Ekonomi Politik Kekerasan dan Korban di Indonesia

0
835

Pergantian rezim di Indonesia ditandai dengan gelombang kekerasan yang meluas di berbagai daerah. Suratkabar lokal yang biasanya menunggu berita ‘panas’ tentang konflik dan perang dari Jakarta atau luar negeri, kini mengisi halaman-halamannya dengan berita pembunuhan, penganiayaan, pengungsian dan tindak kekerasan lain dengan segala akibat dari daerahnya sendiri. Tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat negara atau sesama warga tidak hanya berhenti di kota-kota besar, tapi menjangkau daerah-daerah yang selama sekian dekade dianggap sebagai wilayah aman dan tenteram, seperti Tasikmalaya dan Rengasdengklok di Jawa Barat atau Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Elit politik seperti kehabisan kata-kata, dan hanya bermain-main dan saling tuding dengan istilah ‘provokator’ atau ‘dalang’. Ada juga yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia memang masih terbelakang dan sedang sakit sehingga menjadi biadab.

Dalam laporan hak asasi manusia, tulisan para peneliti maupun diskusi politik, korban biasanya hanya disebut sebagai deret angka yang tak bernama. Dalam penghancuran Timor Lorosae misalnya para aktivis terlibat dalam perdebatan sengit dengan pejabat pemerintah Indonesia mengenai jumlah orang yang tewas. Nama-nama pada korban dicatat atau dihapus untuk membuktikan bahwa yang terjadi sepanjang tahun lalu itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan atau sebaliknya. Hal yang sama berlaku dalam pembicaraan mengenai Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, Lombok, Papua dan tempat-tempat lain yang dilanda gelombang kekerasan itu. Korban dianggap sebagai entitas abstrak yang seolah tak punya sejarah (dan masa depan), yang muncul tiba-tiba ketika peristiwa kekerasan terjadi. Cara pandang ini bukan hanya menghalangi terbentuknya pemahaman yang menyeluruh tentang rangkaian peristiwa kekerasan, tapi juga bisa menghasilkan konsep ‘penyelesaian’ yang justru menyesatkan.

Tulisan ini bukan hendak menawarkan romantisme ‘menderita bersama korban’ atau ‘mewakili suara korban’, tapi membawa korban ke dalam analisis untuk mendapat gambaran yang lebih menyeluruh tentang kekerasan dan konflik. Dalam hal ini biografi para korban, narasi dan mekanisme yang mereka bangun ketika menghadapi peristiwa kekerasan menjadi penting untuk memberi wajah pada catatan statistik dan analisis politik yang kadang kala begitu kering, serta melihat konsep seperti pemulihan, rekonsiliasi dan rekonstruksi secara kritis.

I

Sejarah Orde Baru adalah sejarah kekerasan. Dimulai dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta orang anggota, pendukung maupun orang yang dituduh terlibat PKI dan puluhan organisasi massa yang berafiliasi pada partai itu, Orde Baru tumbuh sebagai rezim yang menggunakan kekerasan untuk menghadapi setiap bentuk perlawanan dan kekacauan. Selama 32 tahun berkuasa, ada berbagai kasus pembunuhan massal, seperti di Timor Lorosae sejak tahun 1975, pembunuhan misterius kalangan preman tahun 1983-84, Aceh, Papua, Lampung, Tanjung Priok, dan ribuan eksekusi di tempat terhadap rakyat miskin yang melanggar sistem pemilikan pribadi dengan mencuri karena program pembangunan Orde Baru merampas sumber penghidupan mereka. Dengan intensitas dan jumlah korban yang begitu banyak, pembunuhan dan tindak kekerasan bukan lagi rangkaian ‘kasus’ atau ‘insiden’, tapi menjadi cara Orde Baru untuk memerintah dan mempertahankan kekuasaannya. Para perwira TNI yang terlibat dalam rangkaian pembunuhan itu tidak pernah menunjukkan penyesalan dan melihat tindakan mereka sudah tepat, baik dari segi prosedur militer maupun secara politik.

Catatan sejarah ini kerap dilupakan ketika berbicara tentang gelombang kekerasan yang terjadi beberapa tahun terakhir dan membuat para pengamat cenderung mencari-cari unsur ‘provokator’ atau ‘dalang’ dan mengabaikan kekerasan sebagai bagian dari kebijakan negara. Sejak awal tahun 1990-an rezim Orde Baru dalam keadaan lemah, kehilangan legitimasinya di kalangan rakyat, dan oleh proses liberalisasi ekonomi didesak untuk melepaskan kontrolnya di berbagai bidang kehidupan, terkecuali politik dan militer. Ketika krisis ekonomi terjadi lembaga-lembaga negara tidak mampu berbuat banyak – dan memang tidak bermaksud – untuk membantu jutaan orang yang dipecat dan jutaan lainnya yang makin terbenam dalam kemiskinan. Sistem kesejahteraan sosial yang sejak semula sudah lemah semakin porak-poranda dan program ‘pemulihan’ dari IMF dan Bank Dunia. Oportunisme politik merajalela dan para elit politik sibuk membangun kekuatannya sendiri-sendiri melalui jaringan etnik, agama dan keluarga dan mencari hubungan dengan kaum reformis di semua lapisan, di pusat maupun daerah. Perubahan-perubahan inilah yang menjadi landasan bagi maraknya manipulasi politik antar etnik, agama dan warga di kampung-kampung, dan paling penting mobilisasi ribuan orang untuk terlibat dalam berbagai peristiwa kekerasan.

II

Berdasarkan data terbatas yang dikumpulkan terutama oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia, bisa dilihat bahwa kekerasan meluas di hampir seluruh wilayah Nusantara, sampai pada daerah-daerah yang selama ini dianggap ‘damai’, kota dan desa yang terpencil serta tempat-tempat lainnya yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan dilanda oleh peristiwa kekerasan. Jumlah korban sulit dipastikan, antara lain karena hambatan untuk melakukan investigasi dari aparat keamanan dan pejabat publik lainnya. Beberapa laporan menyebutkan:

Di Aceh, lembaga-lembaga hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi NGO HAM mencatat 650 orang tewas, termasuk sejumlah aparat keamanan, 1280 orang ditahan secara sewenang-wenang dan mengalami siksaan, serta 119 orang lainnya hilang, setelah status DOM di daerah itu dicabut oleh pemerintah. Setelah kesepakatan damai dan ‘jeda kemanusiaan’ yang dibuat pertengahan Mei lalu aksi kekerasan masih terus berlangsung, dan tercatat 14 orang, termasuk tiga orang aparat keamanan, meninggal dunia.

Di Timor Lorosae, antara bulan Januari-Mei 1999 terjadi 330 serangan oleh pihak yang sama yang menewaskan sekitar 400 orang di berbagai daerah. Tindak kekerasan justru meningkat setelah Portugal dan Indonesia menandatangani kesepakatan New York pada 5 Mei 1999. TNI dan milisi pro-integrasi melancarkan serangan-serangan secara terbuka di bawah pengawasan PBB, dan mencapai puncaknya setelah pengumuman hasil referendum pada bulan September 1999. Diperkirakan sekurangnya 3.000 orang tewas dalam periode itu, sementara ribuan lainnya luka-luka berat dan ringan.

Di Jakarta selama bulan Mei 1998 tercatat sekurangnya 1.200 orang tewas akibat pembakaran sejumlah pusat pertokoan dan penembakan oleh aparat keamanan yang ‘menghalau’ kerusuhan tersebut. Di samping itu puluhan aktivis mahasiswa, buruh dan pemuda tewas karena tembakan aparat dalam berbagai demonstrasi antara tahun 1998-2000, sementara ratusan lainnya cacat dan luka parah.

Di Banyuwangi pada tahun 1998 terjadi pengejaran dan pembunuhan terhadap sejumlah guru agama dan santri yang dituduh ‘dukun santet’. Aksi-aksi kekerasan paling banyak terjadi pada bulan September-Oktober, menjelang Sidang Istimewa MPR di Jakarta, dan mengakibatkan sekurangnya 250 orang tewas.

Di Ambon, kekerasan mulai meledak sejak Januari 1999 dan tercatat 177 insiden terjadi dalam waktu satu tahun. Pemerintah mencatat 2.573 orang tewas sementara 3.475 lainnya luka-luka berat dan ringan. Selama bulan Januari-Juni terjadi sejumlah insiden yang kembali menelan ratusan korban jiwa dan luka-luka parah.

Catatan di atas hanyalah sebagian dari peristiwa kekerasan yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Jika ditambah dengan jumlah korban kasus-kasus kekerasan lainnya di seluruh Indonesia dalam periode yang sama, maka angka 10.000 meninggal dunia, serta puluhan ribu lainnya hilang, cacat dan luka parah adalah perkiraan yang konservatif. Korban perkosaan dan berbagai bentuk kekerasan seksual termasuk paling sulit dipastikan jumlahnya karena hambatan-hambatan dalam proses investigasi, tapi tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa tindakan semacam itu tidak terjadi. Justru sebaliknya berbagai laporan menunjukkan bahwa perkosaan dan kekerasan seksual adalah bagian dari operasi militer atau konflik berkepanjangan, seperti yang terlihat di Aceh, Timor Lorosae dan Ambon.

Rangkaian kekerasan itu juga memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan tempat tinggal mereka, mencari – dan tidak selalu berhasil – tempat yang lebih aman. Sebagian pengungsi ditampung di bangunan pemerintah seperti markas militer, stadion sepakbola atau tempat pertemuan yang besar, seperti yang terjadi di Pontianak, Kupang, Ambon dan Buton. Tapi jumlah yang cukup signifikan mengungsi ke daerah-daerah lain, menumpang di tempat ibadah atau rumah penduduk, dan kadang-kadang di lapangan terbuka dengan tenda-tenda plastik. Lembaga kemanusiaan seperti UNHCR atau USCR biasanya hanya mencatat ‘pengungsi resmi’ yang ditampung bersama di tempat terbuka atau sudah lebih dulu dihitung oleh pejabat pemerintah, tapi tidak bisa melacak arus perpindahan massal di daerah pedesaan dan pegunungan, seperti yang terjadi di Aceh selama ini.

Sosok Korban Di Balik Statistik

Untuk memahami situasi korban dan akibat-akibatnya secara menyeluruh, pembahasan perlu diperluas tidak hanya menyangkut berapa, tapi juga siapa yang menjadi korban. Tragedi Mei 1998 di Jakarta misalnya, dalam banyak laporan digambarkan sebagai kerusuhan rasial karena sasarannya antara lain adalah pusat-pusat pertokoan di kawasan Glodok dan Jakarta Barat, dan sebagian korban pembunuhan dan kekerasan seksual adalah orang Tionghoa. Tapi data-data para korban memberikan gambaran yang berbeda. Korban pembakaran, yang tidak kurang dari 1.140 orang, umumnya berasal dari keluarga pegawai kecil, buruh harian, tukang cuci, pembantu rumah tangga atau singkatnya bagian dari rakyat pekerja yang miskin. Menurut penuturan sebagian saksi mata yang selamat dari pembakaran, orang-orang yang kemudian dicap ‘penjarah’ dan ‘perusuh’ (mungkin untuk membenarkan tindak pembakaran terhadap mereka) masuk ke toko-toko mengambil bermacam barang yang selama hidupnya tidak mungkin mereka peroleh. Hampir semua korban pembakaran ini dimakamkan secara massal di pinggiran kota Jakarta, antara lain karena sebagian mayat tidak dapat dikenali lagi, tapi juga karena tidak punya biaya untuk mengurus pemakaman sendiri. Sebagian keluarga korban takut hadir di pemakaman karena pemerintah mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi para ‘penjarah’ dan ‘perusuh’ hanya beberapa jam setelah peristiwa. Selama beberapa hari warga di sekitar pusat-pusat pertokoan menjadi sasaran intimidasi dan pemeriksaan oleh aparat keamanan yang menuduh mereka ikut melakukan penjarahan. Keluarga korban maupun warga lainnya tidak berdaya ketika Gubernur DKI memerintahkan aparat keamanan menggeledah rumah-rumah mereka dan dalam beberapa kejadian mengambil barang-barang yang masih baru karena dianggap barang jarahan.

Uraian itu tentunya bukan untuk menyangkal bahwa kekerasan di Jakarta waktu itu bersifat rasial – seperti yang awalnya coba dilakukan penguasa Orde Baru – tapi untuk memperlihatkan kaitannya dengan masalah kelas dan kekuasaan. Jika dilepaskan dari situasi sosial saat itu, maka penjarahan itu bisa dikategorikan ‘kriminal’ atau bahkan ‘biadab’ karena disertai pembakaran dan kadang-kadang pemukulan dan pengejaran terhadap pemilik-pemilik toko Tionghoa maupun bukan, yang coba mempertahankan usahanya. Adalah proses pemiskinan yang membuat kehidupan rakyat pekerja semakin buruk selama Orde Baru, yang bisa menjelaskan tindakan ‘biadab’ itu. Mereka yang terlibat dalam aksi-aksi perusakan dan penjarahan itu umumnya adalah anak-anak usia 12-30 tahun, yang pada saat itu seharusnya bisa duduk di bangku sekolah, bekerja di kantor pemerintah atau menggarap sawah di kampung-kampung. Tapi semua kesempatan dan kemungkinan itu dirampas oleh program pembangunan, sehingga membuang mereka ke jalan-jalan dan memaksa mereka mencari penghidupan dari sisa-sisa program pembangunan itu.

Aparat negara kemudian menjatuhkan vonis bagi mereka yang tewas terbakar sebagai ‘penjarah’ dan menetapkan hukuman tembak di tempat bagi siapa pun yang ingin mengikuti jejak mereka. Tidak sedikit warga sipil, dari kalangan yang menyebut dirinya pro-reformasi sekalipun, setuju pada tindakan itu karena tidak melihat jalan keluar lain. Tidak disadari bahwa sikap itu melanggengkan militerisme dan represi, seperti yang kemudian diperlihatkan aparat keamanan ketika menekan gerakan perlawanan dengan dalih bahwa aksi-aksi massa yang dilancarkan sudah mengarah kepada kerusuhan. Kecenderungan menggunakan kekerasan, dan dukungan dari sebagian warga sipil terhadap tindakan itu adalah bagian dari ‘perang terhadap orang miskin’.

Di Timor Lorosae korban umumnya berasal dari kalangan petani dan rakyat pekerja lainnya, seperti pegawai kecil dan guru. Mereka yang hidup mapan di wilayah itu umumnya mendukung pendudukan Indonesia, sementara para pedagang dan pengusaha yang menentangnya memilih tinggal di luar negeri. Pembunuhan seorang petani misalnya punya dampak yang sangat besar. Bagi keluarga korban, pembunuhan itu bukan hanya merenggut seorang anggota keluarga, tapi sekaligus menghancurkan sistem reproduksi sosial karena seringkali korban adalah salah satu pencari nafkah utama di dalam keluarga itu. Dalam banyak kasus pembunuhan itu berakibat panjang karena diikuti perampasan tanah dan hak-hak sebagai warga, belum lagi menghadapi intimidasi sebagai ‘janda GPK’ atau ‘anak pemberontak’ yang disisihkan secara sosial, ekonomi maupun politik. Di Indonesia penderitaan yang sama dialami jutaan keluarga korban pembunuhan massal 1965-66 bahkan sampai saat ini. Pemerintah mengeluarkan bermacam aturan yang menghalangi keluarga korban untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan ekonomi, dan secara tidak resmi memberlakukan status ‘warga kelas dua’. Bukan hanya harta benda dan alat-alat mempertahankan hidup lainnya yang dirampas, tapi juga kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pendidikan dan pekerjaan.

Proses yang sama terjadi pada sekitar satu juta pengungsi yang dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dalam waktu dua tahun terakhir. Pengungsian bukan hanya berarti pindah ke tempat yang lebih aman dan hidup dalam kondisi lebih sulit untuk sementara, tapi juga menceraikan penduduk dari alat produksi dan sumber penghasilannya, kadang-kadang untuk selama-lamanya. Mereka yang memilih untuk pindah dari wilayah itu untuk mencari sumber penghasilan baru di tempat lain tentu tidak punya banyak pilihan dalam situasi krisis ekonomi sekarang ini. Di Aceh selama tahun 1999 tercatat 300.000 orang, umumnya keluarga petani kecil atau penggarap, terpaksa mengungsi dari tanah-tanah mereka yang menjadi sumber penghasilan dan makanan selama ini, mencari tempat-tempat yang lebih aman. Hal serupa terjadi di Timor Lorosae di mana kegiatan produktif terhenti sejak akhir tahun 1998 ketika munculnya milisi pro-integrasi di beberapa wilayah dan meningkatnya operasi-operasi militer. Dampak dari itu tidak selesai dengan berakhirnya pendudukan militer Indonesia, tapi berpengaruh jauh terhadap struktur sosial dan usaha membangun negeri itu kembali sampai sekarang ini.

Segregasi yang dipraktekkan oleh TNI di Maluku misalnya membuat banyak orang hidup dalam kondisi seperti pengungsi dengan sulitnya akses ke sumber pendapatan dan makanan. Setelah peristiwa 23 Juli 1999 di Desa Poka, Kotamadya Ambon, seluruh pulau Ambon seperti terbelah menjadi dua wilayah, dan warga Islam maupun Kristen terkurung di lokasi-lokasi tertentu, sementara jalur transportasi terputus sama sekali karena para pengemudi tidak mau ambil resiko masuk ke wilayah yang lain. Beberapa pemilik kendaraan yang membayar aparat keamanan untuk jaminan memasang harga sangat tinggi sehingga hanya orang berkecukupan yang bisa melintasi perbatasan. Harga barang dengan sendirinya melonjak tinggi, dan situasi semakin parah karena segregasi kemudian berpengaruh terhadap kantor, toko, bank, dan bahkan rumah sakit. Saluran komunikasi seperti telepon dan sambungan listrik sering terputus tanpa alasan jelas sehingga membuat orang berhari-hari hidup tanpa penerangan dan komunikasi dengan orang dari daerah lain. Segregasi itu juga membuat ribuan orang yang semula bekerja sebagai nelayan, petani, pegawai kecil dan pedagang kehilangan pekerjaan dan akhirnya harus hidup bergantung pada bantuan dari luar.

Peristiwa kekerasan dengan begitu bukan sekadar kejadian sesaat, tapi peristiwa yang berpengaruh jauh pada struktur hubungan sosial masyarakat. Usaha perdamaian atau penyelesaian konflik yang tidak menyinggung persoalan ini – karena berangkat dari konsep ‘kesementaraan’ peristiwa kekerasan yang tidak mempertimbangkan berbagai dimensi ini – dengan sendirinya tidak membuahkan hasil yang memadai, dan justru mengundang berbagai masalah baru.

Masalah lain yang juga sering diabaikan adalah dimensi gender dari peristiwa kekerasan dan korban. Memang dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia ada perhatian lebih besar terhadap kasus perkosaan atau penyerangan seksual yang sering terjadi dalam berbagai peristiwa kekerasan dan sebelumnya dianggap ‘bukan masalah’. Tapi masih banyak bentuk kekerasan seksual yang tidak dibicarakan atau masih tetap dianggap bukan masalah, seperti gejala ‘kawin kontrak’ yang mulai meluas di Maluku antara aparat keamanan dan perempuan setempat sejak jumlah militer semakin meningkat. Mekanisme ‘kawin kontrak’ ini dipakai agar hubungan laki-laki dan perempuan tidak melanggar aturan agama, tapi dengan sendirinya berakhir ketika aparat bersangkutan dikembalikan ke markas asalnya, dan meninggalkan para perempuan dengan beban mengasuh anak dari hubungan tersebut dan tudingan masyarakat sebagai ‘barang bekas’. Dalam beberapa kasus anggota masyarakat yang lain dan bahkan keluarga perempuan itu merestui hubungan tersebut karena dianggap bisa mendekatkan hubungan dengan aparat keamanan. Di beberapa kamp pengungsi asal Timor Lorosae, milisi pro-integrasi memaksa sejumlah perempuan menjadi pelayan untuk mencuci baju, memasak dan juga melayani kebutuhan seksual. Seorang perempuan yang selamat dari paksaan itu menggambarkan situasinya bahkan lebih buruk dari nasib para jugun ianfu di masa pendudukan Jepang.

Gelombang kekerasan tidak hanya berpengaruh terhadap perempuan sebagai individu tapi lebih jauh terhadap hubungan gender dalam masyarakat. Konflik, perang, dan juga perlawanan sering dimengerti sebagai ‘urusan laki-laki’, sementara perempuan hanya dibicarakan sebagai ‘korban ikutan’ yang menderita karena berada pada tempat yang salah pada waktu yang tidak tepat. Perempuan baru dianggap menderita kalau menjadi korban langsung, tanpa memperhitungkan bahwa sebagian besar beban kerja rumah tangga, termasuk produksi makanan, bahkan membangun sistem perlindungan bagi komunitas, jatuh di pundak perempuan saat peristiwa kekerasan berlangsung. Tapi keputusan penting menyangkut kelangsungan hidup keluarga dan komunitas tetap berada di tangan laki-laki. Akibatnya dalam situasi konflik dan ketegangan yang berkepanjangan, posisi perempuan semakin tertekan dan semata-mata mengikuti keputusan laki-laki yang seringkali keliru. Dalam hampir semua peristiwa kekerasan komunal tercatat mereka yang mengobarkan kekerasan adalah laki-laki dan umumnya dari kalangan menengah, yang cukup baik posisinya untuk mempertahankan diri dan melanjutkan hidupnya seperti biasa di dalam situasi konflik yang parah sekalipun. Walau masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, hubungan gender yang timpang ini perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alasan terjadinya kekerasan yang berkepanjangan.

Dengan melihat berbagai dimensi ini, kita bisa menghindar dari cara pandang yang memperlakukan peristiwa kekerasan sebagai ‘kasus’ atau ‘insiden’ yang kebetulan terjadi, dan bisa diselesaikan dengan menangkap para pelaku atau mengatasi penyebabnya. Pengamatan yang lebih mendalam terhadap berbagai dimensi ini perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara satu peristiwa kekerasan dengan yang lain, dan melihatnya sebagai rangkaian yang menyeluruh. Dalam konteks inilah jumlah korban jiwa, luka berat dan cacat, serta migrasi massal akibat peristiwa kekerasan menjadi berguna untuk mengingatkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia selama tiga tahun terakhir ini bukan hanya ledakan-ledakan yang sporadis melainkan sebuah proses penghancuran yang sangat serius. Dari segi jumlah korban situasi Indonesia dalam tiga tahun terakhir bahkan jauh lebih parah daripada apa yang dialami oleh Kamboja (1997-98), Bangladesh (1982-98) atau Haiti (1991-95).

Keadaan Darurat Permanen

Meluasnya kekerasan di seluruh Nusantara terjadi bersamaan dengan krisis ekonomi yang mendalam dan mengganjal usaha-usaha mengembalikan kehidupan ke kondisi ‘normal’. Kehancuran fisik akibat rangkaian peristiwa kekerasan ini luar biasa besar dan mungkin hanya dikalahkan oleh kondisi semasa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan. Beberapa kota seperti Ambon dan Poso, serta ratusan desa di Aceh, Papua dan Timor Lorosae, mengalami penghancuran total. Ketua organisasi Real Estate Indonesia, Agusman Effendi mengatakan nilai kehancuran di seluruh Indonesia setara dengan hasil pembangunan fisik selama lima tahun, dan dalam situasi krisis ekonomi – terutama di sektor konstruksi – kerusakan itu tidak mungkin diperbaiki dalam waktu singkat. Di beberapa tempat kekerasan yang berkepanjangan dan meluas juga berarti hancurnya kegiatan produksi dan distribusi makanan, rusaknya sistem kesehatan, sanitasi, pengadaan air bersih dan listrik yang memang sangat terbatas serta terganggunya persediaan bahan bakar dan barang-barang keperluan lainnya.

Operasi militer juga sering berakibatnya hancurnya pemukiman dan kebun-kebun milik rakyat, sementara penduduk dipaksa mengungsi ke tempat lain. Dalam operasi pembebasan sandera di Mapnduma bulan Mei 1996 misalnya pasukan militer Indonesia sejak beberapa hari sebelumnya menduduki kampung-kampung di sekitar lokasi sandera dan mengusir penduduk yang coba bertahan. Seorang korban menggambarkan penyerangan terhadap kampungnya:

“Sebelum mereka terjun anggota pasukan tersebut membom gereja kami dan rumah-rumah tempat tinggal kami di mana semua harta benda dan ternak peliharaan kami hangus dimusnahkan. Dalam peristiwa itu semua kebun dimusnahkan dan jumlah ternak peliharaan atau babi 10 ekor serta seorang anak kami yang berumur 5 tahun juga mati dalam peristiwa tersebut, sehingga kami sekarang kehilangan semua sumber kehidupan yang membuat kami mati dan menderita kelaparan akibat kebiadaban militer Indonesia.”

Dengan meluasnya kekerasan diperkirakan lebih dari satu juta orang terlempar ke dalam kekacauan yang tidak pernah dialami sebelumnya. Di daerah pedesaan kekerasan memaksa orang meninggalkan tanah yang merupakan alat poduksi dan sumber penghasilannya, dan mencampakkan mereka ke dalam situasi yang luar biasa sulit, tanpa pekerjaan dan kemungkinan untuk kembali ke kehidupan ‘normal’ dalam waktu dekat dan dalam banyak kasus untuk selama-lamanya. Situasi itu – tanah yang ‘bebas’ untuk digarap dan pengungsi sebagai tenaga kerja murah – adalah landasan yang tepat bagi ekspansi pasar global dan agenda neoliberal yang dipaksakan oleh lembaga keuangan dan kesepakatan dagang internasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini memang sedang menyiapkan lahan-lahan transmigrasi baru bagi para pengungsi asal Sambas dan Aceh, serta mencari penanam modal untuk membangun bisnis pertanian. Di sini kita melihat hubungan antara kekerasan dengan proses ekspansi pasar global yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah. Pandangan bahwa kekerasan didorong oleh modal internasional untuk memecah-belah dan menguasai Indonesia – seperti yang dilontarkan sebagian orang dalam kasus Ambon dan Papua – mungkin terlalu naif, tapi hubungan di antara keduanya perlu dipertimbangkan untuk mengerti situasi di Indonesia sekarang ini secara menyeluruh.

Penghancuran infrastruktur, program penyesuaian struktural dari IMF dan Bank Dunia yang makin menjerat, pengungsian yang memisahkan orang dari dari alat produksi dan subsistensinya, serta program perdamaian setengah hati yang dipaksakan dan cenderung melahirkan destabilisasi adalah kondisi yang dihadapi sejumlah besar orang di seluruh Nusantara sekarang ini. Penderitaan seperti ini meluas dan semakin hebat membuat beberapa tempat, seperti Ambon, Papua dan Aceh, sekarang berada dalam keadaan darurat permanen. Dalam situasi ini landasan bagi menyebarnya kebencian dan kemarahan terbentuk, begitu pula kondisi untuk merekrut kaum muda pengangguran untuk bergabung dalam kelompok-kelompok yang terlibat aksi kekerasan.

Kerangka ini nampaknya lebih tepat untuk menjelaskan status ratusan orang yang karena kesulitan hidup dan tekanan dari aparat keamanan akhirnya memilih bergabung dengan milisi pro-integrasi di Timor Lorosae dan melakukan perusakan. Kategori yang kaku tentang ‘pelaku’ dan ‘korban’ perlu dipertimbangkan kembali jika melihat kenyataan seperti para ‘penjarah’ atau ‘pelaku’yang kemudian menjadi ‘korban’ karena mati dibakar. Di Timor Lorosae ratusan anggota milisi pro-integrasi saat ini dicampakkan oleh militer Indonesia yang merekrut mereka, karena masalah Timor Lorosae dianggap sudah selesai. Sebagian sebelumnya bahkan dibunuh dalam operasi penghancuran karena dituduh ‘kepala dua’, sementara ratusan lainnya kehilangan rumah, keluarga dan harta benda mereka. Di Maluku para ‘pelaku’ dan ‘korban’ setiap saat bisa bertukar tempat, dan batas-batas di antara kedua kategori tersebut menjadi tidak jelas.

Beberapa persoalan di atas membawa kita kepada pengertian baru tentang korban, bukan hanya sebagai orang yang meninggal dunia atau mengalami luka fisik, tapi mayoritas masyarakat – umumnya rakyat pekerja miskin – yang dilanda oleh konflik dan peristiwa kekerasan dan didesak oleh situasi untuk turut ambil bagian di dalamnya. Sebaliknya pelaku bukan hanya orang yang terlibat langsung dalam aksi kekerasan secara fisik, bisa juga dicari di antara mereka yang tidak menjadi korban atau malah menarik keuntungan dari situasi konflik. Dengan kata lain batasan sempit tentang pelaku yang disediakan oleh sistem hukum di Indonesia tidak akan mampu berbuat banyak untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan, jika pengadilan terhadap para ‘pelaku’ ini dianggap sebagai salah satu bentuk penyelesaian. Dalam situasi itu tidak berlebihan jika rangkaian peristiwa kekerasan disebut sebagai perang terhadap orang miskin karena secara sistematis merusak kehidupan mereka kadang memaksa mereka untuk berhadapan satu sama lain untuk menyambung hidup.

Dari perkembangan ini juga kita melihat kekerasan bukan lagi ‘kasus’ atau ‘insiden’ yang kebetulan terjadi, melainkan gejala yang berkait-kelindan dengan ekspansi kapitalisme dan pasar global di seluruh dunia dan lebih penting lagi, untuk sejumlah besar orang menjadi bagian hidup sehari-hari.

III

Elit politik dan para pengamat di Indonesia lebih sibuk mencari para pelaku dan memusatkan perhatian pada hukum sebagai penyelesaian masalah. Kalaupun dibicarakan korban biasanya dianggap lemah, tidak berdaya dan hanya mungkin bertahan hidup dengan bantuan dari luar. Pemerintah Indonesia sendiri mengaku tidak dapat menangani masalah korban, terutama pengungsi, karena anggaran sosial yang sangat terbatas akibat structural adjustment program dari IMF dan Bank Dunia. Pengakuan ini menjadi undangan tak tertulis bagi puluhan lembaga internasional, termasuk badan-badan PBB, untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Beberapa di antara lembaga itu juga mengembangkan program-program ‘pembangunan civil society’ seperti pelatihan resolusi konflik atau kampanye perdamaian yang menyita perhatian sejumlah besar LSM di Indonesia. Kehadiran lembaga-lembaga ini perlu diperhatikan lebih jauh untuk mengerti kaitan antara kekerasan dan perluasan pasar global yang disinggung di atas.

Bantuan Untuk Siapa?

Bantuan makanan adalah program yang paling populer dan mendapat dukungan paling luas. Di Maluku misalnya lembaga-lembaga PBB menetapkan US$5,8 juta atau 41% dari keseluruhan bantuan untuk bahan dan distribusi makanan. Dalam situasi konflik memang akses pada makanan menjadi persoalan besar, tapi bantuan makanan bukan satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan itu. Malah sebaliknya bantuan makanan kadang-kadang dapat memperpanjang konflik karena terus memberi dukungan logistik kepada pihak yang bertikai. Di Maluku misalnya hampir seluruh kelompok bersenjata hidup dari bantuan makanan, sementara cukup banyak orang di tempat pengungsian yang kelaparan dan tidak terjangkau oleh program bantuan karena alasan keamanan. Di tempat-tempat tertentu bantuan makanan harus disalurkan melalui kelompok bersenjata maupun militer, yang hanya memperkuat posisi mereka di dalam masyarakat dan menjadi landasan bagi berlanjutnya tindak kekerasan. Tidak jarang pembagian bantuan yang tidak merata – atau diduga tidak merata – menjadi sumber konflik baru karena salah satu kelompok merasa disingkirkan dari program tersebut.

Proses displacement dan relokasi masyarakat di desa-desa juga diperkuat karena masyarakat cenderung berkumpul di tempat-tempat pembagian makanan yang dikelola oleh LSM internasional. Dengan adanya program bantuan, tidak ada dorongan bagi masyarakat untuk menggarap lahan pertanian, dan menjadi tergantung sepenuhnya kepada bantuan makanan dari luar. Produksi makanan lokal dan sekitar lokasi konflik secara perlahan-lahan semakin berkurang akibat harga-harga jatuh di pasaran, kecuali untuk produk tertentu seperti daging ternak yang tidak disediakan dalam program bantuan. Secara umum hampir seluruh kegiatan distribusi makanan dikelola oleh lembaga-lembaga internasional dan memberi ruang sangat kecil bagi masyarakat setempat untuk ikut menentukan. Di Timor Lorosae setelah penghancuran bahkan terjadi masalah antara lembaga-lembaga internasional ini dengan masyarakat dan organisasi setempat karena kegiatannya cenderung menyingkirkan masyarakat dari proses pengambilan keputusan dan hanya melihat kepentingan untuk membagikan makanan. Reaksi serupa muncul di Maluku, khususnya dari lembaga-lembaga lokal yang dianggap ‘tidak mampu’ menjalankan kegiatan tersebut.

Kehancuran total di sebagian tempat di Indonesia memang sepertinya menjadi lahan baru bagi industri bantuan yang sudah ‘menunaikan tugasnya’ di Afrika, Kamboja dan Eropa Tengah. Adalah naif jika gelombang kedatangan ini tidak dikaitkan dengan kegiatan bisnis dan lebih jauh pemaksaan kerangka neoliberalisme dalam pembangunan kembali. Di negeri-negeri Balkan, perang dan kekerasan yang meluas menjadi pintu masuk bagi penanaman modal dari Eropa Barat dan Amerika Serikat. Kegiatan militer dan kelompok bersenjata memberi keuntungan berlipat bagi industri senjata, dan kehancuran fisik menjadi lahan baru bagi perusahaan konstruksi. Pembangunan kembali Kosovo misalnya diperkirakan melibatkan investasi sebesar US$3 milyar, dan segera menjadi rebutan di antara perusahaan-perusahaan Inggris dan Jerman yang gagal mendapat kontrak dalam pembangunan kembali Bosnia dan Kuwait. Lebih lanjut negara-negara industri maju ini juga menyusun agenda untuk mengintegrasikan negeri-negeri Balkan ke dalam zona pasar bebas di bawah Uni Eropa, yang tidak lain berarti penaklukan pasar terhadap wilayah yang baru dilanda konflik itu.

Di Indonesia dan Timor Lorosae proses itu tengah berlangsung, dan gejala serta masalah serupa seperti dialami negeri-negeri lain yang dikoyak oleh peristiwa kekerasan mulai terlihat. Di samping memberi keuntungan besar bagi industri konstruksi dan bahan bantuan, program pembangunan kembali ini mengikuti kerangka neoliberal yang intinya memberi peran besar bagi perusahaan multinasional, menciptakan ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dan menghancurkan kemampuan masyarakat setempat untuk mengelola perekonomian subsisten yang mandiri. Dua hal pertama sudah terjadi sebelumnya, dan kekerasan yang melanda sekarang menjadi dasar bagi penghancuran kemampuan masyarakat di tempat-tempat yang terpencil dan sebelumnya tidak terjamah oleh kegiatan produksi untuk pasar bebas. Dalam konteks ini sesungguhnya industri bantuan lebih banyak membantu ekspansi pasar global ketimbang menolong korban untuk keluar dari kesulitan hidupnya.

Membangun Alternatif di Tengah Reruntuhan

Melihat kehancuran fisik, perpindahan massal manusia dari tempat asal dalam ketidakpastian, serta akibat-akibat lain dari rangkaian peristiwa kekerasan, tentu sulit membayangkan bagaimana orang mungkin bertahan tanpa bantuan dari luar. Tapi di balik kesengsaraan yang begitu jelas – yang menjadi dasar bagi industri bantuan untuk menyusun program-programnya – sesungguhnya muncul kekuatan yang kemudian menjadi dasar bagi para korban untuk membangun resistensi. Mekanisme ini dibangun dalam keadaan serba tertekan dan saat tidak mungkin mengharapkan bantuan dari orang lain. Sampai sejauh ini belum ada partai atau organisasi politik, termasuk kelompok-kelompok progresif yang muncul sebagai alternatif dalam electoral politics di Indonesia sekarang ini, yang memiliki konsep dan program yang jelas tentang state of permanent emergency ini. Partai-partai pemenang pemilu lebih sibuk mengurus perebutan posisi dalam birokrasi dan parlemen, sementara banyak organisasi mencari afiliasi baru setelah rezim yang melindungi dan memelihara mereka sebelumnya berantakan. Di kalangan aktivis yang lebih progresif, masalah penanganan korban kekerasan, pengungsi, memperjuangkan mekanisme mengatasi kelaparan dan kemiskinan yang akut, bantuan kemanusiaan, umumnya dinilai sebagai kegiatan ‘palang merah’ yang tidak ‘politis’. Bagi mereka masalah-masalah seperti itu hanya bisa diatasi dengan ‘reformasi total’ merombak struktur sosial melalui perjuangan ‘politik’ yaitu aksi-aksi massa menentang pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang menciptakan kesengsaraan. Bagaimanapun, para korban tidak mungkin menunggu aksi-aksi ‘politik’ itu berhasil menjalankan ‘reformasi total’, apalagi menunggu para elit politik memberikan sedikit perhatian mereka. Dan di tengah ketidakpedulian itulah mereka mulai bergerak membangun survival mechanism sendiri.

Di Timor Lorosae serangan-serangan milisi pro-integrasi mulai meningkat sejak bulan Desember 1998 dan memaksa ribuan orang meninggalkan daerah asal mereka. Di Suai dan Liquiça, rakyat memilih berlindung di gereja-gereja, sementara banyak juga yang mengungsi ke kota atau desa lain, dan bahkan ke daerah pegunungan. Di daerah pengungsian itu beberapa orang mengambil inisiatif melakukan pencatatan nama-nama para pengungsi, lengkap dengan usia, penyakit yang diderita dan kolom-kolom untuk keterangan tentang kebutuhan beras dan bantuan lainnya. Para pemuda dan mereka yang ditunjuk sebagai pimpinan pergi ke daerah-daerah lain untuk mencari bantuan, sementara lainnya mengurus penyimpanan bahan makanan, mengurus ternak dan mencair kayu bakar untuk memasak. Di daerah-daerah yang kering mereka mengurus penyaluran air bersih dari sungai terdekat dan sekaligus menetapkan pembagian air untuk pengungsi. Masalah terbesar umumnya adalah keamanan, karena militer Indonesia dan milisi pro-integrasi kadang-kadang melakukan pemeriksaan di tempat pengungsian, mencari gerilyawan FALINTIL atau orang yang dicurigai terlibat organisasi pro-kemerdekaan. Di beberapa tempat, seperti Atabae misalnya, para pemimpin di tempat pengungsian melakukan negosiasi agar pengungsi tidak diganggu, dan untuk mencegah gangguan lain, mereka juga membangun mekanisme keamanan (segurança) yang terus mengawasi perkembangan.

Solidaritas dan mekanisme semacam ini tidak hanya muncul di antara korban-korban penindasan militer, tapi juga di kalangan korban kekerasan komunal. Di Ambon misalnya ada sejumlah pusat penyaluran bantuan yang diorganisir bersama oleh warga Kristen dan Islam, dan memberikan pelayanan yang sama kepada korban dari kedua belah pihak. Ada beberapa dokter yang beragama Kristen memberikan pengobatan cuma-cuma kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan Islam, dan sebaliknya aktivis kemanusiaan dari kalangan Islam mengambil obat-obatan dan bantuan lainnya di lingkungan Kristen dengan perlindungan warga setempat. Di daerah Kudamati, Batu Gantung, Galela dan Nusaniwe, kecamatan Sirimau, rumah-rumah milik orang Islam di daerah Kristen yang ditinggalkan penghuninya karena kebijakan segregasi dari militer, dilindungi dan dijaga oleh warga setempat agar tidak dibakar atau dirusak. Wilayah perbatasan juga menjadi tempat pertemuan warga yang dipagari oleh segregasi untuk bermacam keperluan. Sejumlah toko milik orang Kristen di daerah Islam seperti Batu Merah dan Pasar Amplas sekarang dikelola oleh para pegawai toko yang beragama Islam. Setiap bulan hasil penjualan dibawa ke daerah perbatasan untuk diserahkan ke pemilik toko yang terpaksa mengungsi. Setelah membayar gaji atau membagi keuntungan, mereka bertukar informasi tentang keadaan terakhir, lalu kembali ke daerah masing-masing. Hal serupa dilakukan oleh para bendahara kantor-kantor yang masih membayarkan gaji para pegawainya yang berbeda agama di wilayah perbatasan tersebut.

Seorang aktivis di Aceh mencatat bahwa dalam kekacauan yang begitu hebat segala sesuatu mulai dipertanyakan kembali, termasuk kehidupan ‘normal’ yang mereka hadapi dulu, dan diskusi tentang kemungkinan-kemungkinan membangun kehidupan yang berbeda dan lebih menjamin kesejahteraan dan perdamaian pun terjadi. Beberapa diskusi berkembang menjadi kegiatan, baik di tempat-tempat pengungsian maupun pemukiman yang ditinggalkan. Di Timor Lorosae aktivis membangun ‘rumah rakyat’ yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengembangkan kegiatan rekonstruksi dan rekonsiliasi di tingkat basis. Masyarakat menyambut baik kehadiran mereka di tengah dominasi bantuan internasional, karena dapat merumuskan bersama program yang dihendaki dan tidak hanya mengekor kepada kehendak pemberi bantuan.

Namun mekanisme dan dinamika seperti itu tidak mendapat perhatian dari pemerintah yang lebih sibuk mencari lokasi transmigrasi baru maupun lembaga-lembaga pemberi bantuan yang lebih sibuk menghitung jumlah orang dan menyediakan makanan ketimbang membantu masyarakat bangkit dan menangani bantuan dengan caranya sendiri. Di beberapa tempat masyarakat setuju untuk pindah ke tempat baru, karena melihat peluang untuk kembali ke tempat asal sangat kecil. Tapi cukup banyak orang memilih kembali ke tempat asalnya dan menuntut jaminan keamanan dari pemerintah serta bantuan untuk membangun kembali milik mereka yang dirusak. Di Pontianak, sekitar 2.500 pengungsi asal Sambas dengan dukungan mahasiswa dan masyarakat Madura di kota itu menuntut pemerintah agar segera memulangkan mereka ke tempat asal. Mereka juga minta provokator dalam kerusuhan di Sambas agar segera diadili sebagai bagian dari upaya perdamaian dengan masyarakat setempat.

Suara para korban ini biasanya tenggelam di dalam arus besar ‘penyelesaian’ melalui transmigrasi, rekonstruksi, rekonsiliasi dan program-program lainnya, yang seperti terlihat di atas tidak menjamin masyarakat bisa kembali ke kehidupan ‘normal’ apalagi masa depan yang lebih baik. Malah sebaliknya ikatan solidaritas berdasarkan kampung, adat dan ikatan keluarga justru sering dirusak karena program-program yang hanya memenuhi target jumlah korban tanpa memahami ikatan-ikatan seperti itu.

Melawan Amnesia Politik

Represi militer, kekerasan antar warga, dan berbagai tindak kekerasan lainnya meninggalkan luka yang dalam bagi para korban dan juga masyarakat. Sejak kejatuhan Soeharto bulan Mei 1998 beberapa penyelidikan dilakukan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru, antara lain pembunuhan massal di Aceh dan peristiwa Tanjung Priok 1984. Pada saat bersamaan elit-elit politik dan pejabat pemerintah mulai berbicara tentang ‘rujuk nasional’ atau rekonsiliasi dengan melupakan masa lalu. Perseteruan mulai terjadi saat upaya membongkar setiap kasus dilakukan. Sebagian elit politik misalnya menolak penyelidikan terhadap pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan mereka yang dituduh PKI pada tahun 1965-66 dengan alasan akan ‘menguak luka lama’ dan bahkan mengatakan bahwa para korban memang pantas dibunuh. Mirip dengan itu upaya membongkar pembunuhan dan penghancuran sistematis di Timor Lorosae sejak tahun 1975 mendapat reaksi keras dari para veteran invasi dan pendudukan serta milisi pro-integrasi yang merasa berjasa kepada Republik.

Sampai saat ini belum ada hasil penyelidikan yang dilanjutkan dengan pengadilan terbuka terhadap para pelaku, apalagi para pemberi perintah dan pengambil keputusan yang menyebabkan atau membiarkan peristiwa kekerasan terjadi. Rencana membentuk peradilan hak asasi manusia sampai saat ini belum jelas kelanjutannya, sementara sistem peradilan yang ada tidak memadai untuk menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti di Aceh dan Timor Lorosae, apalagi konflik yang kompleks seperti Ambon dan Kalimantan Barat. Di Aceh baru-baru ini dibentuk pengadilan koneksitas yang memberi kemungkinan bagi pelaku militer diperiksa berdasarkan kesaksian yang disampaikan dalam pengadilan sipil, tapi cara itu akhirnya hanya menjadi mekanisme untuk melindungi aparat keamanan karena tidak bisa membongkar kebijakan atau sistem represi yang sebenarnya membuat pelanggaran hak asasi manusia terjadi.

Kemacetan ini terjadi antara lain karena pemerintahan Abdurrachman Wahid masih mewarisi struktur kekuasaan dan kebijakan ekonomi yang sama seperti masa Orde Baru. Bahkan beberapa pejabat yang sebenarnya harus duduk di pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan dan keterlibatannya dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan kerusuhan di seluruh Nusantara masih menjadi bagian dari elit dan kembali ke kegiatan politik melalui persekutuan dengan partai dan organisasi politik yang baru. Korban kekerasan selama ini bukan tidak menyadari masalah itu. Seperti yang dicatat seorang ayah korban penembakan:

“… kepada para tokoh reformis yang dulu begitu lantang meneriakkan reformasi dan kini telah duduk dalam jabatan publik, hendaknya tetap menyuarakan semangat reformasi, dan tidak melupakan jasa dan pengorbanan yang telah diberikan oleh para mahasiswa dan rakyat, baik berupa tenaga, pikiran, fisik, bahkan nyawa. Agar dengan demikian tidak sampai terjadi bahwa Anda harus berhadapan dengan mahasiswa.

Kini sudah terjadi pergantian pemerintahan, dari pemerintahan New Orde Baru ke pemerintahan Persatuan Nasional. Susunan kabinet sekarang nampak sangat bervariasi seperti pelangi yang berwarna-warni. Susunan kabinet sekarang sepertinya mengakomodasi berbagai warna kepentingan. Kami sebenarnya ikut risih melihat susunan kabinet tersebut, di mana salah seorang yang berlepotan dengan darah, yang seharusnya bertanggungjawab atas berbagai kerusuhan berdarah, ternyata duduk pula sebagai Menteri.”

Sementara sebagian pejabat yang korup dan terlibat kekerasan selama kekuasaan Orde Baru ikut menikmati ‘reformasi’, ratusan pendukung Megawati Soekarnoputri yang ditangkap saat mempertahankan markas PDI-P tanggal 27 Juli 1996, sekarang menghadapi ancaman akan digusur dari markas yang kembali mereka gunakan itu dengan restu partainya. Pembahasan tentang siapa yang menjadi korban lagi-lagi menjadi penting di sini, karena keputusan untuk membongkar atau menutup kasus tertentu sangat bergantung pada posisi para korban.

Amnesia politik ini diperkuat dengan bermacam program yang mengedepankan rekonsiliasi dan resolusi konflik dan tidak menyentuh masalah keadilan dan perubahan sistem politik sebagai basis sosial bagi perdamaian. Program semacam ini menekankan pentingnya dialog, pertemuan dan kampanye media massa untuk menyadarkan masyarakat – mirip dengan misi peradaban di zaman kolonial – yang dianggap tidak ‘beradab’, dan akihrnya bisa berlanjut meredam perlawanan seperti gerakan protes sosial, karena dianggap punya potensi berkembang menjadi kekacauan. Tuntutan korban akan keadilan sering diabaikan dengan alasan perdamaian dan saling memaafkan jauh lebih penting dan mendesak.

Perlawanan terhadap amnesia politik semakin meluas setelah kejatuhan Soeharto. Korban-korban dari peristiwa 1965 membentuk sebuah yayasan untuk melakukan investigasi terhadap pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan mereka yang dituduh terlibat PKI pada tahun 1965-66, sementara korban peristiwa Tanjung Priok, Aceh dan Papua lebih dulu membentuk tim serupa dan menyampaikan laporan-laporan mereka kepada publik. Dalam proses itu masyarakat, yang dipelopori para korban, mulai menyusun kembali sejarah berdasarkan ingatan dan sudut pandang mereka sendiri, dan sekaligus menolak sejarah resmi yang dbuat oleh penguasa dengan segala manipulasinya.

Pertemuan antara para korban peristiwa kekerasan di berbagai wilayah, pengetahuan dan kesadaran tentang korban semakin berkembang, dan mulai menjangkau ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Sekitar pertengahan 1999, sebuah lembaga hak asasi manusia menyelenggarakan pertemuan khusus bagi para korban kekerasan dari berbagai wilayah, termasuk Timor Lorosae, untuk mendiskusikan gagasan rekonsiliasi yang ditawarkan oleh pemerintah, yang kemudian melebar tentang militerisme di Indonesia, penderitaan yang merajalela akibat krisis ekonomi, dan kekerasan dalam kebijakan IMF dan Bank Dunia yang menyarankan pemotongan subsidi di segala bidang. Dan kesadaran mulai berkembang bahwa usaha menegakkan kebenaran dan keadilan terkait erat dengan perjuangan yang lebih luas.

* Tim Relawan untuk Kemanusiaan adalah komunitas kemanusiaan pendamping para korban kekerasan negara. Hilmar Farid adalah seorang pekerja dan peneliti sejarah serta kebudayaan yang aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan Jaringan Kerja Budaya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here