Nyanyian Kaleng Rombeng adalah judul pagelaran operet ke-IX dari Sanggar Anak Akar. Pementasan operet tersebut berlangsung pada 3 November 2001 di Auditorium Kebudayaan DKI, Kuningan. Karya kolaborasi yang disutradarai oleh Ibe Karyanto, Rektor Universitas Sanggar Akar merupakan sebuah hasil kerja keras dan kekompakan dari anak-anak pinggiran dari berbagai komunitas; Penas, Anak Bantar Gebang dan Kali Malang. Selama pertunjukan berlangsung mereka diiringi oleh musik yang dimainkan secara minimalis oleh para pengiring musik yang merangkap menjadi pemain. Alat musik yang mereka pergunakan sangat unik; panci, gentong, drum, wajan, wadah air mineral galon dan berbagai alat rumah tangga lainnya, yang mungkin tidak terpikirkan bisa menjadi alunan irama yang hidup. Alat musik lainnya adalah gitar akustik, dan satu gitar elektrik dan bas elektrik. Mereka memanfaatkan barang- barang yang mungkin sudah tidak berguna lagi bagi orang lain, baik untuk alat musik, properti panggung dan juga kostum. Tingkah mereka yang begitu polos dan lucu serta kepiawaian pengiring musik terkadang mengundang tawa dari penonton yang memenuhi 300 kursi dari gedung yang berkapasitas 500 orang.
Operet yang bercerita tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di sebuah bantaran kali (sungai) diawali oleh pementasan sebuah lagu dari Sanggar Akar. Pada adegan berikutnya digambarkan kehidupan empat orang anak pinggiran yang sedang bermain dengan gembiranya sambil berjualan asongan dan ngamen di jalan. Di tengah asyiknya mereka bermain, tiba-tiba muncul seorang preman yang mengusir mereka dengan kasar. Anak-anak berusaha melawan preman tersebut dengan tetap bermain, karena merasa kewalahan preman tersebut memanggil kawan-kawannya untuk mengusir mereka. Karena takut dan tak ingin membuat masalah akhirnya anak-anak tersebut menyingkir.
Lalu kemudian digambarkan kehidupan rumah tangga masyarakat di bantaran kali. Di sebuah gubuk, dua orang ibu rumah tangga sedang berbincang mengenai kesulitan yang mereka hadapi saat ini. Ibu A mengeluh “aduh, bagaimana nih, besok harus bayar uang sekolah” sedangkan si ibu B ngomel ‘”waduh, bapaknya si B kemana lagi, kaga’ ninggalin uang belanja buat hari ini”. Di tengah pembicaraan mereka, tiba ibu C datang, “ ibu-ibu bisa bantu nggak? Nenek (orang yang dituakan) sedang sakit dan dia tidak punya uang”. Serentak dijawab oleh ibu A dan B “gimana mo’ bantu! Kita aja nggak punya duit sama sekali”. Obrolan mereka berlanjut tentang isu yang beredar tentang penggusuran daerah bantaran kali tempat mereka tinggal. Sebuah realitas yang kerap terjadi.
Setelah obrolan mereka selesai, Ibu A dan B lalu mencari suaminya. Ternyata suami mereka sedang asik bermain kartu. Setelah mencoba mengajak pulang suami mereka dan tidak berhasil, mereka kemudian membawa peralatan masak sambil dipukul-pukul. Suara pukulan tersebut terdengar sangat harmonis sehingga lebih mirip sebuah instrumen musik. Merasa terganggu para suami akhirnya menghentikan permainan dan pulang. Kemudian digambarkan seorang bapak yang pulang dan mengamuk dirumahnya sambil mencari uang. Tidak berhasil mendapatkan dia cari, sang bapak lalu mengambil tabungan anaknya. Sang ibu berusaha menghentikannya, akan tetapi tidak berhasil.
Lalu tibalah saatnya, seorang petugas pemerintahan datang dan mengumumkan rencana penggusuran daerah mereka. Ulah petugas tersebut dihentikan oleh para ibu dan anak-anak yang kemudian mengusir petugas itu. Ibu-ibu tersebut kemudian memanggil para suaminya agar memperhatikan ancaman tersebut tetapi suami mereka lebih tertarik untuk melanjutkan permainan kartunya. Selang beberapa lama, para petugas datang dan mengusir masyarakat yang berada di bantaran kali tersebut.
Di akhir cerita tersebut, seorang nenek muncul dan berikrar bahwa mereka tidak akan meninggalkan tanahnya. Nenek tersebut menegaskan bahwa mereka lahir, besar dan tua di daerah tersebut. Mereka akan melakukan perlawanan sampai keadilan buat mereka terwujud.
Cerita yang digambarkan dalam operet tersebut merupakan suatu fakta yang kerap terjadi di Jakarta. Di tengah kesulitan hidup serba kekurangan dan penuh dengan problem keluarga dan sosial, masih juga rakyat kecil diterpa Penggusuran. Contohnya penggusuran yang terjadi mulai dari daerah Ancol Timur hingga ke Teluk Gong, telah mengakibatkan ribuan bahkan puluhan ribu kepala keluarga kehilangan tempat tinggal mereka. Jumlah mereka akan terus bertambah seiring dengan rencana pemerintah DKI melakukan penggusuran di berbagai tempat.
Akhir acara, para pemain dan pendukung acara beserta anak lainnya naik ke atas pentas dan menyanyikan lagu andalan mereka “Anak pinggiran”. Sambil bernyanyi anak-anak tersebut kemudian turun dari panggung dan menyalami semua penonton yang berdiri untuk memberi aplus kepada mereka. Menurut salah satu pendukung acara, Susilo, yang akrab dipanggil mas Sus “Hasil penjualan tiket pementasan tersebut akan digunakan untuk membantu penyelenggaran pendidikan di Universitas Sanggar Akar”. Berdiri diatas kaki sendiri telah menjadi niat para anak yang berada di Sanggar Anak Akar.