Perempuan-perempuan Pengungsi : Suara Perempuan dari Kaki Gunung Leuser
Pertunjukkan diawali dengan adegan dimana para perempuan Aceh berkumpul dan mengaji. Alunan ayat Al Qur’an terdengar indah disuarakan para pemain. Adegan ini mencoba memperlihatkan aktivitas keseharian yang biasa mereka jalani di Aceh.
Suasana tenang dan damai tiba-tiba rusak akibat dentuman bom yang bertubi-tubi. Suara mengerikan ini membuat warga panik dan mencoba berlindung. Karena kengerian dan pemboman yang terus terjadi, mereka berkumpul dan berdiskusi untuk memutuskan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Pada awalnya, beberapa warga ingin tetap tinggal di tempat tinggal semula. Karena mengungsi berarti menjadi miskin karena harus merelakan hak milik yang telah ada sekarang ini. Namun kejadian meninggalnya seorang warga menambah kengerian dalam diri masing-masing orang untuk tetap tinggal di situ. Maka bulatlah suara mereka untuk mengungsi ke tempat yang diharapkan lebih aman dari tempat tinggal mereka itu.
Di tempat pengungsian, keadaan ternyata tidak kunjung membaik. Para pengungsi menghadapi banyak masalah seperti keadaan fasilitas kebersihan yang minim. Diperlihatkan bagaimana sulitnya untuk memenuhi hajat mereka yang paling dasar. Juga bagaimana langkanya air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesulitan demi kesulitan menimbulkan sejumlah rasa kesal dan tidak nyaman di dalam diri masing-masing orang. Keharmonisan antar warga pun mulai terganggu oleh pertikaian kecil di antara mereka. Hal-hal ini ditambah lagi dengan peranan Dinas Sosial yang digambarkan amat tidak membantu mereka. Perwakilan pemerintah tersebut hanyalah melakukan aksi formalitas dengan mendata identitas para pengungsi tanpa aksi nyata untuk kesejahteraan pengungsi. Perlakuan formalitas dan birokratis ini tentu membuat para pengungsi tidak simpatik dengan pihak pemerintah yang nota bene sebagai pelindung warga.
Keadaan pengungsian yang parah ini tentu membuat mereka amat ingin meninggalkannya dan mencari tempat yang lebih baik lagi. Suatu saat, mereka mendapat kabar mengenai keberadaan lahan tidur yang dapat digarap. Maka setelah bermusyawarah sebentar, mereka langsung bersiap seadanya dan bergerak ke tempat tersebut, yang tidak lain terletak di kaki Gunung Leuser.
Sesampainya di tempat tersebut, mereka bergiat membersihkan daerah baru tersebut agar layak huni. Mereka pun mulai beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. Kesepakatan yang utama adalah tidak boleh merusak alam dan menghormati alam. Hal ini diwujudkan dengan membangun pemukiman di tanah yang sudah gundul, tidak menebangi pohon, tidak buang air sembarangan dan lain sebagainya. Satu-satunya cara yang mereka temukan pertama kali untuk mencari nafkah adalah mengumpulkan damar dan menjualnya. Mata pencaharian ini pun dilakukan dengan prinsip menghormati alam, yaitu hanya mengambil damar yang sudah terjatuh di tanah, dengan cara mencungkilnya.
Mata pencaharian mencari damar ini tidak membawa penghasilan yang memuaskan untuk kehidupan mereka. Maka ketika ada tawaran pekerjaan yang lebih mudah dengan penghasilan yang lebih, beberapa warga tergiur. Tawaran pekerjaan yang dimaksudkan adalah tawaran dari sejumlah orang, yang ternyata penebang hutan ilegal yang ‘dibantu’ pegawai Dinas Sosial, untuk mengepo’ kayu. Yaitu warga diminta tenaganya untuk memikul kayu-kayu yang telah ditebang dari tempat penebangan ke tempat pengangkutan. Kesatuan warga mulai terpecah antara yang menerima pekerjaan mengepo’ kayu dengan yang masih bertahan pada prinsip melindungi hutan dan tetap mencari damar.
Selain ancaman melakukan pekerjaan ilegal, mereka juga sering kali mengalami intimidasi oleh petugas kehutanan seperti jagawana dan polisi hutan. Alasan petugas mencoba mengusir mereka adalah karena mereka menempati tempat pelestarian hutan. Hal ini terus dibantah warga karena secara faktual tempat tinggal mereka berada di luar hutan lindung dan hutan penyangga yang sudah ditetapkan.
Demikian akhir pertunjukkan yang sedikit banyak menggambarkan kehidupan para pengungsi di kaki Gunung Leuser. Penghabisan pertunjukkan ditandai dengan tarian Aceh yang secara gemulai ditarikan para pemain.
Secara keseluruhan pertunjukkan ini memberikan kesan yang mendalam. Mengingat pertunjukkan dilakukan berdasarkan pengalaman yang pemain sendiri alami. Keseluruhan pemain adalah perempuan-perempuan pengungsi. Kesan mendalam didapat dari pernyataan mereka dalam pertunjukkan, yang secara langsung menceritakan kembali luka mendalam yang mereka dapat di tanah rencong. Kesan ini semakin dikuatkan bila kita mendengarkan dengan sungguh akan nyanyian-nyanyian yang sekaligus menjadi suara latar sepanjang pertunjukkan. Nyanyian ini menghadirkan sejumlah warna perasaan, dari kekhidmatan hati, ketulusan, sampai perihnya luka akan peristiwa trauma yang mereka alami. Ketulusan dan niat baik semakin dipertegas secara halus lewat tarian penutup yang mereka sajikan dengan indah. Sehingga keseluruhan pertunjukkan menjadi bentuk penyebaran informasi yang indah dan tanpa warna kekerasan serta pemaksaan. Sehingga pertunjukkan ini mudah tinggal membekas dalam hati masing-masing penonton. Bila tidak bisa melakukan apa-apa, minimal doa dan rasa empati tumbuh untuk perjuangan hidup mereka. (Ella)