Akhir bulan Maret 2005 ini, Jakarta kembali diguncang berita bunuh diri. Beberapa media massa memberitakan seorang warga miskin mati bunuh diri karena tidak tahan dengan kesulitan hidup di Jakarta. Berita tersebut kembali membuka mata dan hati pembacanya untuk mencoba merasakan kegetiran yang dihadapi keluarga serta si korban bunuh diri. Kegetiran yang terjadi saat si korban ketika dia harus membunuh dirinya sendiri karena ingin cepat lepas dari himpitan kesulitan hidup sebagai orang miskin. Juga kegetiran keluarga yang harus menyaksikan dan ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya nekat bunuh diri. Pada 27 Maret 2005 pagi, Yusuf (48 tahun) ditemukan oleh isterinya Sofiah (45 tahun) meninggal dunia gantung diri pada tiang jemuran sekitar rumahnya. Yusuf yang sehari-hari dikenal sebagai pedagang kaki lima (PKL) bubur ayam di depan Hotel Kartika Candra, Jakarta Selatan, diduga oleh isterinya, memilih bunuh diri karena stres berat akibat tidak tahan menghadapi dengan kesulitan hidup yang dihadapinya di Jakarta. Pilihan bunuh diri itu menurut penuturan isterinya kemungkinan disebabkan oleh karena Yusuf tidak tahan dengan masalah yang menimpa keluarganya.
Peristiwa itu dimulai beberapa bulan lalu saat keluarga Yusuf dan Sofiah beserta anak-anaknya kehilangan rumah yang dibelinya dari tabungan uang hasil berjualan bubur ayam selama 15 tahun. Seorang kawannya datang meminjam uang sebesar Rp 20 juta kepada Yusuf dan berjanji akan dikembalikan secepatnya. Yusuf lalu menjaminkan rumahnya itu agar mendapatkan uang sebesar Rp 20 juta untuk dipinjamkan kepada kawannya. Setelah berkali-kali selama lebih 7 bulan ditagih, Yusuf belum juga menerima pengembalian uangnya itu dan mulai curiga. Belakangan Yusuf mendapatkan kabar bahwa rumahnya yang dijaminkan itu ternyata juga telah dijual oleh kawannnya yang meminjam duit. Beban masalah ini akhirnya membuat Yusuf bingung dan stres karena kawannya ternyata telah membawa kabur uangnya serta menjual rumahnya.
Cobaan hidup berat yang menimpa Yusuf tidak berhenti sampai disitu. Sekitar dua minggu lalu, isterinya menceritakan bahwa gerobak dan seluruh alat berjualan bubur ayam digaruk (dirampas) oleh petugas Tramtib pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta. Tempat berjualan diobrak-abrik (dihancurkan) dan gerobak mereka diambil oleh Tramtib yang melakukan operasi penggusuran PKL. Kejadian itu membuat mereka terpukul, terutama Yusuf bertambah stres dan sedih. Hari-hari setelah penggusuran tempat berjualan itu dijalani oleh Yusuf sekeluarga dengan penuh kepedihan karena sudah tidak memiliki mata pencaharian lagi. Untuk memulai lagi usaha dan membiayai keluarga, Sofiah bekerja sebagai tukang masak di sebuah restoran. Berkat penghasilan Sofiah ini, Yusuf bisa kembali membuat gerobak baru untuk berjualan bubur ayam. Baru empat bulan Sofiah bekerja, Yusuf jatuh sakit karena stres yang dialaminya semakin parah. Sofiah mengatakan bahwa, walaupun sudah kembali berjualan bubur ayam dengan gerobak baru, Yusuf masih sering melamun dan sering bicara kacau.
Memang selama berjualan dengan gerobak barunya, Yusuf sering ketakutan dan melihat-lihat ke jalan raya, takut apabila ada petugas Tramtib datang. Suatu malam Yusuf menyaksikan di televisi berita tentang penggusuran PKL yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat Jakarta Pusat di jalan Salemba. Sambil menyaksikan tayangan berita itu Yusuf berkali-kali mengeluarkan komentar marah terhadap perlakuan Tramtib terhadap para PKL. Malam itu juga Yusuf berkata pada isteri bahwa, dia takut untuk berjualan lagi karena terus dibayangi ketakutan gerobaknya akan digusur lagi. Keesokan harinya, pagi-pagi benar Yusuf pamit pada Sofiah untuk jalan-jalan dan keluar rumah. Setelah lama ditunggu, Yusuf tidak pulang dan ditemukan sudah meninggal gantung diri.
Bunuh diri yang dilakukan oleh PKL karena merasa takut dan “kalah” karena penggusuran seperti Yusuf di atas pernah terjadi juga tahun lalu. Peristiwa sejenis itu dilakukan oleh seorang PKL pada tangga 26 Mei 2004 lalu. Peristiwa bunuh diri itu dilakukan oleh Binsar Sianipar (28 tahun) yang sehari-hari berjualan VCD, secara nekat mengikat lehernya dengan menggantung dirinya memakai sebuah spanduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana di daerah Ciracas Jakarta Timur. Menurut cerita seorang temannya dikatakan bahwa ada kemungkinan disebabkan karena putus asa sebagai pedagang kaki lima (PKL) tidak berkembang.
Temannya itu menuturkan, bahwa mereka sebelumnya sama-sama berjualan di daerah Pasar Rebo Jakarta. Sebagai PKL, barang dagangan mereka berdua diceritakan sering menjadi sasaran empuk penggusuran atau dirazia oleh petugas ketentaraman dan ketertiban (Tramtib) pemda. Situasi ini memaksa Sianipar pindah berjualan di daerah Glodok Jakarta Barat yang sebenarnya juga tidak membawa perkembangan karena terlalu banyak saingan. Kesulitan hidup di Jakarta inilah yang menurut kawannya itu membuat Sianipar putus asa dan memutuskan bunuh diri. Mengerikan sekali hidup di Jakarta ini, miskin tanpa ada bantuan atau perhatian dari pemerintahnya dan terpaksa bunuh diri untuk menghentikan penderitaan.
Membius Orang Miskin
Beberapa waktu lalu, saat presiden Susilo menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mengatakan bahwa, kebijakannya itu diambil untuk menolong orang miskin yang seharusnya berhak menikmati subsidi dari pemerintah. Selama ini yang menikmati subsidi melalui harga BBM lebih dinikmati oleh orang-orang yang memiliki kendaraan bermotor. Untuk itulah sebagai presiden, menaikkan harga BBM agar dapat memberikan kompensasi subsidi pada orang miskin. Mengesankan sekali pernyataan presiden itu, sepertinya pemerintah memiliki keberpihakan pada orang kecil atau miskin. Terulangnya kembali peristiwa bunuh diri orang miskin di atas menunjukkan bahwa, pernyataan presiden hanyalah untuk membius atau membohongi agar kebijakannya menaikkan harga BBM didukung masyarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi subsidi kompensasi dana kenaikan harga BBM tidak pernah sampai ke tujuan dan orang miskin tetap saja miskin tidak boleh hidup aman sebagai manusia.
Peristiwa bunuh diri ini menunjukkan bahwa, adanya proses secara sistematis terhadap orang miskin oleh pemerintah. Orang miskin dibuat tetap dan terus tidak ada pilihan lain dan akhirnya harus membunuh dirinya sendiri. Adanya pembunuhan sistematis ini juga menunjukkan betapa komitmennya sebagai presiden terhadap orang miskin tidak mendapat dukungan dari aparat pemerintah di bawahnya. Sebagai presiden seharusnya dia memiliki wewenang kuat agar aparat pemerintah di bawahnya merealisasikannya di tingkat masyarakat. Kejadian mengerikan yang dialami keluarga Yusuf di atas menunjukkan betapa komitmen presiden tidak didukung anak buahnya sendiri, yakni oleh Gubernur Jakarta Sutiyoso. Seharusnya komitmen tersebut tidak perlu hanya berbentuk pemberian subsidi uang, yang faktanya justru banyak dikorupsi juga oleh aparat pemerintah.
Komitmen itu sebenarnya dapat pula ditunjukkan dengan adanya kebijakan-kebijakan di tingkat aparat pembantu presiden dengan memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak hidup warganya terutama yang miskin. Penghormatan terhadap komitmen presiden terhadap orang miskin tersebut dapat dilakukan dengan penegasan kepada seluruh aparat pemerintah agar tidak melakukan penggusuran sewenang-wenang seperti sering dilakukan oleh pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta di bawah gubernur Sutiyoso. Perilaku menindas dan mengusur orang yang miskin yang sering dilakukan oleh Sutiyoso di Jakarta pasti diketahui dan dapat dibaca di berbagai media massa. Tetapi mengapa, melihat semua tindakan menindas dan menggusur itu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menindak Sutiyoso karena telah bertindak melawan komitmennya sebagai presiden yang katanya berpihak pada orang miskin?
Jika memang keberpihakan itu merupakan sebuah komitmen bukan sekedar alat pembiusan maka harus diserta tindakan nyata dalam menjalankannya. Tindakan memberikan subsidi adalah suatu bentuk tanggung jawab melakukan perlindungan serta penghormatan sebagai aparatus negara yang harus diberikan pada warga negaranya, khususnya yang miskin agar dapat tetap hidup dan berkembang secara manusiawi. Jadi subsidi tidak harus berbentuk uang atau dana kompensasi tetapi yang terpenting adalah melakukan tindakan nyata memberikan perlindungan dan menindak aparatnya yang telah melanggar hak hidup warga negaranya. Pengalaman kekejaman Gubernur Jakarta Sutiyoso terhadap orang miskin, kiranya oleh presiden dapat dijadikan uji coba komitmen presiden yang katanya berpihak pada orang miskin. Jika presiden berhasil menindak Sutiyoso maka tindakan itu akan menjadi pelajaran bagi gubernur atau aparat didaerah lain sering menggusur orang miskin. Dalam hal ini presiden ditantang oleh Sutiyoso atau kepala daerah lainnya, apakah berani menindak dan memberhentikan tindakannya yang selalu menindas dan menggusur? Akhirnya orang miskin benar-benar dapat hidup layak di Jakarta dan di negeri ini. Ditunggu.
Azas Tigor Nainggolan, penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).