang asing di telinga kita, tetapi tidak bagi warga Afrika Selatan yang saat ini tengah bergelut dengan penyelesaian berbagai kasus kejahatan masa lalu. Afrika Selatan yang terbebas dari apartheid pada tahun 1992, mulai mencoba mengungkap berbagai kejahatan negara yang terjadi pada rejim apartheid. Dalam usaha tersebut, dibentuklah sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang bertujuan untuk menyelidiki dan menyelesaikan berbagai kasus tersebut
Lalu, apa istimewanya Guguletu sehingga harus diangkat dalam tulisan ini? Sebenarnya tidak ada istimewanya, peristiwa kematian tujuh pemuda di Guguletu tidak jauh berbeda dengan kasus lainnya di Afrika Selatan. Namun, dalam kasus inilah, satu kejahatan yang dilakukan oleh negara begitu “telanjang” terlihat. Guguletu Seven -nama kasus ini dikemudian hari- menjadi sorotan masyarakat dunia.
Penyerangan Patroli Polisi oleh gerilyawan ANC
Menurut versi kepolisian Afrika Selatan pada saat itu, peristiwa tersebut adalah penyerangan sekelompok gerilyawan African National Congress (ANC) terhadap patroli rutin polisi. Saat mobil patroli kepolisian yang ditumpangi oleh tujuh anggota kepolisian sedang berada di persimpangan NY 1 dan NY 111, terjadi penembakan dari arah kiri mobil mereka. Tampak seorang pemuda dengan meggunakan senapan semi otomatis, AK-47 sedang menembaki mereka. Dari arah kanan mereka kemudian tampak tiga pemuda yang langsung melepaskan tembakan ke arah mobil mereka.
Ke-tujuh anggota polisi kemudian membalas tembakan tersebut. Pemuda yang berada di sebelah kanan tertembak oleh salah satu anggota polisi. Mereka kemudian membalas tembakan dari arah kanan dan dapat menembak jatuh ke tiga pemuda tersebut. Seorang anggota kepolisian kemudian melihat seorang pemuda di balik semak yang berada tidak jauh dari lokasi sambil mengacungkan pistol. Beberapa polisi kemudian melakukan pengejaran ke arah pemuda tersebut sambil menembak. Sedangkan polisi lainnya memeriksa mobil yang dicurigai sebagai kendaraan pemuda tersebut.
Polisi yang melakukan pengejaran ke arah semak berhasil menembak pemuda yang dikejarnya beserta seorang pemuda lainnya yang bersembunyi di semak tersebut. Sersan Billingan, polisi yang memeriksa mobil pelaku penyerangan menemukan satu orang pemuda kulit hitam yang memegang granat tangan. Pemuda tersebut kemudian melemparkan ke arah Billingan namun tidak mengenai sasaran. Billingan kemudian memblasnya dengan tembakan yang menewaskan pemuda tersebut.
Polisi kemudian mengumumkan tentang peyerangan tersebut melalui konfrensi pers. Menurut mereka, tujuh orang pemuda berkulit hitam pelaku penyerangan adalah gerilyawan ANC yang terlatih. Dari mereka di sita beberapa jenis senjata seperti senapan AK-47, Pistol Tokarev Rusia, Pistol Mangnum, dan granat tangan. Ketujuh pemuda tersebut tewas dengan luka tembak akibat kontak senjata dengan polisi.
Kejanggalan Sebuah Kasus
Keesokan harinya, berita kematian tujuh pemuda kulit hitam yang dituduh sebagai teroris tersebar luas ke seluruh Afrika Selatan. Hampir semua mass media memuat hasil konfrensi pers yang dilakukan oleh kepolisian, namun ada satu hal berita yang membuat kejanggalan kasus ini mulai terlihat.
Chris Bateman, seorang wartawan Cape Times, mendapatkan informasi dari warga yang berada di sekitar lokasi kejadian. Chris kemudian melanjutkan ke Tony Weavers, seorang wartawan BBC untuk dimuat. “Pemuda yang telah menyerah ditembak”, begitu headline yang tertulis di Cape Times. Berita tersebut mengungkap tentang peristiwa tewas tujuh pemuda kulit hitam di Guguletu. Namun, berita tersebut dengan cepat di tutupi oleh pemerintah apartheid dengan menangkap para jurnalis tersebut.
Kasus ini mulai terungkap sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1996, saat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membentuk sebuah tim untuk menyelidiki kasus Guguletu Seven. Berdasarkan dari kejanggalan awal tadi, tim ini kemudian melakukan penyelidikan. Ribuan arsip negara, ratusan saksi, dan puluhan wawancara dengan aparat negara yang bertugas pada masa tersebut.
Terbongkarnya Konspirasi Rejim
Kerja keras dari Tim penyelidik ini membuahkan hasil yang menakjubkan. Mereka berhasil membongkar sebuah konspirasi yang dilakukan oleh negara melalui aparat keamanan pada saat itu untuk melanggengkan apartheid.
Hasil penyelidikan ini kemudian dibawa ke proses KKR untuk menyelesaikan kasus tersebut. dalam proses tersebut, semakin memperjelas hasil penyelidikan Tim sebelumnya. Dalam kasus ini terungkap bahwa peristiwa tersebut sudah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tujuan membunuh mereka (para pendukung ANC) dan menaikkan anggaran untuk operasi Vlakplas, unit intelejen rezim apartheid.
Fakta yang sebenarnya terungkap dengan “telanjang” dan mengundang perhatian masyarakat dunia. Dalam operasi ini, Vlakplas merekrut Jimmy Mbanne, seorang pembelot dari ANC untuk memuluskannya. Mbanne bertugas untuk merekrut pemuda pro-ANC dan melatih mereka menggunakan senjata serta menyusun strategi penyerangan. Setelah berhasil merekrut tujuh pemuda, Mbanne kemudian mempersiapkan strategi penyerangan dan perlengkapannya. Startegi tersebut kemudian diberitahukan ke Riaan Bellingan, sebagai orang yang mewakili Vlakplas di Guguletu. Hasilnya kemudian, tujuh pemuda kulit hitam tewas dengan luka tembak jarak dekat.
Semua fakta yang disampaikan sepuluh tahun yang lalu menjadi terbalik 180 derajat. Para korban yang melakukan penyerangan sudah menyerah namun ditembak oleh polisi. Pelemparan granat hanyalah isapan jempol dan rekayasa dari pihak kepolisian saat itu. Pernyataan dari seorang polisi kulit hitam yang terlibat dalam kasus tersebut, T. Johannes Mbelo, membuat semuanya semakin jelas. “Salah satu dari mereka telah menyerah, menjatuhkan senjatanya dan mengangkat tangannya, namun saya tetap menembaknyadari jarak yang sangat dekat. Saya kemudian menaruh senjata tadi di perutnya untuk membuat seolah-olah dia elakukan perlawanan. Begitu pula dengan pemuda yang berada di mobil, dia tidak melemparkan granat tetapi sudah menyerah namun ditembak oleh Billingan”.
Selanjutnya, dalam testimoninya, Jimmy Mbanne mengungkapkan penyesalannya yang mendalam, “saya sangat menyesali tindakan saya, yang jelas saat itu hingga saat ini, saya telah mengambil anak-anak mereka (orang tua korban), melatih mereka dan membiarkan/membuat mereka mati dengan sangat menyedihkan”. Mbanne kemudian menyambung dengan satu kalimat yang memperjelas bahwa rezim pada saat itu memang bertujuan membunuh mereka, seperti apa yang dia ucapkan dalam akhir testimoninya “Hal ini sebenarnya bisa dihindari. Mereka tinggal menangkap kami hanya saja mereka (pemerintah) telah memilih (berniat) untuk membunuh mereka”
Usaha apartheid untuk membungkam oposisi, ANC, makin terlhat jelas dengan terbongkarnya oleh kasus ini. Eguene de Kock kemudian mengakui “Vlakpas dibentuk oleh pemerintah dan sepenuhnya berada dibawah kendali pemerintah, tidak ada kaitannya dengan kepolisian. Mereka dibentuk untuk tujuan-tujuan tertentu dan politik”. Ditambah lagi dengan pernyataan Billingan yang mengejutkan “operasi ini bertujuan menekan parlemen agar meningkatkan anggaran kami (Vlakpas) dalam melakukan operasi semacam ini”
Antara Afrika Selatan dan Indonesia
Afrika Selatan, secara geografis memang jauh dari Indonesia namun banyak memiliki persamaan. Salah satunya, dua negara ini sedang berada dalam masa transisi pergantian rejim dari otoriter ke rejim yang lebih demokratis. Kedua, saat ini kita sedang berjuang untuk melakukan pengungkapan dan penyelesaian kasus. Meskipun demikian, Afrika Selatan mungkin lebih beruntung, pengungkapan fakta dan penyelesaiannya berjalan sedikit lebih baik daripada Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bersama, berbagai usaha pengungkapan kasus kejahatan masa lalu di negeri kita seperti mandek di tengah jalan. Iklim reformasi yang diharapkan bisa memberikan ruang untuk pengungkapan kebenaran berbagai kasus kejahatan masa lalu tinggal menjadi harapan semu. Kondisi seperti telah dirasakan oleh masyarakat, bahkan wawan, korban semanggi I, sempat menggoreskannya ke dalam sebuah puisinya:
“…Tapi perjuangan yang hampir selesai musnah, Reformasi kini hanya kedok para penguasa. Aku masih ingin berjuang,tapi itu tak mungkin, Kiri kananku jurang, depan belakangku tembok. Aku sendiri, haruskah aku lari keluar seperti yang lain ? Belum, kau masih punya nyawa dan itu pengorbanan terakhirku..” (Pengorbanan Terakhir, Alm. Wawan)
Berbagai produk hukum yang berfungsi sebagai mekanisme perlindungan, penghormatan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) telah di sahkan oleh pemerintah. Semua itu akhirnya menjadi sebuah retorika belaka. Instrumen tersebut tentu saja tidak akan berfungsi apa-apa jika para pelaksananya tidak menerapkannya sesuai dengan apa yang telah berlaku.
Mari kita coba lihat ke satu kasus konkrit, Pengadilan HAM untuk Timor-Timur, sejumlah aktor pelaku lapangan bebas begitu saja. Belum lagi dengan tidak terungkapnya para dalang yang seakan-akan ditutupi oleh negara. Padahal, James Dunn, dalam sebuah laporannya memaparkan dengan begitu jelas keterlibatan para aktor tersebut. Walaupun demikian, semua itu kembali pada aparat yang menjalankan mekanisme ini.
Terlebih lagi, para pelaku kejahatan masa lalu mempunyai banyak cara untuk menghambat jalannya penyelesaian kasus kejahatan masa lalu. Kekuatan politik maupun materi menjadi kendaraan bagi mereka untuk membungkam setiap usaha pengungkapan fakta. Islah adalah salah satu cara yang dipergunakan. Beberapa contoh seperti kasus Tg. Priok dan Talangsari, dibungkam oleh para pelaku dengan memberikan ganti rugi materi. Belum lagi dengan mempergunakan kekuatan politik –umumnya para pelaku masih menjadi pejabat- untuk menekan para korban. Ini terbukti dengan kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang dijegal di DPR melalui Panitia Khusus (Pansus) sebagai bukti kuatnya posisi politik para pelaku.
Telah banyak fakta yang telah terang benderang dalam berbagai kasus kejahatan masa lalu di Indonesia. Salah satunya adalah terungkapnya Tim Mawar (Kesatuan Kostrad – TNI AD) yang telah melakukan penculikan aktivis pada masa rejim orde baru. Lalu apa bedanya Tim Mawar dengan Vlakpas? Mereka dibentuk oleh rejim yang berkuasa pada saat itu untuk kepentingan/tujuan tertentu. Pertanyaan selanjutnya, mengapa dalam kasus penculikan di Indonesia, Tim Mawar hanya dianggap sebagai penafsiran yang salah terhadap perintah oleh aparat negara?
Ratusan bahkan mungkin ribuan kasus kejahatan masa lalu telah terjadi pada masa rejim Orde Baru berkuasa. Berbagai kebijakan dan tindakan yang di ambil oleh aparat negara untuk melanggengkan kekuasan orde baru mengakibatkan jutaan orang harus kehilangan keluarga mereka. Konspirasi yang dilakukan oleh pemerintah saat itu seakan menjadi sah atas nama pembangunan dan ketertiban
Tiada Kata Maaf Tanpa Kebenaran
“Jangan harap ada rekonsiliasi (maaf, red) sebelum kebenaran yang sesungguhnya terungkap” ungkap Ibu Sumarsih, ibu dari Alm. Wawan dalam satu kesempatan. Kalimat ini telah menggambarkan bagaimana perasaan para masyarakat yang telah menjadi korban terhadap proses penyelesaian kasus-kasus kejahatan masa lalu di Indonesia. Suara ini harus kita camkan bersama, khususnya para aparat negara, bahwa pengungkapan kebenaran adalah hal yang harus dilakukan jika ingin melihat masa depan yang lebih baik.
“saya mengerti bahwa kamu saat itu seumuran dengan christopher pada saat itu. Saya memaafkan kamu walaupun itu tidak dapat membawa anak saya kembali dari liang kuburnya. Tidak ada niatan untuk tidak memaafkan kamu, jika ada niat itu maka Tuhan tidak akan memaafkan saya. Seperti di dalam Al-Kitab ‘ kita harus memaafkan orang yang telah berdosa kepada kita….’” (ibunda Christopher Piet)
Kutipan kalimat dari seorang ibu di Afrika Selatan ini, telah menggambarkan bahwa yang ada di dalam hati mereka bukanlah dendam semata. Kalimat ini dia ucapkan saat Mbelo, pelaku penembak anaknya, meminta maaf secara pribadi kepadanya. Walapun air matanya bercucuran, sang ibu tetap bisa memeluk orang yang telah merebut anaknya. Hikmahnya, mereka hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah menimpa anak, ayah, ibu, adik, kakak, dan keluarganya sehingga mereka harus kehilangan bagian dari hidup mereka. Tidak ada dendam dalam perjuangan mereka selama ini, murni keinginan untuk penegakan keadilan.
Christopher Piet, Jabulani Miya, Zandisile Semi Mjobo, Manla Simon Mxinga, Themba Molefi, Zabonke Jhon Konile, Zola Alfred Zwelani adalah korban sebuah konspirasi yang begitu jahat dalam kasus Guguletu Seven. Nama mereka tidak sendiri tetapi jutaan nama bersama mereka yang telah menjadi korban kejahatan masa lalu di Afrika Selatan oleh rejim apartheid. Begitu pula di Indonesia, daftar nama korban kejahatan masa lalu begitu panjang.
“Jika kejahatan yang terjadi di masa lalu (oleh negara) dibiarkan begitu saja, maka niscaya peristiwa semacam itu akan terulang” demikian jawaban seorang pakar HAM ketika ditanya tentang pentingnya penyelesaian kejahatan masa lalu. Benar demikian adanya, kita pasti tidak ingin melihat anak generasi kita akan menjadi korban dari kekuasan sehingga menjadi tugas kita bersama untuk menyelamatkan masa depan bangsa ini.
Syaldi Sahude, Redaktur Sekitarkita dan Anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan