Belum lama ini pemerintahan Megawati dengan Menlu Hassan Wirajuda sebagai juru bicara mengangkat kembali permasalahan lama yang ada sangkutpautnya dengan negeri bekas koloni Portugis dan juga Indonesia selama lebih dari 24 tahun. Pemeritah RI bersikeras untuk menuntut pengembalian aset-aset RI di Negara termuda di dunia saat ini, RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste) rupanya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Seperti yang ditegaskan oleh Menlu Hassan Wirajuda bahwa Indonesia tetap akan memperjuangkan tuntutan akan aset-aset milik Pemerintah Indonesia yang masih tertinggal di RDTL. Hal ini menurutnya sudah ada dalam agenda yang masuk dalam bagian dari seluruh masalah residual yang selama lebih dari dua tahun dibicarakan dengan UNTAET dan nantinya dengan RDTL1. Sedangkan pendapatnya mengenai pernyataan Ramos Horta adalah suatu pernyataan sepihak. Ramos Horta meminta Indonesia untuk membatalkan tuntutannya akan aset-aset yang ditinggalkan dan lebih baik untuk tidak bicara soal aset karena Timor sebenarnya lebih banyak lagi kehilangan (aset-asetnya).
Wirajuda juga mengungkapkan ada beberapa kategori aset yang tertinggal di TL, seperti; aset pemerintah, aset BUMN, aset swasta dan aset perorangan. “Kita sedang mengikuti proses inventarisasinya. Kalau kita mendapat kesempatan lagi dengan Timtim, itu akan kita angkat. Kita akan perjuangkan itu, itu yang kita put on the table,” tandasnya2.
Kenapa masalah ini menjadi mencuat setelah hampir tiga tahun sudah TL lepas dari Indonesia? Walau pemerintah mengatakan bahwa masalah ini telah lama ada dalam agenda pemerintah, namun siapa sebenarnya yang menjadi penggagas awal tentang ide tuntutan pengembalian aset ini? Apakah masalah ini cukup penting dan mendesak untuk dibicarakan untuk saat sekarang, selain hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan antar kedua negara. Dan pertanyaan terakhir, apakah dengan dikembalikannya aset-aset yang tertinggal di TL berpengaruh terhadap perekonomian kita ataukah ini hanya kepentingan segolongan orang saja?
Timor Sebagai ‘Propinsi Termuda’ Pemerintah Indonesia yang selama ini mengatakan bahwa infrastruktur yang ada di Timor sekarang adalah hasil dari pembangunan yang dilakukan oleh RI selama “Mengayomi” Timor sebagai propinsi termuda ke-27. Hal ini memang benar adanya, tapi tidak sepenuhnya benar.
Sebait pepatah “Mulut bawa madu, pantat bawa sengat” yang artinya – Sepertinya memberi tapi sesungguhnya mengambil sebanyak-banyaknya – pepatah ini selama kurang lebih 24 tahun menjadi nyata di Bumi Lorasa’e.
Mengapa demikian? Mari kita kembali melihat ke belakang, goresan-goresan sejarah yang penuh luka dan darah tentang invasi “Militer Indonesia” ke bekas daerah jajahan Portugis itu. Perlu diperjelas di sini rakyat TL tidak pernah secara sukarela maupun memilih untuk masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, begitu juga sebaliknya rakyat Indonesia tidak pernah memaksa – apalagi merestui Pemerintah RI mencaplok daerah itu.
Juni 1974, Jose Ramos Horta mengunjungi Jakarta dan berbicara dengan Mentri Luar Negeri Indonesia Adam Malik. Ia kemudian mendapatkan surat yang menyatakan:
I. Kemerdekaan setiap negeri adalah hak setiap bangsa, tanpa kecuali bagi rakyat di Timor.
II. Pemerintah dan rakyat Indonesia tidak punya keinginan untuk menambah atau memperluas wilayahnya, atau menduduki wilayah lain selain yang disebutkan dalam Konstitusi. Penegasan ini untuk membuat Anda jelas, sehingga tidak ada keraguan di benak rakyat Timor dalam menyatakan keinginannya.
III. Karena alasan itu, siapa pun yang akan memerintah di Timor di masa depan setelah kemerdekaan, bisa dijamin bahwa Pemerintah Indonesia akan selalu berusaha mempertahankan hubungan baik persahabatan, dan kerjasama untuk kebaikan kedua negeri3.
Alasan (yang sebenarnya tidak beralasan) yang dipakai oleh militer untuk menginvasi TL di bawah Opsus komando Ali Moertopo, adalah karena keserakahan dan ketakutan semata akan hadirnya satu negara baru yang dibangun oleh orang-orang beraliran kiri, dalam hal ini Fretilin sebagai partai yang mempunyai perolehan suara terbesar dan hal-hal lain yang berhubungan dengan posisi geografis TL yang strategis dan juga masalah ‘ekonomi’. Dengan tambahan dukungan yang kuat namun terselubung dari negara-negara seperti Amerika dan Australia, di mana kedua negara ini mempunyai andil yang besar dalam penyerbuan ke TL dan ironisnya, kedua negara ini juga berperan dalam rentetan peristiwa jajak pendapat sampai angkat kakinya rejim militer Indonesia dari TL.
*
Sejak tahun 1975, banyak dana ditanam oleh pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan. 500 SD, SMP dan SMA, satu universitas dan satu politeknik telah dibangun sejak invasi4. Namun semua fasilitas ini dibangun semata hanya untuk merebut hati rakyat TL untuk menerima Indonesia. Pembangunan di TL tidak jauh berbeda dengan model pembangunan Orde Baru di propinsi-propinsi Indonesia lainnya. Struktur politik-ekonomi di Indonesia dengan model perencanaannya yang bersifat top-down dan berorientasi proyek sangat membatasi peluang-peluang partisipasi masyarakat setempat dalam proses pembangunan. Watak pembangunan di TL juga dipengaruhi oleh penggunaan pendekatan militer, Pendekatan ini digunakan untuk melegitimasi kehadiran 13 batalyon militer, dengan jumlah total 11.000 tentara (jumlah intel dan polisi belum terhitung), di suatu daerah yang penduduknya hanya 700.000 jiwa5 . Tidak semudah seperti menyodorkan permen kepada anak kecil, kebencian masyarakat TL terhadap pendudukan militer Indonesia dipertajam oleh makin meningkatnya jumlah pendatang Indonesia ke TL. 20 % dari seluruh penduduk Dili, yang seluruhnya 120.0006 jiwa .
Monopoli dan Eksploitasi Sumber Daya Alam TL
Kopi sebagai tanaman utama yang menjadi andalan bagi penduduk yang berada di dataran tinggi, telah dimonopoli oleh suatu perusahaan yang didukung oleh tentara, PT Denok Hernandes Indonesia, sejak awal pendudukan dan secara drastis telah menurunkan pendapatan para petani kopi TL. Perkebunan di Liquica dan Ermera yang semua dimiliki SAPT7 kemudian diambil-alih PT Salazar Coffee Plantation, sebuah perusahaan swasta yang dimiliki oleh sejumlah pengusaha yang menikmati dukungan dari pemerintah baru di Dili, belum lagi perusahaan penyulingan minyak kayu cendana yang juga didukung oleh tentara, PT Scent Indonesia, yang memperoleh konsesi berupa semua hutan cendana di seluruh TL. PT Marmer Timor Timur juga memperoleh monopoli atas seluruh tambang marmer di TL.
PT Salazar Coffee Plantation, PT Scent Indonesia dan PT Marmer Timor Timur, kesemuanya merupakan anak perusahaan dari PT Batara Indra Group. Perusahaan pengelola yang memonopoli hampir keseluruhan emonomi di TL ini tumbuh dari PT Denok Hernandes Indonesia yang didirikan oleh tiga serangkai yang pernah menjabat sebagai komandan Operasi Seroja – Benny Moerdani, Dading Kalbuadi, dan Sahala Rajagukguk. Mereka dibantu oleh dua bersaudara keturunan Cina, Robby dan Hendro Sumampouw untuk membiayai operasi militer di TL dengan memonopoli pembelian dan ekspor kopi dari TL8 . L.B Moerdani yang terlibat dalam kasus pembantaian di Dili dan Tanjung Priok ini juga terlibat dalam permainan politik. Kejadian ini melegitimasi kehadiran ABRI (sekarang TNI) untuk mengontrol semua percaturan bisnis di TL agar tidak dikuasai oleh anak-anak Soeharto. Benny sebagai mentri pertahanan dan keamanan pada waktu itu juga dibantu oleh orang dekatnya Markus Wanandi, seorang pastur di TL yang juga adik dari direktur CSIS – Yusuf Wanandi .
Akibat terpenting ke dua dalam bidang politik dan ekonomi dari pendudukan Indonesia di Timor Lorosa’e adalah pengendalian sebagian besar sumber daya alam oleh elite pemimpin Indonesia9 . Pembangunan ekonomi dan sosial di TL yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah merupakan salah satu unsur pokok dalam pendekatan keamanan, yaitu dalam usaha militer untuk membasmi gerakan anti integrasi. Proyek-proyek pembangunan di TL adalah oleh dan untuk tentara dan tidak ditujukan ke perbaikan mutu kehidupan masyarakat TL.
Daftar Anak Perusahaan PT Batara Indra Group (BIG)10
No
Nama Perusahaan
Jalur Usaha dan Keterangan lainnya
1. PT Denok Hernandes Indonesia Perdagangan kopi, anggota BIG pertama sejak perusahaan ini tiba bersama pasukan Indonesia pada tahun 1975.
2. PT Salazar Coffee Plantation Mengambil alih perkebunan kopi SAPT di Ermera
3. PT Pelayaran Neediak Perusahaan jasa angkutan kapal.
4. PT Batara Indra Pada awalnya didirikan untuk mengurus aktivitas tursime dan rekreasi tapi berubah menjadi holding company BIG, yang juga mengimpor berbagai barang konsumsi ke TL, dari minyak goreng, gula, terigu dan semen Indonesia, hingga anggur Portugal. Pengapalan barang dagangannya dari dan ke TL terutama dilakukan oleh PT Neediak.
5. Toko Marina Toko serba ada utama di Dili, berada di Colmera
6. PT Scent Indonesia Menghasilkan minyak kayu cendana, bahan dasar parfum, di pabriknya di Dili.
7. PT Marmer Alam Timor Timur Menghasilkan marmer di Manatuto. Pada 1993 masih secara formal dinyatakan sebagai “proyek” dan bukan perusahaan komersial karena marmer yang dihasilkan belum lagi mendatangkan keuntungan (kualitas yang dihasilkan di bawah kualitas marmer Tulungagung di Jawa Timur dan ongkos transportasi ke Jawa tentunya jauh lebih mahal daripadai di Jawa dan Lampung) Sejauh ini, marmer TL yang dihasilkan oleh perusahaan ini telah dieksporkan oleh dua perusahaan lainnya di BIG di Surabaya dan diangkut oleh Neediak.
8. PT Kerta Timorindo Didirikan pada 1991 sebagai proyek sampingan unit cendana dan marmer yang berkaitan dengan marmer dan kerajinan dan patung-patung kayu cnedana, dihasilkan oleh 30 pengrajin di dalam perusahaan dekat lapangan udara Comoro. Kebanyakan pengrajin berasal dari Jawa.
9. Hotel Mahkota Terbesar, 92 kamar, 3 lantai dan hotel paling modern di TL, berlokasi di pusat kota Dili, berdekatan dengan bangunan tua SAPT
10. New Resende Inn Hotel dengan 22 kamar di Dili.
11. Bioskop Seroja Satu-satunya bioskop di Dili, menempati bekas stadion olahraga, tempat “pertunjukan integrasi” dilakukan pada 31 Mei 1976.
12. PT Watu Besi Raya Terikat kontrak kebanyakan proyek-proyek pembangunan swasta di TL, termasuk jalan, jembatan dan pelabuan Com yang belum terselesaikan di Lautem.
13. PT Gunung Kijang Memiliki kontrak pada proyek-proyek kecil di TL.
14. PT Konindo Timur Konsultan teknik, memperkejakan terutama teknisi muda dari Jawa.
15. PT Delta Komoro Permai Perumahan kelas menengah di dekat lapangan terbang Comoro, melibatkan seorang tuan tanah setempat, Joao Francisco da Costa E. Silva untuk mendapatkan tanah seluas 120 Ha dengan gratis.
16. PT Timor Bumi Asri Perumahan kelas bawah
17. PT Fatuluku Agrotama Industri Merencanakan untuk membuat perkebunan tebu dan pabrik gula di Lautem.
18. PT Puspita Dili Mulia Transportasi
19. PT Puspita Timor Transportasi
20. PT Sai Diak Utama Perdagangan umum termasuk kopi
21. PT Ina Racik Perdagangan umum termasuk kopi
22. Rempah Kencana Perdagangan produk pertanian TL dan Timor Barat, termasuk kopi dan cendana
23. PT Bintang Aditimur Tidak jelas
24. PT Maubara Permai Tidak jelas
Namun ketika peranan PT Batara Indra di TL mulai menurun sekitar tahun 1994 yang juga diikuti dengan menurunnya peranan ‘beking’-nya, Benny Moerdani, dalam kancah politik di Indonesia. Orde Baru memanfaatkan saat-saat ini dengan mulai menapakkan kakinya di TL. Usaha-usaha ini memiliki hubungan yang dekat dengan gubenur yang ditunjuk pemerintah Indonesia di TL, Jose Abilio Osorio Soares – yang merupakan kaki tangan bintang baru di AD Indonesia, Prabowo Subianto – menantu Soeharto.
Mei 1997, Titiek Prabowo – istri Prabowo Subianto, putri kedua Soeharto meresmikan dua perusahaan. Perusahaan yang pertama PT Dilitex, sebuah perusahaan penenunan seluas 200 Ha dengan investasi 575 dollar AS. Yang kedua adalah pabrik garam beryodium seluas 12 Ha di Manatuto – daerah asal Osorio Soares, yang akan memproduksi 1.500 ton garam beryodium per tahun. Gil Alves – saudara ipar Gubenur TL menjadi presiden di kedua perusahaan ini, mewakili Yayasan Hati, sebuah yayasan yang didirikan mantan “partisan” pro-Indonesia selama operasi militer 1975 – 1976. PT Dilitex merupakan kerjasama antara Yayasan Hati, Grup Maharani (Titiek Prabowo) dan seorang usahawan kelas atas Indonesia keturunan India, Marimutu Sinivasan – pemilik Kelompok Texmaco. Selain mengepalai kedua pabrik itu, Gil Alves juga membantu beberapa usaha Keluarga Cendana yang lain. Izin ekspor kopinya digunakan oleh perusahaan milik Tutut. Keberhasilan Tutut dalam menggantikkan posisi PT Denok yang memonopoli pasar kopi TL melalui “koperasi” Indonesia selama dekade pendudukan, telah menarik minat pamannya Probosoetedjo, yang menyatakan rencananya pada awal 1996 untuk mengembangkan perkebunan kopi di koloni Indonesia itu. Bagi Keluarga Cendana, jarak merupakan komoditas yang strategis, karena mereka mengendalikan perusahaan penerbangan swasta Indonesia – Sempati Air. Perusahaan penerbangan ini merupakan kerjasama antara Tommy, Bob Hasan dan sebuah yayasan milik TNI – AD. Tommy juga memiliki kepentingan lain untuk mempertahankan kontrol Indonesia terhadap TL, karena sumber daya minyak dan gas di Laut Timor. Perusahaan persewaan pesawatnya, PT Gantari Air Service, yang menyewakan pesawat bersayap tetap dan helikopter pada perusahaan minyak selama 6 tahun telah menunggu kesempatan untuk menikmati Kue Celah Timor11.
Pada 27 Desember 1991, sebuah perjanjian kerjasama ditandatangani oleh Matahari Group dengan penguasa Operasi Teritorial TL. Persetujuan inilah yang memberi lampu hijau kepada Matahari untuk membuka tokonya di Dili. Pada hari yang sama, 10 perusahaan bergabung di bawah satu perusahaan payung – TimTim Development Corps, untuk menandatangani sebuah kontrak kerjasama. 10 perusahaan tersebut adalah: Astra Internasional, Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon Indonesia, Garuda Indonesia, Great River Garments, Puncak Matahari, Puskopad Kodam Udayana IX, Bintang Tatamilau Cemerlang dan PT Telkom 12.
Sebuah penanaman investasi dan infrastruktur pendukung yang cukup besar di atas genangan darah, korban pembantaian dan kekerasan militer – telah digulirkan. Proyek demi proyek berjalan dengan bayangan keuntungan yang melimpah tanpa memikirkan penderitaan rakyat si empunya lahan – apalagi untuk bertanya “Apa yang kamu mau dan butuhkan?” Dan fatalnya lagi dengan segala kegelapan informasi yang selama ini telah disebarkan oleh Orde Baru kepada rakyat Indonesia mengenai Timor Timur yang berintegrasi, telah membuat banyak orang di Republik Nusantara ini ‘berpikir’ bahwa Timor Timur adalah bagian dari NKRI dan juga Indonesia telah banyak berkorban untuk membangun Timor tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bahwa Republik yang baru sekitar 30 tahun lepas dari kolonial Belanda dan Jepang – dengan rejim militer Orde Baru nya – telah ‘mencontek’ banyak dari kedua bekas penjajahnya itu dan sekarang mulai belajar untuk berbuat hal yang sama kepada TL.
Dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia, segelintir elit militer, politisi dan pengusaha-pengusaha yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kroninya – menghisap kekayaan Bumi Lorosae dan membantai orang-orang yang menentang. Dan sepertinya sekarang dengan corong pemerintahan Megawati digaungkan kembali akan “tertinggalnya aset-aset RI” di TL.
Seakan telah hilang dari ingatan ketika pemerintah Indonesia harus menelan kenyataan pahit dan mengubur mimpi muluknya dengan harus angkat kaki dari TL, saat rakyat TL telah berani sepenuhnya menyuarakan keinginan mereka yang telah terkekang oleh moncong senjata dan sepatu lars selama lebih dari 24 tahun pendudukan militer Indonesia dalam jajak pendapat yang diadakan oleh PBB.
Dan sesaat setelah hasil jajak pendapat diumumkan, militer Indonesia yang kalap segera mengerahkan milisi-milisi pro-integrasi yang selama ini telah mereka latih dan persenjatai untuk membumihanguskan TL. Sudah lupakah kita akan peristiwa itu?
Pemerintah Indonesia dan Militernya berkelit tidak bertanggung jawab akan peristiwa penghancuran dan pembantaian itu dengan mengatakan bahwa telah terjadi konflik horisontal antara massa pro-kemerdekaan dan pro-integrasi yang kecewa. Jenderal Wiranto dalam wawancara dengan Kompas, 13 September 1999 mengemukakan “…ternyata ada hambatan psikologis para prajurit untuk melakukan tindakan represif kepada masyarakat Timtim (pen.: milisi pro-integrasi). Mereka tahu, rakyat itu tidak melakukan tindakan kriminal murni, mereka juga kan bukan penentang pemerintah atau aparat keamanan. Tapi mereka adalah orang-orang yang kecewa lalu meluapkan rasa kekecewaannya…”
Dalam kesepakatan New York, 5 Mei 1999. Tugas keamanan diserahkan kepada TNI/POLRI, dan dalam penjelasan di atas seakan tergambar pengakuan akan ketidakmampuan TNI/POLRI untuk menjalankan tugasnya. Di lapangan amat sangat jelas bahwa aksi-aksi kekerasan, penghancuran, pembunuhan dan pemindahan dengan paksa rakyat TL untuk keluar dari wilayahnya dilakukan oleh milisi yang didukung oleh TNI/POLRI. Mereka seakan melakukan sebuah sandiwara, padahal TNI/POLRI dan Milisi-milisi ‘pro-integrasi’ sudah seperti Jin dan Jun dalam film sinetron atau kalau menurut pepatah “setali tiga uang.” Hubungan milisi dengan TNI/POLRI inilah yang oleh Wiranto dikatakan sebagai “hambatan psikologis.”
Kekerasan ini sudah jelas-jelas merupakan suatu hal yang telah direncanakan sebelumnya oleh petinggi-petinggi militer yang tidak mau begitu saja kebakaran jenggot. Fasilitas-fasilitas umum, bangunan-bangunan baik yang dibangun oleh pemerintah maupun peninggalan Portugis dirusak dan dibakar hingga rata dengan tanah, rumah-rumah penduduk dan toko juga dibakar dimana sebelum itu barang-barang yang berharga juga dijarah.
Penguasa republik ini tidak pernah belajar dari sejarah. Elit politiknya tidak tahu malu dan demagog. Seharusnya Republik Demokratik Timor yang baru berdiri inilah yang meminta ganti kerugian atas apa yang telah dibuat oleh pemerintah dan militer Indonesia selama jaman pendudukan hingga saat-saat terakhir pembumihangusan, namun mereka tidak melakukannya dan lebih memilih untuk membuka lembaran baru sebagai satu negara baru yang ingin menjalin hubungan baik dengan Indonesia. Namun tidak sama halnya dengan pernyataan pemerintah kita yang bersikeras untuk memperjuangkan tuntutan pengembalian aset-aset RI di RDTL.
Sampai sejauh mana batas nalar kita merambat berkembang untuk mengungkap ide tuntutan ini sebagai satu hal yang orisinil atau hanya suara-suara yang berkepentingan yang merengek dan mendesak pemerintah untuk mengangkatnya ke permukaan.
***
Andre Liem adalah peminat kebudayaan dan pengobatan alternatif yang aktif di Jaringan Kerja Budaya pernah menjadi pekerja kemanusiaan di Timor Leste tahun 1999.
1) Kompas Jumat, 31 Mei 2002
2) Kompas Jumat, 31 Mei 2002
3) Helen Mary Hill, Gerakan Pembebasan Nasional Timor Lorosae (Hal. 99) Yayasan HAK & Sahe Institute for Liberation, Dili 2000
4) Gerakan Anti Pembodohan, Timor Timur Sekarang Waktunya Untuk Bicara.
5) Ibid, hal 16
6) Ibid, hal 11
7) Sociedade Agricola Patria e Trabalho (SAPT) – Masyarakat, Tanah Air, Pertanian dan Pekerja. Berdiri tahun 1899 oleh kolonial Portugis.
8) George J. Aditjondro, Menyonsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau (Hal. 179) Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia. Yayasan HAK dan Fortilos, Jakarta 2000. Hal 182 – 183
9) Ibid, hal 179
10) George J. Aditjondro, Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau (Hal. 179) Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia. Yayasan HAK dan Fortilos, Jakarta 2000. Hal. 184 – 186.
11) Ibid, hal: 189 – 193.
12) Gerakan Anti Pembodohan, Timor Timur Sekarang Waktunya Untuk Bicara. Hal: 19
Kita sebagai bangsa yang berdaulat jangan sampai menyerah kepada timor leste karena banyak sudah harta dan jiwa raga kita yang telah kita korbankan untuk rakyat timor mereka tidak bisa bersyukur