Latar belakang kasus
“Tidak mudah memang untuk mendapatkan keadilan”, inilah yang dirasakan oleh korban dan keluarga korban dari Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) . Perjuangan mereka dalam menuntut pengungkapan fakta dan penyelesaian kasus masih terus berlangsung hingga saat ini. Berbagai kendala dan halangan terus berada didepan mereka. “kami membantu perjuangan para keluarga korban agar peristiwa ini tidak terulang kembali dan anak cucu banyak orang menjadi korbannya”, ungkapan ini disampaikan oleh salah seorang pendamping yang selama ini bersama perjuangan paguyuban keluarga korban.
Demonstrasi damai yang berujung pada penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 telah mengakibatkan 4 mahasiswa gugur. Kejadian serupa kembali terulang pada 13 November 1998. Peritiwa yang dikenal Tragedi Semanggi I telah mengakibatkan lima Mahasiswa dan pelajar serta enam masyarakat sipil gugur akibat tertembak dan dianiaya. Tuntutan mahasiswa dan masyarakat untuk menolak pengesahan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) harus dibayar dengan gugurnya tiga orang mahasiswa dan delapan masyarakat sipil. Peristiwa pada 23 September 1999 ini lebih dikenal dengan Tragedi Semanggi II
Perjalanan Kasus
Usaha untuk mendorong penyelesaian kasus TSS dari para korban dan keluarganya telah dilakukan sejak peristiwa-peristiwa tersebut berakhir. Berbagai cara ditempuh, berbagai departemen didatangi, berbagai institusi terkait diminta bertanggung jawab, namun tetap saja usaha itu hanya menghasilkan jawaban klasik, “tenang, kami dengar dan akan kami tampung. Setelah ada hasilnya, bapak/ibu akan saya kabarkan”. Walaupun tak pernah mendapat tanggapan yang berarti, mereka tak pernah berhenti dan lelah. Seperti apa yang dilakukan oleh paguyuban Kel. Korban Mei dan Semanggi, mereka bersama beberapa ormas dan NGO terus mengingatkan kepada pemerintah dengan berbagai cara.
Saat mereka datang, ke pihak yang dianggap bertanggung jawab, yaitu pihak TNI/Polri. Mereka hanya mendapatkan jawaban, “kasus ini dalam proses, kami masih kesulitan mendapatkan saksi”. Mendengar hal ini, para keluarga korban kemudian berusaha mencari saksi atau yang mengetahui kejadian tersebut. Akan tetapi untuk sekali lagi, mereka harus menelan pil pahit. Setelah dua tahun berlalu jawaban itu tetap muncul saat ditanyakan kembali
Memang khusus kasus Trisakti, kasusnya telah disidangkan di Mahkamah Militer. Namun hal ini tidak memuaskan karena prajurit rendaha kembali tumbal. Pertanggung jawaban komando menjadi satu hal yang “haram” dalam persidangan tersebut.
Pada akhir tahun 2000, para keluarga korban kembali mencoba menagih janji anggota DPR. Bersama mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat, mereka berusahan mendesak Satu langkah perjalan akhirnya tercapai, DPR akhirnya menyetujui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk Kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Walalupun demikian, pertanyaan kembali muncul “mengapa kasus Trisakti dipisahkan dari peristiwa mei?”. Argumen yang muncul adalah, korbannya berbeda dan tipologi kekerasannya berbeda. Tidak masuk akal….
Pansus TSS, sebuah dagelan politik
Harapan terhadap munculnya pansus TSS ternyata tidak menjadi menjadi kenyataan. DPR, sebuah lembaga politik hanya menjadi tempat “berdagang”. Menurut pantauan dari TRK bersama keluarga korban, para anggota pansus tidak serius melaksanakan tugasnya. Kehadiran para anggota pansus hanya 24% dalam seluruh prosesnya dan pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbatas adalah bukti kuat ketidak-seriusan tersebut.
Dalam prosesnya, seringkali terjadi pedebatan yang tidak jelas sehingga beberapa fakta yang telah jelas menjadi kabur kemabli. Perdebatan di seputar permasalahan teknis seperti jenis peluru, senjata dan pertanggung jawaban komando terus terjadi sehingga banyak fakta yang bisa digali menjadi sia-sia. Kerap kali, para oknum yang diduga kuat terlibat melakukan aksi “cuci tangan” dan ini tidak disadari oleh para anggota dewan.
Proses akan menentukan hasilnya, itulah satu perhitungan pasti. Akibat proses yang buruk, pansus ini kemudian mengeluarkan satu keputusan yang sangat bertentangan dengan keinginan dan tuntutan dari sebagian besar lapisan masyarakat. Pansus TSS memutuskan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada ketiga peristiwa tersebut dan meminta pihak yang berwajib untuk memprosesnya di Mahkamah Militer.
Satu lagi ke alpaan dari dewan yang terhormat adalah DPR merupakan lembaga politik bukan lembaga hukum yang dapat memutuskan satu perkara. Rekomendasi mereka telah jelas menggambarkan ke-alpaan tersebut. Padahal dalam UU No. 26/200, fungsi mereka hanya memberikan rekomendasi kepada presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk menindak lanjuti satu kasus. Untuk kesekian kali, anggota dewan mengkhianati keinginan rakyat dan tentu ini bukan yang pertama dan terakhir kalinya..
KPP HAM TSS, langkah maju atau….
Tindakan Pansus TSS telah menimbulkan berbagai tanggapan dikalangan praktisi Hukum dan HAM. Banyak yang mempertanyakan keputusan tersebut, demikian pula dengan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM). Didukung atas desakan masyarakat, khususnya para keluarga korban, Komnas HAM kemudian membentuk satu Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II (KPP TSS).
Tindakan Komnas HAM membentuk KPP TSS juga mengundang berbagai pendapat, khususnya dari pihak TNI/Polri. Mereka menganggap bahwa tindakan tersebut telah melecehkan keputusan dari DPR. Mungkin yang perlu kita ingat adalah Keputusan DPR adalah keputusan politik dan tidak mengikat. Namun ini terus didengungkan oleh oknum TNI/Polri dan menjadi alasan ketidak hadiran mereka saat dipanggil untuk dimintai keterangannya.
Berbagai usaha dilakukan untuk menghadirkan para pejabat Kepolisian maupun militer pada saat peristiwa iterjadi tidak berhasil. Usaha terakhir yang dilakukan oleh KPP TSS adalah meminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pemanggilan paksa kepada para pejabat tersebut. Permintaan ini dikabulkan sehingga KPP TSS berhak memanggil paksa. Sekali lagi, arogansi mereka kembali terlihat, para pejabat tersebut tidak mengindahkan pemanggilan tersebut. Hingga masa kerja KPP TSS berakhir, hanya satu orang perwira kepolisian yang hadir untuk dimintai keterangannya. Nah, sekarang siapa yang telah melecehkan satu keputusan hukum?
Ketegangan tidak hanya terjadi di luar KPP TSS saja, tetapi juga di dalam komisi. Ketidak hadiran para anggota komisi dan perbedaan persepsi menjadi salah satu ketegangan tersebut. Namun, proses inilah yang telah menyebabkan banyaknya kemajuan dalam kerja KPP TSS. Ketidak hadiran beberapa anggota Komisioner di tutupi dengan baik oleh semua anggota komisi.
Yang jelas, pada akhir masa kerjanya, KPP TSS mengeluarkan rekomendasi yang sangat cukup mengejutkan. Itulah yang dikatakan beberapa kalangan aktifis pembela HAM. Dalam rekomendasinya, terdapat 52 perwira yang dianggap bertanggung jawab dalam ke-tiga peristiwa tersebut dan harus segera diajukan ke Kejaksaan Agung guna diproses ke Pengadilan HAM. Satu langkah maju telah di tempuh, namun ada saja yang menghalanginya….
Kejaksaan Agung, lembaga hukum yang membingungkan
Rekomendasi KPP TSS dengan segera dilimpahkan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung guna diproses untuk ke tingkat yang lebih lanjut, penyidikan. Namun bukan berarti rencana ini berjalan dengan mulus, kita telah tahu Kejaksaan Agung yang sebelumnya tengah menangani berbagai hasil-hasil KPP yang ada sebelumnya. Dan bagaimana hasilnya?
Hal ini terjadi pula pada berkas TSS yang diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tercatat, sebanyak tiga kali berkas tersebut dikembalikan kepada Komnas HAM dengan berbagai alasan. Pertama adalah berkas ini tidak sesuai dengan format berkas pro-justicia. Setelah disempurnakan, berkasnya diserahkan kembali. Untuk kedua kalinya, berkas tersebut dikembalikan, kali ini dengan alasan bahwa anggota komisi tersebut harus dimintai sumpahnya dan berbagai sayarat formal. Hal ini ditolak untuk disempurnakan, hanya beberapa bagian dari berkas KPP TSS yang disempurnakan kembali sesuai dengan permintaan Kejaksaan Agung. Namun berkas tersebut ditolak kembali alias terancam masuk dalam keranjang sampah!!!
Sampai saat ini nasib ketiga kasus ini semakin tidak jelas. Mekanisme pengadilan HAM yang tertuang dalam UU No. 26/2000 memang cukup jelas, namun yang menjadi persoalannya adalah aparat pelaksananya. Kita tidak bisa menafikan, bahwa kepentingan politik dalam proses ini sangat penting. Kita lihat saja hasil dari pansus TSS, itulah suatu permainan politik yang sesungguhnya.
Memang, jalan panjang menuju keadilan bagai jalan yang tak berujung. Akan tetapi bukan tidak mungkin hal ini tercapai. Proses hukum hanyalah salah satu jalan dari sekian banyak jalan yang telah diperjuangkan oleh para keluarga korban. Semua ini telah diperhitungkan dan memang “jalan kita bersama masih sangatlah panjang”……