Setelah memahami tentang apa itu HAM dan Pelanggaran HAM, pertanyaan yang kemudian perlu kita ketahui adalah siapakah yang bisa dikategorikan sebagai pelanggar HAM? Apakah hanya kelompok dapat dikatakan sebagai pelaku? Atau individu juga dapat menjadi pelaku? Lalu siapakah yang bertanggung-jawab? Bagaimana pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi?
Yang paling pertama harus dibedakan adalah pelaku tindak pelanggaran dan pertanggungjawaban. Keduanya memiliki aspek yang berbeda dalam wacana HAM. Terjadinya tindakan pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh siapapun, baik itu perorangan maupun kelompok. Dalam kondisi apapun, pertanggung-jawaban harus dibebankan kepada negara sebagai representasi pemangku mandatdari warga negara. Namun tidak menutup kemungkinan orang/kelompok dapat dikriminalisasi untuk mempertanggungjawabkan tindak pelanggaran yang telah dilakukan.
Secara umum, ada dua pihak yang dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM; Aktor Negara dan Aktor Non-Negara.
Aktor Negara (state actor)
Yang dimaksud dengan aktor negara adalah mereka, baik perorangan maupun institusi yang berada dalam kapasitas atau sebagai representasi Negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Pelanggaran HAM tersebut terjadi karena dalam melaksanakan kewajiban mereka sebagai representasi Negara tidak melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya.
Sebagai contoh;
- Polisi kerap melakukan penyiksaan dalam melakukan inttrogasi terhadap tersangka
- Militer melakukan penyerangan terhadap warga sipil (non-combatant) dalam situasi darurat
- Pemerintah tidak mengambil tindakan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga atau
- Pegawai Negeri yang melakukan tindakan diskriminatif dalam memberikan pelayanan publik
Pelanggaran tersebut bisa terjadi karena adanya tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran dari Negara (act of ommission). (( Lihat Maastricht Guidelines))
Aktor non-negara (Non-State Actor)
Orang/kelompok di luar aktor negara juga dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM dalam berbagai tindakan tertentu. Kecenderungannya, pelaku dari aktor non negara memiliki beberapa karakteristik khusus. Mereka biasanya memiliki kekuasaan, baik pengaruh maupun modal. Kerapkali pelaku memiliki struktur dan jaringan yang terorganisir. Sering terjadi, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh non-state actor tidak jauh berbeda dengan tindakan yang dilakukan oleh negara atau aparatnya.
Sebagai contoh;
- penyerangan terhadap warga sipil oleh kelompok milisi seperti yang terjadi di Timor-Timur (kini Timor Leste)
- pencemaran yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sehingga mengakibatkan hilangnya hak orang lain (misalnya kesehatan)
- Penyebaran kebencian yang dilakukan oleh FPI terhadap Ahmadiyah dengan mengeluarkan seruan bahwa “halal darah Ahmadiyah” ditumpahkan.
Pelanggaran tersebut bisa terjadi karena adanya tindakan langsung (act commission) dari pelaku. (( Lihat Maastricht Guidelines ))
Hingga saat ini, posisi aktor non-negara masih menjadi perdebatan di dunia internasional. Dalam wacana tradisional, pelanggaran HAM merupakan tanggung jawab Negara terkait dengan kewajibannya kepada warga negara. Pada kenyataannya, berbagai tindakan pelanggaran yang terjadi di Indonesia kerap dilakukan oleh pihak yang berada di luar negara. Sebagai contoh, tingginya kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan yang notabene dilakukan oleh individu cenderung dibiarkan oleh Negara. Kasus perdagangan orang yang semakin menjadi serta libatkan jaringan mafia internasional. Lalu, beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan multi-nasional di beberapa wilayah Indonesia. Persoalan ini kemudian seperti lepas dari tanggung jawab negara.
Konperensi Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993 telah memberikan perpektif yang lebih luas pada hak asasi manusia, terutama persoalan pelanggaran HAM. Konperensi ini menegaskan bahwa HAM yang terdiri dari hak sipil, politik, budaya, ekonomi dan sosial tak dapat dipisahkan, saling terkait dan saling bergantung. Selain itu, ditegaskan juga bahwa pertanggung-jawaban juga dapat ditujukan kepada beberapa pihak di luar Negara. (( HURIDOCS events standard formats : a tool for documenting human rights violations ))
Hal ini kemudian dipertegas dalam Pedoman Maastricht (Maastricht Guidelines) (( Maastricht Guidelines adalah dokumen yang dihasilkan oleh 30 ahli dalam pertemuan di Maastricht pada 22-26 Januari 1997 sebagai elaborasi lebih jauh Limburg Principles )) yang menjadi pedoman dalam melakukan implementasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Didalamnya, dijelaskan secara komprehensif mengenai konsep pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara maupun aktor non-negara.
sumber: www.syaldi.web.id