Perempuan dalam Sastra

1
1420

Dalam menilai karya sastra, cara yang sering dipakai adalah analisa secara tekstual. Salah satu bentuk yang lain yang juga digunakan dalam memahami karya sastra adalah analisis tekstual feminis. Analisis tekstual feminis mengandung dua hal yang penting yaitu analisis tekstual dan analisis feminis. Seorang feminis dalam karya sastranya dapat saja merupakan seorang yang pluralistik dalam pilihan metode serta teori sastra yang dipergunakannya, karena pada dasarnya pendekatan apapun yang dimanfaatkan, selama itu sesuai dengan tujuan politisnya. Ada beberapa macam pendekatan analisis sastra (teks) yaitu:

1. Kritisisme dengan perskriptif (perscriptive criticism) menawarkan sebuah cara untuk menentukan peran pembebasan yang dapat dimainkan kesusasteraan dan kritik feminis. Menurut Cheri Register (1975), untuk menjadi feminis, sebuah teks atau karya sastra/tekstual harus memenuhi satu atau lebih fungsi di bawah ini:

a. Sebagai suatu forum bagi perempuan Artinya perempuan dibiarkan bebas berbicara dan menceritakan pengalamannya dan perasaannya tanpa harus berusaha untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh laki-laki
b. Membantu tercapainya androginitas budaya Pada dasarnya gerakan feminisme ingin menciptakan tatanan sosial yang lebih menghargai nilai-nilai perempuan yang selama ini tidak cukup dihargai. Penciptaan karakter perempuan yang terlalu macho atau kejam dan mengagungkan kekuatan fisik tidaklah berarti feminis karena hal ini berarti msh berangkat dari sifat kemaskulinan..
c. Menyediakan metode contoh teks yang feminis menyediakan ruang bagi perempuan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dan mengevaluasi alternatif yang terbuka bagi dirinya, dan pada saat yang sama menunjukkan bahwa pembebasan merupakan pengetahuan yang berat, yang dimulai dari diri sendiri dan diakhiri dari diri sendiri.
d. Mempromosikan persaudaraan perempuan (sisterhood) teks atau kritik fenisme harus memungkinkan perempuan untuk menyadari perbedaan dirinya dengan perempuan lain, dan daripada saat yang sama menghargai persaman pengalaman dengan perempuan lain dan untuk memutuskan suatu tindakan ‘politis’.

2. Gynocrotics adalah mengkonstruksi suatu suatu bingkai kerja yang akan menganalisa perempuan dalam karya sastra (atau teks) berdasarkan pengalaman perempuan, dan bukan mengadaptasi model serta teori laki-laki. Cara ini dimulai dengan membebaskan diri dari cara pandang laki-laki, menggantikannya dengan cara pandang perempuan dan mengartikulasikannya dalam budaya perempuan. Tokoh yang memperkenalkan ini adalah Elaine Showalter. Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa laki-laki lah yang selama ini berusaha mendefinisikan perempuan dalam budaya.

3. Reading as woman. Konsep pendekatan ini diperkenalkan pertama kali oleh Jonathan Culler. Konsep ini menyatakan bahwa perempuan dipaksa untuk mengidentifikasikan dirinya ke dalam pengalaman dan perspektif laki-laki yang dianggap sebagai paling “manusia”. Pendekatan ini berusaha membuat bahwa pembaca yang kritislah yang akan menghasilkan penilaian terhadap makna teks.

4. Gynesis, teori ini dilandaskan pada pemikiran bahwa perempuan bisa sangat patriarkal dan laki-laki pun bisa memberikan efek feminis dan seksis; atau menunjukkan bahwa pengalaman perempuan adalah milik perempuan namun seorang laki-laki sebenarnya dapat menginternalisasikan suara perempuan dan bersimpati terhadap perempuan.

Perempuan menulis sendiri sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan penilaian, mempertanyakan dan menolak pola pikir laki-laki yang selama ini ditanamkan kepada perempuan. Selain itu juga merupakan keberanian dan kekuatan untuk mengambil pilihan sehingga mengubah kritik sastra dari ‘dialog yang tertutup’ menjadi ‘dialog yang aktif’. Menjadi kritisi feminis berarti mampu membaca dengan kesadaran atas dominasi ideologi patriarki dan wacana laki-laki, dan dengan kesadaran serta keinginan untuk mendobrak dominasi tersebut.

Berikut adalah tip – tip pertanyaan yang dapat digunakan untuk melakukan analisis:

1. Dari siapa kita melihat dan merasakan perjalanan kesadaran suatu subyek? NH. Dini dan Nawal El Saadawi adalah dua dari sekian penulis perempuan yang menggunakan sudut pandang ‘aku’. Sudut pandang sendiri adalah sebuah posisi yang mengatur alur informasi, pengetahuan sekaligus menandai kekuasaan. Sudut pandang ‘sku’ berarti pengarang menandai dirinya sendiri sebagai penutur dan sebagai ‘subyek’ dan lawan bicaranya sebagai ‘anda-kamu’. Hal ini menandai hubungan suatu subyek dengan dunia.

2. Apakah subyek berbicara? Subyek yang berbicara adalah subyek yang sudah berhasil melakukan pendobrakan dominasi laki-laki dan memperoleh kesadaran atas tekanan atau dominasi yang dihadapinya.

3. Bentuk kalimat apa yang dipergunakan Subyek? Subyek baru dikatakan mampu membentuk identitas diri dan menamai realitas yang selama ini didominasi oleh laki-laki jika dia menggunakan kalimat-kalimat yang aktif. Hal ini disebabkan karena perempuan dan realitasnya dihilangkan dengan kalimat pasif yang selama ini dianggap lebih obyektif dan lebih rasional. Berikut cuplikan dari Saman karya Ayu Utami yang memamerkan subyek ‘aku’ dalam kalimat aktif yang dominan,

Agar aku dapat pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati. Yang tak menghormati aku, tak pernah menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka…… (Utami, 2000, h. 137)

4. Bagaimana pilihan kata/diksi dalam teks? Pilihan kata dapat bertindak sebagai penanda posisi politis penulisnya. Misalnya, kata ‘perempuan’ lebih bermakna baik daripada kata ‘wanita’ karena memang keduanya pernah mempunyai makna yang baik dan makna yang buruk. Atau istilah dalam bahasa Inggris ‘chairman’ harus terus menerus ‘diganggu’ untuk diganti dengan kata-kata atau istilah “chairperson” karena istilah ‘chairman’ akan segera meminggirkan perempuan yang berkemampuan untuk menjadi pemimpin. Bentuk lain dari analisis yang berkenaan dengan diksi adalah seperti yang ditunjukkan oleh Sinta Situmorang mengenai teks lagu-lagu penyanyi feminis dalam Jurnal Perempuan edisi xiii/2000, hal. 22-25. Ia melihat diksi yang dipergunakan Alanis Morisette adalah ‘ganas’ yang dipergunakan untuk melakukan dekonstruksi terhadap mitos perempuan yang lemah dan mendayu-dayu. Pendekatan yang lain melihat bahwa realitas laki-laki yang ‘keras’ harus dilawan dengan bahasa yang ‘tidak keras’. Penulis yang berpendapat seperti ini menghasilkan diksi yang feminin. Diksi feminin juga berpotensi untuk membongkar wacana laki-laki dengan memaksakan wacana perempuan ke dalam struktur bahasa yang dikuasai laki-laki. Ayu Utami memberikan banyak contoh dalam Saman

Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh. Seperti Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang pada tubuh (hal. 115)

Atau,

Aku melihat temanku Laila, lewat jendela. Ia muncul dari balik kabut debu yang ditiup angin jalanan. Ia menyembul dari bawah trotoar. Kepalanya lebih dahulu, terakhir kakinya, seperti bayi dilahirkan, dari stasiun Metro bawah tanah (h116).

5. Apakah teks mempertanyakan relasi jender yang timpang? Hal ini merupakan salah satu elemen yang penting di dalam kajian feminis. Suatu teks dapat saja tidak terlihat untuk memihak perempuan atau laki-laki. Tetapi dengan membacanya lebih teliti kita akan menemukan ada atau tidaknya resistensi terhadap dominasi tatanan simbolik/wacana laki-laki. Sebagai contoh,

“when I asked, what walks on four legs in the morning, two at noon and three in the evening, You answered, Man. You didn’t say anything about woman.” When you say Man,’ said Oedipus, “you include women too. Everyone knows that” She said,”That’s what you think” (Muriel Rukeyzer, “Myth”)

Di atas merupakan sebuah potongan puisi yang didalamnya mengungkap tentang perempuan yang mempertanyakan pelakuan bahasa terhadap perempuan. Laki-laki tidak dapat mewakili perempuan karena laki-laki bukan perempuan.

6. Bagaimana seksualitas perempuan ditampilkan? Kate Millet dalam bukunya Sexual Politics telah menelaah karya sastra untuk melihat bagaimana seksualitas perempuan ditampilkan oleh penulis laki-laki. Akhirnya Dia mempunyai kesimpulan bahwa seksualitas perempuan dalam lima karya penulis laki-laki ditampilkan sebagai korban atau obyek. Misalnya masalah keperawanan yang sudah diperspektifkan sebagai sesuatu yang agung dan suci. Dia sudah terlanjur dicetak untuk kepentingan dan keuntungan laki-laki. Bagi laki-laki kesuksesan “memerawani” adalah bukti dari kejantanannya. Bagi perempuan, hubungan seksual pertama adalah kesakitan yang sangat dan persembahan keperawanan yang sekali hilang, ia hilang selamanya. Lihat bagaimana NH Dini dengan gagah berani menceritakan kesakitannya:

Lembut dia raba bagian-bagian diriku yang paling intim. Suaranya tenang dan perlahan mengajariku apa dan bagaimana. Dan akhirnya ketika kejantanannya merobek keperawananku, bibirnya setengah membungkam mulutku untuk meredam keluhan rasa sakit yang menusuk bagian bawah perutku. Selagi aku terbaring kesakitan, Yves bangkit mengambil handuk, dia basahi. Darah merah segar diatas seprei dia serap ke kain itu… Dua handuk sudah berganti warna karena kena noda darahku… Manakah kenikmatan yang sering diceritakan rekan atau teman maupun yang kerap kali kubaca di buku-buku? Ketika Yves menciumku, membelaiku aku merasa kepuasan tersendiri…Tetapi begitu Yves menyelinap kedalaman diriku, sama sekali tidak ada nikmat ataupun istimewanya….

Penulis perempuan yang berperspektif feminis dapat meresistensi konsep keperawanan yang ditinggi-tinggikan dengan memperlakukannya sebagai sesuatu yang biasa saja atau tidak ada artinya sama sekali. Beberapa teks sastra dapat ditemukan tokoh-tokoh perempuan yang merenggut sendiri keperawanannya, atau menyerahkannya atas pilihan sendiri dengan keyakinan bahwa ia adalah manusia mandiri yang mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya tanpa diembel-embeli keharusan untuk menjadi perempuan baik-baik sesuai dengan norma, seperti misalnya Pada sebuah kapal. Perempuan-perempuan Ayu Utami dalam Saman juga dapat dikategorikan sebagai perempuan yang bebas dan mandiri. Salah satu karakter memperlakukan keperawanan dengan cara yang abstrak,

…aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kukasihi. Malam terakhir itu… aku berjingkat ke pawon, dan kurenggut ia dengan sendok tek. Ternyata cuma sarang laba-laba merah. Kusimpan ia dalam kotak perak Jepara dan kuberikan pada anjing….

Yang menarik, penulis laki-laki seperti Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk juga memberikan keleluasaan yang sama kepada Srintil untuk memilih (dari yang terburuk) kepada siapa dia akan menyerahkan keperawanannya. Srintil, alih-alih keperawanannya yang sudah tergadai kepada dua penawar tertinggi, malah lari dan menyerahkannya kepada Rasus, teman mainnya. Walau demikian seksualitas perempuan bukan hanya kesakitan semata. Judith Burnley dalam The Wife menceritakan seorang perempuan yang mempunyai dua suami yang memenuhi kebutuhannya dengan cara yang berbeda. Sarah sang istri yang tergolong “setia” kepada suaminya sampai suatu hari ia menghadapi seorang laki-laki yang begitu menarik sehingga ia yang selama ini tidak pernah mempertanyakan kekukuhannya untuk setia kepada suaminya, bertanya kepada dirinya…. “suppossing, for once, I don’t want to say no?”….. Seksualitas perempuan juga berarti kemampuan untuk menikmati seks poligami yang selama ini didominasi laki-laki.

I found I could cope quite well with the sex angle. I mean making love to both in the same day. I thought I would be bothered about it, but I wasn’t. As long as I manage to get home and bath, in between. You could say the moral thing had reduce itself to the washing bit with me…..

Perilaku poligami perempuan biasa digambarkan dengan diikuti perasaan bersalah, tetapi para penulis yang dapat dikategorikan ‘feminis’ biasanya kemudian untuk menyingkirkan perasaan bersalah itu dengan menggantikannya dengan kepuasaan. Kepuasaan yang muncul karena telah mengambil keputusan sebagai perempuan dewasa tanpa menghubungkan kepuasannya itu dengan kepuasaan yang selama ini dipersepsi oleh laki-laki atau aturan yang diluar dirinya. Seperti dalam Saman.

Setelah itu, Sayang, kita tertidur. Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab kita tidak berdosa. Meskipun saya tak lagi perawan

Hal yang lebih jauh lagi coba diungkapkan oleh penulis perempuan adalah mendekonstruksi posisi perempuan sebagai penerima pasif kegiatan seks menjadi bagian yang aktif yang menggelegak dengan nafsu dan mengajari laki-laki bagaimana cara melakukan hubungan seks. Seperti dalam kutipan novel Saman berikut.

Saman, Tahukah kamu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.

Yasmin, Ajarilah aku. Perkosalah aku.

Berikut ada beberapa pertanyaan mendasar seputar analisis teks berperspektif feminis:

Kapan suatu tulisan/pendekatan dapat disebut feminis?
Tulisan dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika ia mempertanyakan relasi jender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Apakah teks tentang perempuan adalah teks feminis?
Tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Ilustrasi lain yang dapat dilihat secara mudah dari layar televisi. Misalnya, sinetron Si Doel Anak Betawi. Sinetron ini menempatkan dua perempuan dalam cinta segitiga yang berpusat kepada si Doel. Si Doel terlihat sangat seksis karena pilihan yang diberikan penulis naskah kepada kedua perempuan itu sangat tidak adil. Si Doel memang tentang laki-laki, perempuan dalam sinetron ini hanya ekses yang dipergunakan sebaik-baiknya untuk kesenangan laki-laki.

Apakah analisis tentang penulis perempuan adalah analisis feminis?
Analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi jender dan perombakan tatanan sosial.

Apakah analisis tentang penulis laki-laki bukan analisis feminis?
Feminisme bukanlah monopoli perempuan, seperti patriarki bukanlah monopoli laki-laki. Meneliti penulis laki-laki dan mencoba menganalisis relasi jender dan mempertanyakan tatanan sosial yang direfleksikan atau tidak direfleksikan atau dimis-refleksikan di dalamnya adalah analisis yang bersifat feminis sepanjang analasis itu diarahkan kepada tatanan relasi kekuatan antara laki-laki dan perempuan yang lebih seimbang.

Apakah penulis laki-laki dapat menulis teks feminis?
Pada prakteknya dapat ditemui perempuan yang patriarkal dan laki-laki yang feminis. Penulis laki-laki dapat saja menulis teks yang berperspektif feminis dan menciptakan subyek perempuan yang tidak bisu, yang tampak, dan merupakan subyek yang setara. Pramoedya Ananta Toer, misalnya menciptakan sosok perempuan dalam Gadis Pantai yang merupakan sosok yang ‘dihadiahkan’ kepada laki-laki priyayi, untuk akhirnya diceraikan sebagai sampah belaka. Pada akhirnya Gadis Pantai memperoleh kesadaran tentang opresi yang dialaminya dengan jalan yang sangat menyakitkan dan memperoleh kekuatan untuk melanjutkan hidup sebagai individu yang mandiri. Pada akhirnya yang terpenting dari keseluruhan tulisan ini adalah menulis sebuah teks yang berperspektif feminis bukanlah berbicara mengenai moral (yang sengaja dibangun dengan wacana sosial yang berperspektif patriarki) namun lebih pada berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginannya, kebutuhannya, haknya, sehingga ia mampu menjadi subyek dalam kehidupannya.(NN)

***

(Disadur dari: “Pendekatan-pendekatan analitis tekstual feminis” oleh Aquarini Priyatna)

1 COMMENT

  1. Dalam perdebatan di tingkat teori, pikiran2 kontemporer belakangan ini mengganggap bahwa perempuan sudah dianggap tak cukup sebagai kategori analisis. Menggunakan perempuan sebagai kategori analisis tidak akan memberikan ruang bagi identitas lainnya. Perempuan yang mana? Tua atau muda? hitam atau putih? jongos atau ndoro? Semua identitas-identitas ini tak bisa direduksi sedemikian rupa dalam satu kemasan: perempuan. Feminisme sendiri sudah banyak dikritik lantaran jatuh ke dalam heteronormativitas, dualisme (femininitas dan maskulinitas) dan, yang paling menyakitkan, imperialis. Ini terjadi lantaran gerakan feminis sendiri mengorientasikan diri sebagai anti-tesis dari sistem patriarki. Tapi kenyataannya, untuk apa membuat anti-tesis dari sesuatu yang tak mapan. Maskulinitas sendiri berada dalam tahap krisis–banyak laki2 pergi ke gym, tumbuhnya budaya metroseksual, dsb, adalah salah satu contoh bagaimana maskulinitas itu sendiri mengalami masalah dalam menampilkan dirinya sebagai yang dominan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here