Diskriminasi: Salah Satu Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Serius dalam Kehidupan Baru di Era Milenium Ketiga Masehi

1
2159

Diskriminasi – yang berasal dari kata Latin dis (=memilah atau memisah) + crimen (=diputusi berdasarkan suatu pertimbangan baik-buruk) – adalah sebuah istilah yang secara harafiah berarti ‘memilah untuk menegaskan perbedaan atas dasar suatu tolok nilai’. Praktik diskriminasi – yang pada hakikatnya merupakan upaya membangun kehidupan yang eksklusif dengan mengucilkan mereka yang dipandang tak segolongan — adalah suatu fenomena kehidupan yang sebenarnya amat lumrah kita temui dalam komunitas-komunitas lokal tua. Praktik diskriminasi seperti ini mempunyai fungsi memilah dan memisah kelompok-kelompok ke dalam lingkar-lingkar yurisdiksi, yang pada akhirnya pada dataran ekologik akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut teritorial spacing (demi efisiensi pendayagunaan sumber-sumber agraria setempat!), dan pada tataran sosial akan menyebabkan terjadinya social spacing yang terwujud dalam bentuk pembedaan dan pemisahan antara ‘kami yang orang dalam yang berkewenangan dan berprivelege di sini’ dan ‘kalian yang orang luar yang tak berkewenangan dan berprivelege di sini’. Spacings seperti itu menghasilkan suatu penjarangan yang mampu menjaga jarak antara kelompok-kelompok, masing-masing dengan kawasan teritorial-ekologik dan yurisdiksi moral-kulturalnya sendiri, yang dengan demikian juga mampu mengurangi kemungkinan terjadinya perjumpaan-perjumpaan yang berdampak pada benturan-benturan kepentingan antar-kelompok.

Diskriminasi dalam maknanya yang netral dan fungsional untuk kepentingan survival manusia sebagaimana dipaparkan di muka ini ternyata berkembang menjadi sesuatu yang disfungsional, dan menyebabkan dahi orang mengerenyut di mana-mana, ialah tatkala terjadi perubahan kehidupan manusia dari yang semula terorganisasi sebagai old local communities ke yang kini terorganisasi sebagai new nation state. Dalam kehidupan yang lebih terintegrasi pada tataran nasional dengan konfigurasinya yang industrial, tatkala teritorial spacing yang memilah dan memisahkan komunitas-komunitas lokal menjadi tidak bermakna lagi, perjumpaan dan benturan kepentingan antara berbagai puak dalam masyarakat menjadi tak terhindarkan. Social spacing yang mencoba bertahan di tengah kehidupan yang telah berubah tanpa mengenal lagi perbatasan teritorial dan garis pemisahan yurisdiksi antar puak seperti itu akan serta merta menjadi penghalang dipenuhinya asas kesetaraan dalam percaturan nasional. Eksklusi-eksklusi antar-puak sosial, namun yang berlangsung di atas dataran teritori nasional yang sama tersebut, nyata kalau akan terstigma secara serta merta sebagai praktik diskriminasi yang buruk. Syahdan, karena akan mengancamkan fragmentasi dalam persatuan bangsa, ekslusifisme seperti itu secara serta merta pula akan segera saja ditolak dalam kehidupan nasional oleh mereka yang tetap menganggap pentingnya solidaritas dalam kesatuan kebangsaan, dengan kontrol-kontrol yang harus dikukuhi teguh-teguh oleh otoritas sentral.

Diskriminasi dalam maknanya yang netral dan fungsional untuk kepentingan survival manusia ini berkembang menjadi kian disfungsional lagi tatkala terjadi perubahan yang kian lanjut lagi. Ialah perubahan yang berlangsung lebih lanjut dari new nation states ke suatu kehidupan mutakhir yang terorganisasi sebagai regional atau global market yang jelas-jelas kalau sudah berada di tataran ‘beyond nationalities’. Di sini teritorial spacing yang memungkinkan bertahannya kedaulatan dan yurisdiksi teritorial juga menjadi kian kurang bermakna lagi, untuk menghasilkan apa yang disebut borderless world. Tak pelak lagi, di tengah kehidupan mutakhir pada tataran global — yang membebaskan orang dari keterikatannya pada lingkungan komunitas serta lokalitasnya sendiri yang eksklusif – ini pemilahan dan pembedaan serta pembeda-bedaan antar-manusia (yang kini dalam gambaran idealnya telah harus hidup bersama dalam satu bumi yang telah menyatu) akan serta merta tertuding sebagai praktik diskriminasi yang berpotensi akan memberikan kedudukan berprivelege kepada suatu kelompok mapan untuk menindas dan mengeksploitasi mereka yang berkedudukan rawan.

Sebagaimana dalam perkembangan kehidupan nasional yang mencoba mengatasi masalah diskriminasi antar-warga dalam kehidupan yang kini telah diidealkan sebagai kehidupan yang berkesetaraan antara sesiapapun, perkembangan kehidupan pada tataran global — yang didalihkan untuk kepentingan manusia sesiapapun seumat – hendak pula mengatasi masalah diskriminasi dengan alasan yang sama. Hidup dalam satu bumi yang tak lagi berperbatasan, tatkala siapapun yang namanya manusia dan bersosok manusia ini harus hidup bersama dalam suatu kebersamaan, diskriminasi akan dipandang sebagai suatu pemecah-belah persatuan dan kesatuan manusia. Kehidupan di satu bumi yang telah terwujud sebagai fakta one world, different but never divided ini akan terfragmentasi kembali ke dalam sekian ribu puak, yang tidak akan saja saling menolak akan tetapi – karena sudah tak lagi mengalami teritorial spacing — akan serta merta sarat dipenuhi konflik-konflik. Dalam kehidupan yang telah berubah mengglobal seperti ini, ketika kecenderunganpun kian besar akan berkembangnya ideologi the sovereignty of the individuals, ulah saling menolak dan berkonflik itu tak hanya akan berdampak pada kehidupan yang amat tidak menguntungkan kehidupan antar-kelompok (besar ataupun kecil) akan tetapi lebih-lebih lagi juga amat tidak menyejahterakan pergaualan antar-individu dalam bidang kehidupan apapun.

Maka, kepentingan bersama manusia seumat dan sebumi telah kian kuat mendorong upaya bersama membangun kehidupan bersama yang tak lagi tersekat-sekat oleh berbagai bentuk diskriminasi. Dunia harus dibebaskan dari sekat-sekat seperti itu, khususnya sekat-sekat segregatif yang tidak didasarkan pada alasan-alasan yang rasional dan fungsional, melainkan atas dasar alasan-alasan yang berangkat dari purbasangka. Inilah berbagai bentuk purbasangka yang umumnya didasari fakta perbedaan-perbedaan kodrati yang boleh dibilang tak mungkin diubah secara lahiriah, seperti misalnya perbedaan warna kulit (yang melahirkan paham rasisme) atau perbedaan jenis kelamin (yang melahirkan sexism). Padahal purbasangka-purbasangka seperti ini pada gilirannya akan melahirkan prasangka-prasangka buruk, bahwa secara permanen warna atau jenis yang satu itu tanpa ayal adalah berkeadaan lebih superior (atau sebaliknya lebih inferior) dari warna atau jenis yang lain. Purbasangka seperti inilah yang di satu pihak akan mempanggahkan secara bandel ideologi yang meyakini kehadiran manusia sebagai mahluk yang secara kodrati tidak pernah berkesetaraan (bahwa manusia-manusia itu sesungguhnya berhakikat sebagai Homo hierarchicus), dan di lain pihak akan menghalangi ide tentang kelahiran manusia-manusia baru yang akan terbilang benar-benar sebagai Homo equalis.

Sesungguhnya tiadanya pengakuan akan adanya kedudukan yang setara antar-manusia dalam kehidupan itu merupakan sebuah bentuk penganiayaan dan penindasan, yang acapkali tidak hanya banyak tertampakkan dalam berbagai bentuk ekspresi yang simbolik, melainkan tak kurang-kurangnya juga acap tersimak dalam berbagai bentuk perlakuan fisikal yang sewenang-wenang. Purbasangka-purbasangka yang mendasari berbagai praktik diskriminasi dalam kehidupan manusia – dengan berbagai konsekuensinya — seperti itu memang masih sering dijumpai sebagai tradisi klasik yang berakar dalam-dalam dalam moral-sosial yang dipertahankan dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal. Tetapi pula, patutlah disayangkan, bahwa purbasangka-purbasangka seperti itu justru – disadari atau tidak – masih sering pula dianut dalam berbagai kebijakan nasional yang masih saja bernuansa chauvenistik dan konservatif.

Maka, melawan tindak dan perilaku diskriminatif — yang pada asasnya bersifat disfungsional bagi kehidupan baru pada tataran global ini — patutlah disambut adanya suatu upaya bersama yang progresif untuk mengakhiri berbagai bentuk diskriminasi tersebut. Upaya bersama ini tidaklah semestinya kalau hanya terlaksana dalam bentuk niat bersama saja — sebagaimana rumusan normatifnya disepakati di World Congress yang berlangsung di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 31 Agustus 2001 hingga 7 September 2001 — akan tetapi juga mesti berlanjut terus di hari-hari mendatang, dengan segala implementasinya yang harus dilakukan dengan penuh gairah dan semangat di manapun oleh sesiapapun yang mencitakan lahirnya manusia baru yang berhakikat sebagai homo equalis. Komitmen seperti ini tidak hanya mesti dipercayakan kepada mereka yang terbilang generasi tua saja, yang umumnya telah terlanjur lama berperan dalam institusi-institusi yang formal, akan tetapi juga terlebih-lebih lagi secara khusus kepada mereka yang terbilang generasi muda. Ialah generasi yang akan memiliki kehidupan mereka sendiri sepanjang dasawarsa-dasawarsa mendatang, dan bertanggungjawab akan pengelolaannya dalam taraf kualitatif yang tentu jauh lebih baik dari yang sudah-sudah.

Soetandyo Wignjosoebroto, penulis adalah anggota sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here