Jika anda membaca judul di atas, kejanggalan yang pertama-tama anda temukan tentu ejaan yang dipergunakan oleh penulis. Memang, ejaan lama —untuk judul tersebut—sengaja dipergunakan untuk membangkitkan jiwa zaman (zeitgeist) —zamannya kaum pergerakan tahun 1920-an, tahun dimana manusia-manusia Indonesia baru menemukan dinamikanya dalam menafsirkan realitas zaman. Mengapa jiwa zaman itu mesti dihidup-hidupkan kembali, bukankah di era reformasi ini segala hal yang terkait dengan politik, kebebasan, HAM, pluralitas, termasuk sistem perizinan, dan organisasi pers independen itu relatif terkoreksi dan terakomodasikan dibanding —paling tidak—di masanya Orde Suharto. Bahkan seorang tokoh pers nasional —demikian media-massa nasional menyebut dalam laporannya—Goenawan Mohammad ketika berpidato di Istana Negara dalam acara pembukaan seminar Media and Government: In Search of Solutions, pada 23 Maret lalu, membahasakan suasana euforia tersebut demikian: “Tetapi akhirnya toh benar bahwa tidak ada penindasan yang bisa kekal…Kemerdekaan bersuara adalah hak. Dan hak itu dititipkan Tuhan dalam diri manusia. Tidak mudah juga bagi pemerintah Orde Baru untuk mengingkari apa yang diperoleh dari tuhan itu.” Dan Goenawan melanjutkan, bahwa dirinya melihat apa yang dilakukan Menpen Muhammad Yunus dan Departemen Penerangan terhadap pers saat ini, ibarat penemuan kembali mutiara yang ditinggalkan oleh para pendiri republik di tahun 1945. “Kami mencatat dan menghargai,” katanya seperti dikutip dari berita Kompas (24/3).
Penghargaan yang sedemikian tinggi terhadap sang menteri itu, bukan hanya mengaburkan kontroversi soal keterlibatan “beliau” dalam Insiden Balibo Timor Timur pada 15 Oktober 1975 yang menewaskan lima wartawan Australia akibat berondongan tembakan tentara Indonesia, tapi yang lebih substansial lagi “seolah-olah” pernyataan tersebut telah memutus mata-rantai dunia pers Indonesia, dari masa lalunya yang kelam, menuju ke masa kini dan mendatang yang terang-benderang, seperti lambang mentari salah satu parpol peserta Pemilu —kalau jadi terselenggara—di bulan Juni mendatang.
Keyakinan tersebut bisa saja membiuskan bagi pekerja pers Indonesia —apalagi kalau berbagai pujian terhadap berbagai putusan departemen yang dipimpin sang menteri, menyangkut kehidupan pers di Indonesia itu, dipersandingkan dengan apa yang telah diperbuat the founding father (and mother), karena sejarah itu —kalau diibaratkan sebuah perjalanan menuju ke suatu tempat yang dicita-citakan tiap-tiap bangsa/umat manusia—mengikuti hukum dialektika dari gerak siklis —bukan spiral apalagi linear—filsafat sejarah-nya Ibnu Chaldun, sejarawan berkebangsaan Arab itu. Demikianlah seorang pengamat sejarah mesti bersikap kritis terhadap realitas, pun realitas dunia pers yang konon telah dilepaskan dari belenggu keterpasungan selama 32 tahun Orde Suharto. (Goenawan menambahkan —dan ini yang mesti dikritisi kembali—dengan tahun-tahun keterpasungan pers Indonesia di zaman Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin).
Kebahagiaan Goenawan Mohammad dan mungkin kebahagiaan sebagian pekerja pers Indonesia lainnya terhadap kondisi dunia pers sekarang ini, barangkali belum menyentuh akar masalah atau substansi persoalan yang lebih riil, jika persoalan di seputar dunia pers itu dimistifikasi kepada persoalan “kebebasan pers” semata-mata.
Menempatkan “kebebasan pers” sebagai satu tantangan yang mesti dilalui oleh para pekerja pers, barangkali ada benarnya. Tapi mengabaikan interdependensi peran negara, peran modal/logika kapital dari suatu sistem ekonomi yang dominan, dan keterkaitannya dengan organisasi pers itu sendiri, sama saja dengan menisbikan hukum sejarah Ibnu Chaldun di atas. Justeru di dalam masyarakat dan negara modern itu, dua komponen tersebut —peran negara dan hubungannya dengan logika kapital yang berlaku—begitu signifikan terhadap kehidupan dan pekermbangan organisasi pers yang ada. Dua komponen itu menjadi motor penggerak dari dialektika sejarah versi Ibnu Chaldun.
Saya jadi berilusi, jangan-jangan banyak diantara rekan-rekan pekerja pers belum memiliki kesepakatan tentang pokok persoalan sebenarnya dari persoalan riil yang mengancam di hadapan mereka dalam kaitan menjalankan aktivitasnya sehari-hari sebagai koeli perusahaan pers. Jika —katakanlah—disepakati bahwa pengidentifikasian terhadap bentuk-bentuk pengendalian organisasi pers oleh negara di masa Orde Suharto yang meliputi: (i) adanya wadah tunggal organisasi kewartawanan yang ditempatkan sebagai asosiasi korporatisme negara; (ii) pengendalian secara langsung melalui institusi negara —Deppen dan Ditsosopol ABRI; (iii) pengendalian melalui rule by law —SIUPP dan sebagainya; telah direformasi oleh Menpen Muhammad Yunus. Tapi secara obyektif, dapat disebutkan hampir seluruh perusahaan pers di Indonesia sekarang ini me-manage perusahaannya sesuai dengan konsep orientasi laba (profit-oriented), yakni melalui bekerjanya logika kapital itu. Padahal —selama logika kapital masih eksis berjalan—tiga bentuk pengendalian tersebut akan muncul dalam wajah lain, yang hakekatnya atau ujung-ujungnya mengganjal gerakan demokrasi kerakyatan secara in general.
Oleh karena, pemetaan pemetaan masalah persoalan dunia pers di Indonesia yang diyakini selama ini adalah sebatas menemukan kembali “kebebasan pers” yang telah puluhan tahun bak mutiara yang menghilang tersebut, maka kenyataan bekerjanya suatu logika kapital dari suatu pers industri menjadi luput dari agenda idealisme perjuangan (sebagian) teman-teman pekerja pers. Jika disebutkan bentuk pengendalian negara itu muncul dalam bentuk wajah yang lain, maka memanfaatkan surplus kekuatan modal yang dimiliki, antek-antek status quo pun mulai merambah ke industri pers, seperti yang telah dan sedang terus diupayakan oleh keluarga Cendana dan Timmy Habibie.
Jika persoalannya terletak kepada akumulasi modal dan/atau logika kapital yang berjalan dalam suatu perusahaan pers, maka perlawanan yang paling mungkin adalah, meletakkan eksistensi bekerjanya logika kapital tersebut sebagai persoalan riil, dan konsekuensinya adalah melakukan antitesa terhadapnya. Pilihannya tak lain tak bukan dengan mendirikan serikat-serikat kerja (union trade) di tiap-tiap perusahaan pers yang ada. Dan serikat kerja tersebut, pada tahap awalnya yang paling memungkinkan adalah, berposisi sebagai institusi yang berperan dalam menjalankan mekanisme tawar (bargaining position) terhadap kaum majikan pemilik modal. Satu sandungan yang dapat muncul dari pembentukan serikat kerja di lingkungan perusahaan pers adalah masih adanya perbedaan pandangan tentang apakah pekerjaan seorang wartawan itu digolongkan kedalam jenis pekerjaan kaum profesional lainnya, seperti praktek dokter, notariat, dan firma hukum, atau jenis pekerjaan seorang koeli atau buruh? Perdebatan tentang hal ini bahkan masih menjadi diskursus dalam satu organisasi wartawan yang sama. Jawaban dari perbedaan pandangan itu, memang dapat melahirkan implikasi-implikasi berikutnya terhadap cita-cita perjuangan yang dilakukan kaum jurnalis dan gerakan demokrasi kerakyatan di Indonesia pada umumnya.
Sebenarnya jawaban atas perbedaan pandangan tersebut sudah jelas. Yang membedakan antara seorang wartawan dengan seorang dokter, dan ahli hukum adalah, bahwa dua profesi belakangan ini dapat bekerja tanpa terikat dalam suatu perusahaan dan sejenisnya —secara pribadi membuka praktek dan firma hukum—setelah memenuhi ketentuan-ketentuan juridis atau undang-undang yang diakui negara. Sebaliknya, wartawan bekerja dalam suatu perusahaan pers yang memiliki cara produksi (mode of production) seperti kerja pabrikan. Jadi tak benar, jika memisahkan proses produksi berita —hingga ke bentuk hard copy-nya—antara kerja redaksional dan seterusnya dengan kerja cetak dan penerbitan. Dalam logika kapital suatu perusahaan pers, semua proses produksi itu masuk dalam cost untung-rugi sang pemilik modal!
Jadi dalam kasus-kasus perselisihan perburuhan di suatu perusahaan pers misalnya, tak ada pembedaan atau semacam garis demarkasi antara para wartawan atau staf redaksional dengan pekerja non-wartawan atau staf non-redaksional. Artinya perjuangan untuk memperoleh (kesetaraan) hak-hak ekonomi itu harus diperjuangkan bersama-sama, karena mereka sama-sama orang upahan (employee) yang upahnya telah ditentukan oleh manajemen perusahaan. Para wartawan sepantasnya menepisimaji arogansi yang mereka miliki —karena kesalah-kaprahan konsep-konsep yang dimasyarakatkan Orde Suharto—tentang kelas menengah, golongan terdidik, atau kaum profesional yang melekat dalam diri mereka. Sikap arogansi ini —mengutip pengakuan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lukas Luwarso dalam tulisannya “Era Jurnalis Independen” (Xpos, No.39/I, 26 Sept-2 Okt 1998)—dapat merupakan faktor yang melemahkan upaya membangun sebuah serikat kerja wartawan yang solid. Bahwa di Indonesia, wartawan itu lebih dilihat sebagai profesi ketimbang pekerja atau buruh.
Salah satu organisasi wartawan yang —mengaku—berwatak serikat pekerja adalah AJI. Organisasi inipun berafiliasi kepada International Federation of Journalists (IFJ). Sebagai konsekuensi logis dari keanggotaan tersebut, tentu AJI akan terus-menerus mengupayakan —dengan advokasi dan pengaruhnya—untuk terbentuknya serikat-serikat pekerja independen di tiap-tiap perusahaan pers di Indonesia. Karena dari tujuh butir program kerja yang menjadi landasan berdirinya IFJ, tiga diantaranya memuat hal-hal yang berkaitan dengan serikat pekerja itu. Butir pertama berbunyi: “The IFJ promotes co-ordinated international action to defend press freedom and social justice through the development of strong, free and independent trade unions of journalists”. Dari klausul tersebut jelas terkandung makna, bahwa perjuangan meraih (atau mempertahankan) kebebasan pers itu mesti diiringi dengan terbentuknya suatu serikat pekerja yang tangguh, bebas, dan independen.
Jadi “kebebasan pers” —seperti yang dipidatokan Goenawan Mohammad di Istana Negara beberapa waktu lalu—itu menjadi bersifat mistis, manakala tidak mencermati kondisi obyektif masyarakatnya, dimana pilar-pilar formasi sosial yang lama belum runtuh, karena struktur perekonomian negara tidak berubah. Dalam realitas demikian —untuk mencapai suatu kemenangan bagi gerakan demokrasi kerakyatan—, para pekerja pers tak bisa lari dari tugas besarnya (mission sacre) merebut segala hal yang terkait dengan proses produksi, yang selama ini dikuasai kaum modal —yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan. Mendirikan serikat pekerja yang independen, dan jika memungkinkan berjuang untuk meraih mayoritas kepemilikan saham, serta memiliki alat-alat produksi sendiri, merupakan idealisasi dari upaya perjuangan pembebasan dalam arti luas. Hal ini bukanlah sesuatu yang utopis, karena ternyata lebih 85 tahun yang lalu, Bapak pers Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Marco Kartodikromo —berapa banyak wartawan sekarang yang mengetahui sedikit tentangnya?—telah memikirkan hal tersebut dan mengingatkan pembacanya tentang pengaruh pentingnya jurnalistik bagi perjuangan kemanusiaan, dan demokrasi secara umum. Mereka menulis di Doenia Bergerak (25 juli 1914) demikian: “…Dari sebab penoelis ini djoega seorang Inlandsche Journalisten Bond maka ia merasa tiada halangannja memberi nasehat pada saudara teman sedjawatnya. Ingatlah saudara-saudara jang tertjinta, bahwa besarlah pengaroehnja journalistiek itoe bagi pergerakan oemoem…”***
Alm. Togi Simanjuntak, ditulis pada pertengahan 1999