Dana yang hilang dari proses restrukturisasi perbankan yang dikawal BPPN adalah 527,5 Trilyun. Kalkulator 10 digit tidak mampu menampung jumlah ini, jadi bisa dibayangkan betapa besarnya jumlah itu. BPPN mengistilahkan dana hilang itu sebagai “biaya krisis”.
Mari kita bandingkan dengan pembiayaan pendidikan:
- Pengeluaran Keluarga untuk pendidikan untuk SD (negeri) rata-rata adalah Rp. 953.350,- /siswa/tahun.
- Untuk tingkat SLTP (negeri) rata-rata adalah sebesar Rp.2.193.413 /siswa/tahun.
- Untuk tingkat SMU (negeri) rata-rata adalah sebesar Rp.2.784.211 /siswa/tahun.
Dana yang hilang sebagai “biaya krisis” tersebut dapat membiayai:
- 553.312.005 (Lima ratus juta tiga ratus dua belas ribu lima) anak SD untuk waktu setahun alias dua kali lipat lebih jumlah penduduk Indonesia saat ini.
- 240.492.784 (Dua ratus empat puluh juta empat ratus sembilan puluh dua ribu tujuh ratus delapan puluh empat) anak SLTP untuk waktu setahun.
- 189.461.215 (Seratus delapan puluh sembilan juta empat ratus enam puluh satu dua ratus lima belas) anak SMU untuk setahun.
Jika jumlah penduduk yang menjadi sasaran pendidikan (usia 7-24 tahun) adalah 77.641.800 (Tujuh Puluh Tujuh Juta Enam Ratus Empat Puluh Satu Ribu Delapan Ratus) jiwa, maka “biaya krisis” tersebut dapat memberi mereka dana sebesar Rp.6.794.020,- per orang yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan mereka selama 41 bulan. (Jika kebutuhan siswa SD-SLTP-SMU negeri di rata-rata adalah Rp 1.976.991 /siswa/tahun).
Jika jumlah orang miskin di Indonesia tahun 1997 tercatat sebanyak 49,5 juta orang, maka “biaya krisis” itu dapat memberi mereka uang sejumlah Rp.10.656.565,- yang dapat membuat mereka bertahan hidup selama 15 bulan jika pengeluaran mereka dalam sebulan sebesar Rp. 700.000,- per orang (bukan per keluarga!).
Bagaimana dengan angka yang berkaitan dengan kasus Akbar Tanjung yaitu sebesar 35 milyar rupiah?
Uang sejumlah itu dapat membiayai pendidikan 36.712 anak SD untuk waktu setahun, 15.956 anak SLTP untuk setahun dan 12.570 anak SMU untuk setahun. Jika uangnya dibagikan untuk 49,5 juta orang miskin, mereka dapat bertahan hidup selama satu bulan, jika pengeluaran dalam sebulan Rp. 700.000,- per orang (bukan per keluarga).
Perhitungan di atas baru memberikan gambaran untuk dua buah kasus penyelewengan dana saja. Padahal kita tahu ada berapa banyak kasus-kasus semacam ini di Indonesia. Kesempatan untuk membagi kesejahteraan kepada mereka yang membutuhkan lenyap begitu saja oleh keserakahan sekelompok orang. Kini masih percayakah anda bahwa Indonesia belum mampu membiayai pendidikan atau program penyelamatan dari kemiskinan?
Sumber data:
- Kompas 14 Februari 2004
- Laporan Hasil Penelitian Penyusunan Satuan Pendidikan SD, SLTP, SMU dan SMK Negeri, terbitan Depdiknas Biro Keuangan Sekretariat Jenderal 2001.
- Data Depdiknas.