Sebuah laporan hak asasi manusia yang diterbitkan bulan Maret 1999, memperkirakan bahwa dalam tahun 1998, sebanyak 888 perempuan menjadi korban pembunuhan demi kehormatan keluarga di propinsi Punjab, India. Investigasi yang dilakukan di Pakistan, diperkirakan setiap hari paling sedikit, 3 orang perempuan – termasuk korban perkosaan menjadi korban pembunuhan demi kehormatan keluarga. Amnesty International melaporkan sebuah kasus dimana seorang suami membunuh istrinya, karena dalam mimpi sang suami si istri mengkhianatinya.
Ratusan, bahkan mungkin ribuan perempuan dibunuh setiap tahun, oleh keluarganya demi kehormatan keluarga. Sulit untuk mendapatkan jumlah yang riil dari fenomena pembunuhan ini, karena pembunuhan itu sendiri biasanya tidak dilaporkan, pelakunya tidak dihukum dan konsep kehormatan keluarga yang mendasari tindakan ini dapat diterima oleh beberapa kelompok masyarakat.
Pembunuhan dengan alasan kehormatan keluarga banyak terjadi dinegara-negara dimana terdapat konsep perempuan sebagai tempat reputasi keluarga. Laporan dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, memperlihatkan bahwa pembunuhan demi kehormatan keluarga terjadi di berbagai negara, baik di benua Eropa, Asia, Afrika maupun Amerika. Bahkan di Afganistan, di bawah pemerintahan Taliban, tindakan pembunuhan tersebut dapat dimaafkan. Kenyataannya, pembunuhan demi kehormatan keluarga merupakan sebuah kejahatan yang lintas budaya dan agama.
Beberapa sebab pembunuhan demi kehormatan keluarga, antara lain : kehadiran perempun lain dalam keluarga seperti ibu, ibu mertua, adik / kakak perempuan; konsep bahwa perempuan adalah hak milik; dan persepsi yang mengatakan bahwa kekerasan diantara anggota keluarga adalah masalah keluarga dan bukan masalah pengadilan.
Perempuan Sebagai Barang Milik
Pandangan bahwa perempuan sebagai barang milik tanpa memiliki hak atas diri mereka sendiri telah berakar dalam beberapa kebudayaan – Tahira Shahid Khan, seorang professor di Aga Khan University Pakistan, yang mengambil spesialisasi isu-isu perempuan, penulis Chained to Custom, sebuah pandangan tentang pembunuhan demi kehormatan, diterbitkan tahun 1999. “Perempuan dipandang sebagai barang milik oleh laki-laki dalam keluarga, tanpa memandang kelas, etnis, atau kelompok agama. Pemilik barang punya hak untuk menentukan nasib barang tersebut. Konsep dari kepemilikan telah mengubah perempuan menjadi sebuah komoditas yang dapat ditukar, dijual atau dibeli”.
Membunuh demi kehormatan juga dapat dilakukan karena beberapa pelanggaran, seperti ketidaksetiaan dalam pernikahan, seks pranikah, percumbuan, atau bahkan karena tidak menyiapkan makanan pada waktunya. Semua ini dapat digunakan sebagai alasan menyinggung kehormatan keluarga.
Perempuan korban perkosaan pun ada dalam posisi lemah. Sebuah kasus di bulan Maret 1999 seorang gadis yang terbelakang, yang diperkosa di daerah perbatasan Pakistan bagian utara, berbalik menjadi pengadilan masyarakat atas dirinya. Walaupun kasus perkosaan itu telah dilaporkan ke polisi, dan pelakunya sudah ditangkap, masyarakat suku Pathan memutuskan bahwa si gadis telah membuat malu sukunya dan kemudian ia dibunuh didepan sukunya.
Demi Kehormatan Keluarga
Pejabat yang berwenang mengatakan bahwa tidak dapat menghentikan tindakan pembunuhan tersebut karena konsep hak-hak perempuan tidak relevan dalam masyarakat yang patriarki. Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa tindakan tersebut terjadi diantara masyarakat yang tidak terdidik, buta huruf sehingga perilakunya tidak dapat diubah.
Ada sebuah kisah mengenai Samia Imran yang dibunuh atas persekongkolan ibunya – seorang dokter dan bekerja di kantor pengacara Pakistan terkemuka. Bulan April 1999, Imran, berusia 28 tahun, mau bercerai dengan suaminya yang suka memukulnya, setelah mereka menikah selama 10 tahun. Ia setuju untuk bertemu dengan ibunya di kantor pengacara di Lahore, Pakistan. Keluarga Imran menentang perceraian itu, karena dipandang akan membuat malu keluarga. Sang ibu datang dengan seorang teman laki-laki, yang langsung menembak dan membunuh Imran.
Ayah Imran, ketua kelompok dagang di Peshawar, mengadukan pembunuhan itu ke polisi yang kemudian meneruskan ke pengadilan. Pengadilan tinggi Peshawar, pada akhirnya, menolak pengaduan tersebut. Tidak ada seorangpun yang ditahan berkaitan dengan kematian Imran.
Perempuan yang dituduh membuat malu keluarga, amat jarang yang diberi kesempatan untuk membela diri. Dibanyak negara dimana praktek pembunuhan dimaafkan atau dibiarkan sulit untuk mendapatkan tempat atau perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak kasus, perempuan yang dituduh membuat malu keluarga dan meninggal, dikuburkan tanpa nisan dan semua catatan tentang kehidupan mereka dihapus. Di Yordan, bila seorang perempuan ketakutan hendak dibunuh oleh keluarganya, ia boleh check-in dalam penjara, tapi ia tidak boleh check-out. Satu-satunya orang yang bisa mengeluarkannya adalah kerabat laki-laki, yang ternyata adalah orang yang mengancamnya.
Hentikan Kekerasan pada Perempuan
Amnesty International sedang menyiapkan kampanye dunia untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan di tahun 2003. Namun hal ini membutuhkan kerja yang keras dan banyak. Pada tahun 2001 Laporan Khusus PBB mengenai eksekusi seketika, sewenang-wenang dan diluar pengadilan, dikritik oleh koalisi negara-negara anggota, karena memasukkan pembunuhan demi kehormatan dalam laporan tersebut, hingga resolusi yang mengutuk tindakan itu gagal dikeluarkan.
Kerja keras yang dibutuhkan untuk mensukseskan kampanye tersebut dapat dimulai dari petugas kepolisian dan kejaksaan yang harus menanggapi dengan serius kejahatan pembunuhan demi kehormatan keluarga ini. Negara juga harus meninjau kembali UU perlindungan terhadap perempuan, sehingga pembunuhan terhadap istri maupun suami memiliki porsi tindakan pengungkapan yang sama.
Suluh Rudito