Ibu Bangsa Kulit Hitam di Tengah Penghancuran Apartheid

0
776

Winnie Mandela, perempuan kulit hitam, yang senantiasa tampil menyolok dengan gaun berbunga-bunga, hiasan penutup kepala dan kacamata hitam lebar, mungkin lebih banyak dikenal sebagai istri Nelson Mandela. Tetapi bagi masyarakat kulit hitam Afrika Selatan, Winnie lebih dari sekedar istri pimpinan organisasi perjuangan terbesar ANC (African National Congress). Ia juga adalah pejuang yang menjadi teladan bagi gerakan perlawanan anti apartheid. Keterkenalannya berbanding dengan suaminya, tidak hanya di dalam negeri, ia pun dipuja di kancah internasional. Kegiatan politik dan riwayat hidupnya telah ditulis oleh banyak penulis terpenting dan beredar luas.

Winnie Mandela menggalang gerakan perempuan kulit hitam melawan apartheid melalui organisasi Liga Perempuan ANC (ANC Women’s League). Sehingga ia juga menjadi teladan bagi anggota ANC atas loyalitas pada organisasi tersebut. Tidak cukup itu, semua orang demikian bersimpati atas kesetiaannya pada suaminya. Bertahun-tahun ia menyuarakan perlawanan terhadap penahanan suaminya, di tingkat nasional maupun internasional. Bisa dikatakan Nelson Mandela semakin dikenal karena Winnie Mandela. Sementara itu ia seperti ditakdirkan harus mengasuh dua anak perempuannya sendiri, karena sang suami lebih banyak berkunjung ke perkampungan-perkampungan kulit hitam mengkoordinasi gerakan bawah tanah. Hal terberat terutama adalah ketika ia harus melepas Nelson Mandela menjalani penahanan selama 27 tahun di maximum security prison di Pulau Buru-nya Afrika Selatan, Robben Island.

Sumbangannya bagi penghapusan apartheid Afrika Selatan tidak diragukan lagi. Akan tetapi 10 tahun menjelang ambruknya Apartheid, dan terutama sesudahnya, Winnie Mandela menjadi figur yang kontroversial. Sebagian orang memujanya, “Dialah ibu bangsa kami!”, “Winnie Mandela adalah ibu bagi Pan African Congress”. Sementara itu sebagian lain membencinya dan menuntut agar ia segera diadili dan dihukum. Sebagian mencintainya, sebagian lagi takut. Winnie Mandela menjadi pokok perdebatan masyarakat Afrika Selatan. Apakah dia pahlawan atau pengkhianat?

Di tahun 80an Winnie Mandela terseret dalam berbagai kontroversi kematian, penangkapan para pemuda. Sebelumnya, ia sempat membuat pernyataan publik yang kontroversial bahwa pembebasan masyarakat kulit hitam hanya bisa dicapai dengan menggunakan korek api dan ban mobil. Yang dimaksudkannya di sini adalah metode balas dendam paling terkenal yaitu mengalungkan ban ke seseorang yang dianggap mengkhianati gerakan, menyiram dengan minyak dan membakarnya.

Dalam tahun-tahun itu juga tidak diragukan lagi, setiap polisi dan agen intelejen pasti memiliki bukti kuat bahwa Winnie Mandela sangat terlibat dalam aktivitas gerilyawan bawah tanah, menggalang kekuatan pemuda melawan apartheid, menjadikan rumahnya gudang senjata bagi gerilyawan pembebasan. Namun boleh dikata Winnie Mandela senantiasa lolos dari jerat hukum maupun jebakan intelejen.

Ketika sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi didirikan di Afrika Selatan digelar pada tahun 1996, dan kesaksian demi kesaksian dari korban maupun polisi serta intelijen meluncur, reputasi Winnie Mandela semakin goncang. Ini pun menyayat hati rakyat yang mencintainya. Apa sesungguhnya yang terjadi? “Siapakah Winnie Mandela itu? Heroine or Villain?” demikian judul rubrik yang sengaja dibuka oleh Kantor berita BBC untuk memuat berbagai komentar orang tentang Winnie Mandela.

Winnie terlahir dengan nama Nomzamo Zaniewe Winnifred Madikizela pada tanggal 26 September 1934 di Bizana, Pondoland, dari seorang ibu bernama Nomathamsanqa Mzaidume, seorang guru dan ayah Columbus Madikizela, bekerja di departemen pertanian dan kehutanan pemerintah Transkei (Transkei sekarang tergabung dalam wilayah Eastern Cape, Cape Town). Ia menamatkan pendidikan dasarnya di Bizana dan Shawbury, dan kemudian meneruskannya di sekolah pekerja sosial John Hofmeyr di Johannesburg, Gauteng. Ia menjadi salah satu diantara sedikit orang kulit hitam dan perempuan yang mampu meraih jenjang pendidikan tinggi ketika ia memperoleh gelar bachelor of art di bidang hubungan internasional di sebuah universitas terpenting, University of Witwatersrand, Johannesburg.

Semangat dan ambisi tinggi sudah tampak sejak mula. Ia adalah orang kulit hitam pertama yang menjadi pekerja sosial medis di rumah sakit Baragawanath, Soweto. Di tempat ini terhampar kenyataan suatu jurang lebar keadaan antara minoritas kulit putih dan kemiskinan luar biasa kulit hitam. Ia melihat buruknya pelayanan kesehatan bagi pasien kulit hitam. Dalam salah satu risetnya di perkampungan Alexandria ia juga menemukan tingkat kematian bayi 10/1000 kelahiran. Suatu kematian yang tidak perlu. “Kesadaran politik saya tumbuh dari sini.” Demikian ujarnya dalam salah satu wawancara.

Dalam pada waktu itu ia berkenalan dengan beberapa orang pemuda ANC, dan mulai terlibat dalam kegiatan politik pembebasan nasional. Di sini pula, 1957, ia bertemu dengan Nelson Mandela. Pada tahun 1958 untuk pertama kalinya ia ditangkap atas keterlibatannya dalam demonstrasi anti peraturan pass. Peraturan pass yang dikeluarkan pemerintah tahun 1956 menetapkan bahwa semua perempuan non kulit putih harus memiliki ijin/ pass untuk tinggal atau bekerja di daerah tertentu dalam waktu tertentu. Sejak saat itu ia menjadi anggota terpenting ANC, menjadi anggota dewan eksekutif nasional Liga Perempuan ANC, serta pimpinan ANC cabang Orlando. Pada tahun 1960, ANC, PAC (Pan African Congress) dan SACP (South African Communist Party) secara resmi dilarang setelah sebelumnya terjadi demonstrasi besar anti peraturan pass yang memuncak pada pembantaian massal di perkampungan Sharpeville tanggal 21 Maret. ANC kemudian beralih ke dalam gerakan bersenjata dan kaum perempuan direkrut dalam sayap bersenjata ANC, Umkhonto weZiswe-MK (Spear of the Nation). Winnie merupakan salah satu orang terpentingnya dalam gerakan ini.

Winnie kemudian juga semakin dikenal oleh agen rahasia pemerintah Apartheid. Ketika suaminya ditangkap tahun 1962, ia pun menerima perintah larangan bergerak dan terbatas di Orlando West, Soweto atas dasar Undang-undang Penindasan Komunis. Ia mendapat hukuman larangan bergerak lebih sempit lagi tahun 1965-1966, sehingga setidaknya hingga tahun 1975, praktis ia terpenjara di wilayah Soweto, perkampungan kulit hitam terbesar di Afrika Selatan. Dalam masa ini ia sempat ditahan selama 1 tahun karena melanggar larangan itu dengan mengunjungi suaminya di penjara Cape Town. Pada tahun 1969 ia ditahan berdasarkan pasal 6 Undang-undang anti terorisme dalam suatu ruang isolasi selama 17 bulan. Sepanjang tahun 1970-74 ia berulang kali ditangkap karena melanggar larangan bergerak tersebut. Tahun 1974 ia ditahan selama 6 bulan.

Ketika pada tahun 1975 larangan bergeraknya dicabut, ia kembali aktif secara terbuka. Ia membantu pendirian Federasi Perempuan Kulit Hitam. Setelah terjadi demonstrasi besar di Soweto tahun 1976, ia membantu pendirian Asosiasi Orang Tua Kulit Hitam yang kegiatannya adalah memberikan pelayanan medis dan hukum bagi para korban tindakan polisi ketika menghentikan demonstrasi tersebut. Tetapi pada tahun itu juga ia kembali ditahan selama 6 bulan. Ia kemudian diharuskan tinggal di perkampungan Phatakahle, kota Brandfort di negara bagian Orange Free. Ia tinggal disitu selama 9 tahun dengan terus menghadapi ancaman bunuh, bakar dan intimidasi lainnya. Pada tahun 1985 rumahnya di perkampungan itu dibom polisi, sehingga ia terpaksa melanggar peraturan dengan kembali ke rumah lamanya di Orlando West. Winnie Mandela tidak pernah lepas dari pengawasan, penangkapan, kekerasan oleh aparat polisi.

Tekanan yang begitu rupa telah menjadikannya sosok individu yang kuat, penuh percaya diri dan sangat populer di kalangan orang miskin dan perempuan. Hantaman sekeras apapun dan dari siapapun tampaknya tidak meruntuhkan mentalnya. Bahkan ketika hantaman datang dari organisasinya sendiri, ANC, yang didukung oleh organisasi-organisasi lain, popularitasnya di kalangan perempuan dan rakyat miskin justru semakin kental. Tahun 1991 ia terpilih menjadi anggota komite eksekutif nasional ANC. Bulan Desember 1993 ia terpilih sebagai presiden Liga Perempuan ANC dan pada saat yang sama terpilih sebagai wakil presiden South African National Civic Organization. Pada pemilu demokratis pertama tahun 1994, Winnie berada di urutan 13 kandidat ANC untuk parlemen. Dengan dukungan massa rakyat yang besar, tahun 1994 ia berada di urutan 5 untuk komite eksekutif ANC. Ia juga ditunjuk menjadi wakil menteri Kesenian, Kebudayaan, Ilmu dan Teknologi. Namun tahun 1995 Presiden Mandela membatalkan penunjukan dirinya. Tahun 1998 ia dinominasikan menjadi wakil presiden ANC tetapi tidak terpilih. Pada pemilu kedua, ia berada di urutan 9 kandidat ANC untuk parlemen. Saat ini ia menjadi anggota majelis rakyat.

Namun perubahan cukup penting terjadi selama masa pembuangannya ke perkampungan Phatakahle, Brandfort dan sesudahnya. Tidak banyak diketahui mengenai aktifitasnya selama 9 tahun tersebut selain terus-menerus menerima ancaman dalam pembuangan dan dua kali ditangkap karena mencoba masuk ke Johannesburg. Pada tahun 1986 larangan atas dirinya dicabut. Ia kemudian mendirikan sebuah tim sepak bola yang disebut Mandela United Football Club-MUFC dengan maksud menolong anak-anak muda yang menjadi korban kekerasan yang meluas saat itu. Periode 80an adalah salah satu periode pemerintahan paling keras. Tim inilah yang membuatnya menjadi sosok kontroversial. Tim sepak bola itu tidak pernah menjadi sebuah tim yang bonafid, dan lebih mirip sebuah gank anak muda pembuat onar, suka berkelahi dan melakukan kekerasan. Pada bulan Juni 1988 rumah Winnie di Soweto dibakar oleh sekelompok anak sekolah karena geram pada kelakuan anggota klub sepak bola itu, yang menganiaya dan memperkosa warga setempat. Klub ini dianggap orang lebih seperti ‘kumis’ Winnie Mandela.

Salah satu peristiwa penting yang menyeret Winnie dalam kontroversi panjang adalah ketika bulan Januari 1989 terjadi penangkapan dan penganiayaan atas empat orang remaja belia dari rumah missi methodis. Penganiayaan itu terjadi di rumah Winnie Mandela. Bahkan salah seorang dari mereka, Stompie Moeketse Seipei, 14 tahun, ditemukan kemudian hari sudah terbujur menjadi mayat. Ia membantah terlibat dalam penganiayaan itu dengan alibi bahwa ketika peristiwa tersebut terjadi ia berada di Brandfort. Dua orang terdekatnya, Jerry Richardson dan Xoliswa Falati mendukung alibinya, sekalipun kedua orang ini dihukum penjara seumur hidup atas pembunuhan Stompie. Di kemudian hari, di hadapan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, Jerry Richardson mengakui bahwa semua tindakan itu atas perintah Winnie Mandela.

Keterlibatan dalam berulang kali kekerasan oleh klub itu selalu dibantah atau kalaupun diakui maka yang dijadikan alasan adalah bahwa orang tersebut adalah informan atau agen. Akan tetapi lepas dari keterlibatan itu semua secara umum tim sepak bola ini telah menjadi satu kelompok pemuda yang ditakuti di kalangan masyarakat kulit hitam karena kekuatannya dan kemampuannya untuk menghukum dengan membunuh, menangkap, menyiksa dan sebagainya. Lebih jauh, mulai terjadi berbagai pembunuhan terhadap orang-orang yang masih diragukan kolaborasinya dengan intel pemerintah apartheid. Ini membuat ANC perlu memperingatkan Winnie, agar lebih berhati-hati. ANC dan beberapa organisasi pembebasan lain mulai melihat bahwa kelompok ini telah diinfiltrasi polisi. Bahkan para pemimpin ANC termasuk Nelson Mandela, dari balik jeruji, telah meminta Winnie membubarkan kelompok ini atau mencabut keanggotannya dari klub itu karena terlalu berbahaya bagi perjuangan. Tetapi Winnie bersikeras. Ia mempertahankan kelompok itu. Pada akhirnya pada tanggal 16 Februari 1989, UDF-United Democratic Front dan Cosatu-Congress of South African Trade Union mengeluarkan pernyataan yang menyatakan tidak adanya hubungan antara mereka dengan Winnie dan menyalahkan Winnie atas klub sepak bola itu. ANC berupaya mengatasi akibat merusak itu dengan memintanya agar dia kembali mengikuti displin dalam gerakan.

Masyarakat perkampungan di Soweto pun mulai khawatir dan bahkan curiga. Menurut mereka adalah tidak masuk akal, aparat intelejen tidak mengetahui aktivitas Winnie. Salah satu contoh adalah peristiwa berdarah di bulan Januari 1987. Salah seorang gerilyawan MK, Oupa Seheri, yang juga anggota MUFC dan tinggal di rumah Winnie Mandela (ia adalah juga pacar anak Winnie Mandela, Zinzi) telah terlibat perkelahian yang menewaskan Xola Mokahula. Polisi berhasil menemukan pistol AK-47 yang digunakan untuk membunuh di bawah tempat tidur Zinzi Mandela. Winnie sama sekali tidak dimintai keterangan meskipun rumahnya telah digunakan untuk menyembunyikan senjata semi otomatis kegemaran gerilyawan MK dan mobilnya digunakan untuk mengejar sasaran. Keadaan ini merupakan resiko besar tetapi ia bisa hidup tenang.

Juga dalam penyelidikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di kemudian hari, Winnie mengakui bahwa ia adalah pelaksana MK atas perintah Chris Hani, seorang kepala staf Umkhonto weZiswe. Polisi sudah pasti sadar akan hubungannya dengan MK. Mereka menaruh alat penyadap telepon di sekitar jam dinding, dan rumahnya ketat diawasi. Bahkan dalam dengar pendapat di komisi tersebut, juga terungkap bahwa sejumlah informan telah disusupkan ke dalam MUFC. Tapi ia tetap imun dari interogasi apalagi penangkapan dan penghukuman.

Kecurigaan dan kekhawatiran meningkat ketika polisi menggerebek rumah pelatih MUFC Jerry Richardson pada tanggal 11 November 1988. Di sini dua gerilyawan Sipho dan Tebogo tewas. Tapi sungguh aneh, Richardson hanya ditahan semalam dan dilepas keesokan harinya padahal ia menyembunyikan gerilyawan. Dalam dengar pendapat di Komisi Kebenaran, Richardson akhirnya mengakui setelah dicecar pertanyaan tajam, bahwa ia sudah menjadi informan sejak tahun 1988. Sebenarnya ketika ia ditahan semalam di kantor polisi ia mengaku bahwa Winnie Mandela lah yang membawa dua gerilyawan itu ke rumahnya dan memintanya merawat kedua orang tersebut. Tetapi Winnie Mandela sama sekali tidak disentuh.

Ia kemudian dianggap sebagai pejuang yang sangat gegabah dan kurang menjaga keselamatan berbagai operasi ANC menjelang berakhirnya perjuangan bersenjata, atau lebih buruk lagi, ia membuat dirinya dapat digunakan oleh polisi untuk melancarkan manuver melawan ANC. Sikap winnie yang menolak disiplin organisasi dan membuat langkahnya sendiri dianggap sebagai sikap yang mau menunjukkan bahwa dirinya berada di atas semua gerakan.

Kesaksian demi kesaksian menunjukkan bahwa semua orang terdekatnya adalah agen militer. Apakah winnie naif? Ada beberapa kemungkinan, ia bermanfaat bagi polisi untuk mempertahankan ANC sebagai organisasi melawan hukum dan untuk mendiskreditkan organisasi ini atau, kemungkinan yang paling aneh, dia memang sudah bekerja sama dengan salah satu dari mereka. Dalam salah satu kesaksiannya di depan komisi kebenaran, Richardson menyatakan Winnie memiliki hubungan gelap dengan Paul Erasmus, orang kunci di Cabang Witwatersrand Unit Stratcom, satu unit kepolisian yang mengkhususkan pada operasi pengacau informasi dan perang psiko politik. Richardson mengatakan ia pernah melihat suatu ketika Erasmus meninggalkan ruang tidur Winnie pagi hari. Benarkah ini?

Dihadapan komisi kebenaran semua kesaksian tergelar. Orang terpana betapa sang ibu ternyata memiliki masa lalu yang gelap. Tetapi kesaksian setajam apapun, senantiasa diakhiri dengan ucapan yang sangat terhormat, seperti misalnya kesaksian yang diberikan oleh Azar Chacalia, salah seorang bekas bendahara UDF pro ANC. Dalam pernyataan terakhirnya ia mengatakan:

“ Saya ingin menyampaikan pada Ibu Mandela bahwa saya mengenalmu bertahun-tahun. Saya sungguh mengagumi dan menghormati anda. Keluarga Cachalia dan Mandela telah menempuh jalan panjang. Dan ketika duduk di sini, sungguh saya dalam konflik mendalam. Sebagian dari diri saya ingin mendatangimu dan memelukmu dan mengatakan mari lanjutkan perjalanan, tinggalkan semua ini karena ini adalah mimpi buruk. Tetapi sebagian lain dari diri saya mengatakan bahwa kita benar tidak bisa melangkah maju kecuali ada pertanggungjawaban sepantasnya.”

Inilah kenyataan pahit perjuangan pembebasan. Periode kekerasan dan kegoncangan politik tahun 1980an membuat tidak mudah memisahkan santa dari pendosa. Winnie hidup dalam dunia yang keras. Di satu pihak, Winnie mungkin berpandangan sebagaimana pandangan para pimpinan ANC “perang yang kami lakukan adalah perang yang adil. Bagaimana mungkin perjuangan pembebasan apartheid disamakan dengan pelanggaran HAM?” Tetapi anggota ANC lain, Pallo Jordan, yang di kemudian hari menjadi Menteri Urusan Lingkungan Hidup dan Turisme, dalam sebuah rapat ANC berdiri dan menyatakan “Kamerad, saya belajar sesuatu yang menarik hari ini. Bahwa ada penyiksaan oleh rejim dan ada penyiksaan oleh ANC. Penyiksaan oleh rejim adalah buruk sedang penyiksaan oleh ANC adalah baik. Terima kasih anda sudah mencerahkan pikiran saya!” Ia kemudian duduk kembali.

Di lain pihak, ia berseberangan dengan organisasinya sendiri. Ia menjadi flamboyan, macho dan feminin secara bersamaan. Ia tidak hanya hendak melawan apartheid, tetapi juga menantang kepemimpinan laki-laki dalam ANC. Titik kritis adalah siapa yang menentukan arah gerakan, Winnie atau pemimpin ANC. Bagaimana jika arah gerakan ternyata membahayakan satu dan lainnya?

Apakah gerakan feminis akan membahayakan gerakan lainnya seperti yang ditakutkan selama ini. Dalam teori, banyak pemikiran feminis yang mampu merumuskan dengan tepat bagaimana gerakan mereka lebih progresif dari pada gerakan rakyat konvensional lainnya. Namun berbicara kenyataan, perempuan menghadapi lebih. Azas progresif itu sendiri harus diuji. Dan ujian itu jauh lebih berat dari pada gerakan konvensional pada umumnya. Hal ini membuat feminisme harus lahir dari got dan kampung-kampung bukan dari universitas.

Winnie Mandela telah menguji feminisme, salah atau benar, progresif atau tidak, ia mengujinya dari kampung kumuh dan penjara-penjara kulit hitam yang dijajakinya selama puluhan tahun.

Winnie menjadi sosok sangat kontroversial.

***

catatan: Istilah “Perkampungan “ dipakai untuk menggantikan “Township” sebagaimana umum dipakai di Afrika Selatan.

Agung Putri adalah seorang peneliti di Lembaga Studi Advokasi Masyarakat dan aktif di Jaringan Kerja Budaya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here