Dalam lukisan-lukisan klasik abad pertengahan sering kita menjumpai figur-figur perempuan yang bertubuh subur, dengan perut, lengan serta wajah yang berdaging dan berisi. Sebelum awal abad ini, bentuk tubuh perempuan yang ideal adalah yang gemuk, gembrot dan berlekuk- lekuk layaknya perempuan rumahan. Pendek kata, dari banyak gambaran yang didapat tentang perempuan baik dari lukisan maupun foto, bisa ditangkap kesan bahwa bentuk tubuh perempuan yang ideal adalah yang mampu mewakili citra kesuburan.
Kenyataan ini membuat banyak aktivis perempuan bertanya- tanya, siapakah yang membentuk citra bentuk ideal tubuh perempuan, perempuan sendirikah atau industri kapitalis yang menghasilkan produk diet dan produk lainnya sehingga di bawah sadar perempuan mewajibkan dirinya untuk bertubuh langsing seperti citra-citra yang muncul di media tersebut?
Bagian tubuh perempuan yang menjadi sasaran industri berikutnya adalah kulit dan rambut. Jika kita melihat dan mengamati iklan-iklan yang muncul menyelingi sinetron-sinetron di televisi, sebagian besar diantaranya berupa iklan produk perawatan rambut dan kulit. Berbagai macam shampoo ditawarkan, dari yang mampu menghitamkan rambut sampai yang mampu mengusir ketombe asalkan dipakai setiap hari. Citra-citra yang dimunculkan adalah berbagai perempuan dengan model rambut lurus dan hitam pekat, yang kalau perlu tingkat kehitamannya dibantu dengan sentuhan efek visual. Seakan-akan bentuk rambut yang ideal bagi perempuan hanyalah yang hitam dan lurus panjang. Padahal dalam kenyataannya rambut wanita beraneka ragam, mulai dari yang tebal, tipis, ikal, lurus, keriting sampai yang berwarna agak kemerah-merahan.
Begitu pula dengan citra kulit perempuan yang dibentuk oleh industri, pada pertengahan tahun 80-an sampai awal 90-an, kulit yang kuning langsat masih menjadi daya jual produk-produk kecantikan di Indonesia. Namun kini, seiring dengan munculnya banyak produk pemutih, citra yang mulai dikedepankan adalah citra perempuan yang berkulit putih bersih.
Bahkan siklus haid sebulan sekali yang dimiliki perempuanpun tidak luput dari sasaran industri. Berbagai macam pembalut, dari yang mengandung wonder gel sampai memakai wings, ditawarkan di pasaran dengan berbagai model perempuan yang mampu mewakili gambaran lincah, aktif dan muda.
Perempuan Korban “Citranya”
Karena berbagai pencitraan di media massa mengenai bentuk tubuh ideal seorang perempuan, banyak perempuan yang menjadi korban tanpa disadari. Pencitraan ukuran tubuh yang langsing cenderung ceking telah melipatgandakan kasus-kasus Anorexia dan Bulimia. Anorexia berarti kehilangan nafsu makan atau suatu sindrom yang membuat penderita menghindari keinginan untuk makan yang kemudian membuat dirinya berhasil menguasai dan mengatasi rasa lapar dan nafsu makannya sendiri. Penderita biasanya benar-benar ingin kurus sampai-sampai penderita merasa kedinginan, sulit tidur dan beberapa gangguan emosional lainnya. Salah satu contoh korban pencitraan perempuan adalah anggota perempuan the Carpenters, duet penyanyi asal Amerika yang meninggal karena diet ketat dan anorexia.
Sedangkan penderita Bulimia tetap makan dengan porsi yang wajar di depan publik, namun kemudian ia memuntahkan kembali makanan yang sudah dimakannya. Jika tidak, ia akan merasa tidak nyaman secara psikologis. Almarhum Putri Diana adalah salah satu contoh penderita penyakit ini. Para pemerhati masalah media dan perempuan mengamati bahwa gejala gangguan pola makan mulai marak muncul sekitar tahun 1960-an ketika Twiggy dan Barbie muncul.
Keinginan perempuan untuk memiliki kulit yang putihpun tidak luput dari bahaya. Di Indonesia, beberapa kosmetik pemutih kulit sampai harus dilarang oleh Departemen Kesehatan karena mengandung merkuri. Merkuri memang bisa membuat kulit menjadi lebih putih namun membawa efek samping yang berbahaya, bahkan dapat mengakibatkan kanker.
Untunglah saat ini mulai merebak sedikit demi sedikit kesadaran balik dari kaum perempuan. Sebagian dari mereka tidak rela jika tubuh perempuan jadi komoditi dan dijual habis- habisan oleh dunia industri. Aktivis perempuan bahkan melakukan kampanye agar perempuan yang gemuk dan gembrot diterima oleh orang banyak. Tanggal 6 Mei, dimulai dari Inggris, lantas dirayakan sebagai “Hari Tanpa Diet” dan dirayakan para aktivis dengan membuang timbangan dan melakukan piknik massal dengan suguhan makanan-makanan yang lezat. Mereka juga melakukan desakan agar tidak dilakukannya diskriminasi dalam memperoleh kesempatan kerja terhadap mereka yang bertubuh gendut, serta kampanye agar bioskop-bioskop dan pesawat terbang menyediakan tempat duduk besar bagi mereka yang gendut.
Aktivis lainnya memusatkan perhatiannya pada usaha penafsiran ulang citra perempuan di media massa. Mereka tidak segan-segan melancarkan kritik dan boikot terhadap iklan-iklan atau publikasi lain yang bersifat “menjajah” tubuh perempuan. Usaha mereka ini bukannya tanpa hasil karena beberapa perusahaan yang mempunyai kemauan baik mulai mengubah strategi-strategi promosinya, memperluas lini produknya menjadi bukan hanya untuk mereka yang langsing saja, dan bahkan perusahaan kosmetik seperti Body Shop mengkampanyekan bahwa kecantikan tidak berarti harus bertubuh langsing.
Usaha-usaha untuk mendefinisikan ulang arti kecantikan dan usaha untuk mengembalikan kepemilikan tubuh perempuan kepada perempuan sendiri perlu digalakkan dari tahap dini perkembangan perempuan sendiri. Jika tidak, maka di tengah trend pasar bebas dunia, maka posisi tubuh perempuan akan semakin ditentukan oleh pasar, bukan oleh perempuan sendiri.(AWH)
***
Sumber: Jurnal Perempuan, Media Awareness, www.about-face.org dan lainnya