Kemiskinan menjadi permasalahan utama dalam pemenuhan pendidikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat pada tahun 2007, tercatat 31,7 juta jiwa penduduk Indonesia termasuk miskin. Kemiskinan dapat dilihat di berbagai wilayah di perkotaan dan pedesaan. Kita bisa melihat banyaknya rumah kecil, padat dan kumuh berhimpitan di berbagai wilayah kota besar Indonesia seperti Jakarta, Tangerang, Bogor dan lainnya.
Adanya kemiskinan, kemudian dapat menyebabkan anak putus sekolah. Berdasarkan data angkatan kerja dari BPS Pusat tahun 2006, terdapat 42,5 juta pekerja (termasuk pekerja anak) berusia antara 15 sampai 24 tahun dan 70 % nya tidak menamatkan SD atau hanya tamat SD. Meskipun pemerintah telah membuat program wajib belajar enam tahun (bahkan sekarang program wajib belajar 9 tahun/SD-SMP), kelihatannya, program tersebut tidak berhasil.
Selama ini pemerintah juga menyediakan banyak sekolah negeri. Di tiap kabupaten misalnya, pemerintah daerah mewajibkan adanya minimal sebuah SMA Negeri. Sekolah-sekolah negeri ini seharusnya di tujukan untuk keluarga miskin. Dengan asumsi keluarga kaya dan menengah akan Tapi yang terjadi kemudian, sekolah ini tetap memungut biaya sekolah, biaya gedung, seragam, buku dan lain-lainnya pada keluarga miskin. Ketika uang sekolah di gratiskan oleh pemerintah lewat Bantuan Operasional Sekolah (BOS), harga buku atau seragam malahan melambung tinggi.
Akibat dari persoalan tersebut, ternyata juga dapat mengakibatkan anak putus sekolah. Sebuah kasus anak putus sekolah di sebuah kota besar di Indonesia beberapa tahun belakangan, dikarenakan tidak dapat membeli buku pelajaran, anak menjadi takut ke sekolah. Ketakutan ini dikarenakan ketika ke sekolah, si anak akan selalu ditegur gurunya untuk membeli buku. Adanya perasaan malu, tertekan dan takut yang menghantui si anak, membuatnya memilih untuk tidak bersekolah. Begitu juga yang terjadi dengan anak lainnya yang tidak mampu membeli seragam atau membayar sumbangan lainnya.
Beberapa waktu yang lalu, kita melihat pada tayangan iklan layanan masyarakat di televisi, bahwa pemerintah memberi sumbangan buku ke setiap sekolah negeri (BOS buku). Sumbangan ini agar si anak tidak perlu membeli buku lagi, cukup meminjam dari sekolah. Persoalannya lagi, cukupkah buku yang tersedia untuk dipinjam semua anak? Ketika sekolah yang disumbang buku ternyata lebih dari 50% muridnya berasal dari keluarga miskin. Ternyata tidak. Para murid tetap harus membeli atau diperbolehkan untuk memfoto copy buku pelajarannya.
Persoalan lain, berita Kompas, 12 April 2008 menyebutkan bahwa anggaran bantuan operasional sekolah untuk buku, dan beasiswa untuk siswa miskin akan di potong pada tahun anggaran ini. Artinya, uang sekolah dan harga buku yang mahal kemungkinan besar akan kembali di berlakukan pada keluarga miskin.Belum lagi adanya sumbangan-sumbangan lain yang diminta oleh sekolah, misalnya kado untuk guru, uang gedung dsb.
Pemenuhan pendidikan yang gratis adalah kewajiban negara, sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu bahwa “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis mestinya diberikan pada tingkat dasar atau fundamental dan dilindungi hukum.” Negara yang ikut menandatangani Deklarasi tersebut memiliki kewajiban dalam pemenuhan hak tersebut. Hak pendidikan yang didapat tiap warganegara sesuai dengan UUD 1945, pasal 31 tentang pendidikan, bahwa “Setiap warganegara berhak mendapatkan Pendidikan yang layak”.
Kemiskinan yang terjadi bukan hanya membuat seseorang putus sekolah, tapi juga tidak dapat memilih pendidikan yang berkualitas. Seperti yang dikatakan oleh ibu Yana di Jawa Barat,“Sebentar lagi si Keni masuk SD deket rumah. Kenapa milih disitu? Selain deket sama rumah juga katanya lebih murah, lagian kan Keni ngga perlu ongkos kesana. Paling uang jajan seribu, dua ribu” ujar ibu Yana ketika bertemu dengan saya di rumahnya. Rumah ibu Yana berukuran 15 m2 dan bertingkat satu. Didalam rumahnya yang sempit itu, ibu Yana tinggal bersama suaminya, pak Maman yang bekerja sebagai pekerja serabutan, dan dua anak mereka, Linda dan Keni. ibu Yana lalu memilih sekolah yang lebih murah dalam hal transportasi, tanpa memikirkan kualitas pendidikan, karena dia tidak memiliki pilihan.
Pada masyarakat miskin seperti ibu Yana, menyekolahkan anak merupakan kewajiban orangtua, tidak melihat apakah merupakan hak anak memperoleh pendidikan, atau sebetulnya kewajiban pemerintah untuk memenuhi pendidikan warganegaranya, baik yang miskin maupun yang kaya. Menyekolahkan anak, apalagi sampai tingkat yang tinggi, misalnya SMA atau perguruan tinggi, merupakan suatu kebanggaan atau prestise bagi ibu Yana dan keluarga. Oleh karena itu melihat kualitas pendidikan kemudian menjadi nomer kesekian dalam menyekolahkan anak.
Pendidikan yang berkualitas, seharusnya menjadi tanggungjawab negara, sebagai salah satu penandatangan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand. Dalam deklarasi ini, negara penandatangan sepakat atas penyediaan pendidikan yang berkualitas. Negara seharusnya tidak mengabaikan kualitas bangunan sekolah misalnya. Seperti dalam kasus bangunan sekolah yang ambruk, di sebuah SDN di Bogor. SDN ini akhirnya mendapat bantuan dalam membangun kembali sekolahnya, setelah komite sekolah (terdiri dari orangtua murid, tokoh masyarakat dan anggota LSM), beserta beberapa guru mendesak Dinas Pendidikan untuk memberikan bantuan dana. Kasus lain pengabaian negara terhadap kualitas sekolah yaitu jumlah murid di kelas. Pada hampir semua SDN di Jakarta, Tangerang dan Bogor, satu kelas diisi lebih dari 30 murid, dengan satu guru yang mengajar. Satu orang guru inipun, dapat mengajar lebih dari satu mata pelajaran, terutama bagi wali kelas.
Masih banyak lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan pemenuhan pendidikan gratis dan berkualitas bagi keluarga miskin di Indonesia. Dan setiap tahun, akan tetap muncul kasus semacam itu, apabila pemerintah, sebagai pelaksana negara, tetap tidak berpihak pada keluarga miskin di Indonesia, yaitu dengan mengabaikan kewajiban untuk memenuhi, melindungi, memfasilitasi dan menghormati hak setiap warganegaranya.
Mbak Diyah, perlu juga lo pembekalan pengalian potensi soft skill pada siswa2 SMP dan SMU, syukur syukur dan pelatihan keterampilan bagi siswa non SMK. Kasus yang saya temui pendidikan oleh orang tua bagi anak2nya sebatas latah dimasyarakatnya
asalkan lulus SMP ajah
Asalakan Lulus SMU sederajat Ajah…
dan lulusan, SD, SMP, SMU di daerah ini nantinya sama2 berkompetisi mendapatkan pekerjaan yang sama di masyarakat sebagai buruh serabutan….
gitu az thanks