Tulisan ini merupakan sebuah komentar dari artikel yang belum lama ditulis di Fimadani.com, sebuah situs berita bernafaskan Islami berbahasa Indonesia di Internet.
Artikel tersebut, yang ditandai merupakan tulisan Muhammad Alfisyahrin, Ketua Al Hikmah Research Center FISIP UI, adalah sebuah artikel yang tidak mengerti konsep gender, permasalahan yang menyangkutnya, dan memiliki beberapa kesalahan logis yang fatal. Namun sebelumnya, artikel itu menggugat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang dikatakannya bukanlah solusi dan justru menambah tiga masalah; pertama adalah ancamannya terhadap institusi keluarga, lalu pengabaian atas masalah yang lebih riil, dan yang ketiga adalah kesalahpahaman atas makna kesetaraan.
Satu permasalahan logika yang fatal, dan merubah arti seluruh pemahaman saya tentang sang penulis, adalah dalam tulisan berikut:
… Negara akan melegalkan berbagai kebutuhan elit feminis yang belum tentu perempuan lain membutuhkannya dan (jika memang jadi dilegalkan) semua perempuan harus membutuhkannya.
Di kalimat itu, penulis tampaknya tidak menyadari kegagalan logis yang berada di balik pemutarbalikan sesuatu yang partikuler menjadi universal dan keadaan akan menjadi harus. Sungguh tidak masuk akal: di saat suatu hak sekarang telah terbuka, di mana keharusan seseorang untuk menggunakan hak tersebut? Seseorang mungkin akan menggunakan haknya, misalnya haknya untuk berjalan kaki di jalanan publik, tapi ia tak harus. Ia bisa memilih untuk naik kendaraan pribadi, misalnya. Dan mutlaknya kehancuran logis ini diafirmasi dengan kalimat sebelumnya: belum tentu perempuan lain membutuhkannya. RUU ini mencoba menghapuskan diskriminasi atas perlakuan kepada perempuan dengan memberikan mereka pilihan selain didiskriminasi. Misalnya, RUU ini akan menghapuskan anggapan bahwa seorang perempuan harus hanya berperan secara domestik karena ia takkan mampu berada di ruang publik (nafas patriarki!) dan memberikan pilihan kepada sang perempuan untuk tetap bekerja di rumah atau bekerja di luar. Apakah sang perempuan menggunakannya atau tidak, ya memang pilihan sang perempuan, dan tidak menjadi keharusan baginya untuk bekerja di luar; toh banyak perhitungan-perhitungan di luar perhitungan budaya yang memengaruhi keputusan seseorang untuk berperan secara domestik atau publik, dan tidak semuanya sama.
Lalu dalam sub-bagian selanjutnya, penulis melanjutkan bahwa institusi keluarga terancam dan asal pola pikir ketertindasan perempuan adalah teori Marxis yang menyatakan bahwa keluarga adalah (sic) cikal bakal dari segala ketimpangan sosial yang ada sehingga harus dihilangkan atau diperkecil perannya agar tercipta masyarakat komunis tanpa pembedaan. Ini (pernyataan bahwa asal pola pikir ketertindasan perempuan adalah teori Marxis) adalah sebuah tuduhan yang terlalu mengawang-awang dan sangat jauh dari tanah. Nyatanya, budaya patriarkhi memang nyata di dalam komunitas kita. Sadarlah: gangguan dan diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi dan laki-laki tak merubah jalan pikirnya. Inilah asal usul ketertindasan perempuan. Perempuan memang diganggu di jalanan (suit-suit dari dekat kios rokok, godaan-godaan verbal laki-laki ketika perempuan lewat di ruang publik saat malam hari), dipandang lebih rendah dalam politik dan komunitas, dan diperkosa dengan dalih memuaskan hasrat “tergoda” pria (contoh sehari-hari) dan baru bisa bersekolah sejak awal abad ke-19–itupun hanya di bagian dunia tertentu (contoh besar). Jika ini, bahkan ketika tidak disangkutkan dengan Marx, bukan ditindas, saya tidak mengerti lagi apa namanya.
RUU ini memberikan pilihan, bukan memberikan keharusan. Perempuan tak lagi harus hanya berada dalam ruang domestik sebagaimana didiktekan patriarkhi dan seluruh manifestasi jahatnya, namun dapat memilih untuk bekerja di luar. Inilah kesetaraan: hak untuk memilih yang sama. Institusi keluarga takkan hancur karenanya, justru akan lebih diperbaiki, karena kini keluarga-keluarga dapat dengan nyaman menentukan pilihan terbaik untuk kebahagiaannya!
Padahal apa yang disebut “masalah” oleh RUU KKG dan para pengajurnya ini pun sebenarnya hanya masalah yang tercipta akibat pola pikir ketertindasan ala Marxis mereka dan belum tentu juga dianggap masalah oleh perempuan lainnya.
Muhammad Alfisyahrin kemudian melanjutkan bahwa ada masalah-masalah yang lebih riil daripada isu kesetaraan gender yang perlu diperhatikan. Menurutnya, isu-isu tersebut termasuk
human trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban; memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mal-mal, terminal, tempat kerja, dan fasilitas publik lainnya; memberikan cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu berkarier, dsb.
Dan lalu ia mengkritik:
Di sinilah bedanya, pola pikir feminis dan pengajur KKG mengesankan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah itu lebih baik.
Terjadi lagi kesalahan logis: sang penulis menganjurkan sesuatu yang dibawa-bawa oposannya, lalu menyatakan bahwa telah terjadi perbedaan. (Ini merupakan kritik yang lebih cenderung terhadap kemampuan nalar sang penulis dibanding isi topik.)
Pada akhir artikel, sang penulis menulis bahwa RUU KKG ini telah melupakan dimensi akhirat dan Nilai Ketuhanan atau Religius (Islam) di masyarakat dan sifatnya sangat sekuler. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa RUU ini–lagi-lagi–memberikan pilihan, bagi mereka yang percaya dengan “dimensi akhirat” dan yang tidak percaya dengan “dimensi akhirat”. Perlu diingat bahwa masyarakat Indonesia itu adalah sebuah komunitas yang heterogen yang jauh–sangat jauh–dari homogenitas pendapat yang dibentuk oleh realitas agama maupun kepercayaan. Agama yang diakui negara hanya enam, meskipun yang benar-benar eksis di Nusantara ini ada beberapa ratus dengan pandangan yang berlainan atas moralitas seksualitas. Inilah kenapa sekulerisme itu baik, dibandingkan memaksakan pandangan negara yang komponennya mungkin sekali dipimpin oleh pimpinan-pimpinan homogen yang datang dari latar belakang budaya yang tidak berbeda. Sekulerisme juga mengakomodasi minoritas dengan mengedepankan pemikiran rasional yang berlatar akal budi dan bukan bentukan agama maupun budaya.
Akhir kata, saya katakan bahwa artikel Fimadani itu telah membuat saya sangat heran.
Penulis: Etra Varuna Semesta alias Arkan La Sida, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia — nlibesky@gmail.com | @_lepaslandas
Sumber: http://aethrium.wordpress.com/