Jaman orde baru seringkali disebut sebagai jaman pembangunan. Berbagai fasilitas yang disebut sebagai bentuk ‘pelayanan bagi masyarakat’ agar kehidupan masyarakat lebih “nyaman” di lakukan di berbagai daerah. Atas nama pembangunan yang berkesinambungan demi warga negara Indonesia, dilaksanakan lewat berbagai program pembangunan. Ada program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Swasembada Pangan, Keluarga Berencana, Transmigrasi dan sebagainya.
Secara fisik kita melihat pembangunan jalan layang, gedung mewah, hotel, mal di kota-kota atau waduk untuk pedesaan. Tapi kita tidak pernah tahu untuk mewujudkan pembangunan seperti itu banyak masyarakat yang menjadi korban. Mereka di gusur dari tempat tinggal mereka, tanah mereka yang sudah diwarisi secara turun temurun, hasil ladang atau sawah garapan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketika program Repelita dijalankan, terdapat usaha-usaha untuk merubah masyarakat Indonesia yang agraris menjadi industrialis, dengan didirikannya pabrik-pabrik. Pabrik yang didirikan dengan modal pinjaman atau bantuan luar, menggantikan sawah dan ladang para penduduk. Akhirnya tidak ada lahan yang dapat dikerjakan dan mereka pun berpindah menuju ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Beramai-ramai mereka berurbanisasi. Beberapa tempat penduduk juga mengalami penggusuran dengan dibangunnya waduk atau bangunan lain dan pemerintah menawarkan program transmigrasi sebagai solusinya. Tanpa adanya jajak kebutuhan terhadap kebutuhan penduduk, pemerintah dengan seenaknya melakukan pemindahan penduduk ke berbagai tempat. Misalnya penduduk Jawa yang dipindahkan ke Sumatera atau Kalimantan. Kemudian terjadi culture shock pada penduduk karena mengalami perbedaan budaya, kebiasaan atau bahkan bahasa.
Program lain yang didengungkan pemerintah adalah swasembada pangan, dimana setiap daerah diwajibkan memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan menggarap lahan yang dimiliki, sementara lahan tersebut sudah banyak yang diambil alih pemilik modal untuk dijadikan pabrik atau yang lainnya. Sebagian tempat yang tidak terbiasa dengan makanan pokok nasi, di ‘sarankan’ untuk menanam padi. Adanya slogan nasi sebagai makanan pokok rakyat Indonesia sering sekali ditayangkan lewat media apapun.
Pembangunan yang terjadi selama ini, ternyata kurang berperspektif pada perempuan. Padahal perempuanlah sebagai pengguna hasil pembangunan terbanyak dan juga terkena dampaknya. Perempuan lebih sering dianggap sebagai objek daripada subjek pembangunan. Padahal, pembangunan yang dilakukan di seluruh bidang, akan selalu berdampak pada perempuan. Misalnya di bidang ekonomi, pembangunan pabrik-pabrik, akan menyerap banyak tenaga kerja perempuan, apalagi ketika terjadi krisis ekonomi, yang mendorong perempuan berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Namun, fasilitas, keamanan dan kebijakan yang berlaku pada pabrik, banyak yang sama sekali tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Upah mereka lebih rendah atau tidak adanya jaminan keselamatan dari tempat mereka bekerja ketika mereka harus lembur. Kekerasan seksual rentan terjadi pada mereka. Dan banyak di antara mereka dipalsukan umurnya agar dapat bekerja. Pemalsuan umur ini sesungguhnya merupakan bentuk dari eksploitasi terhadap anak.
Menurut data ILO pada tahun 2007, terdapat 1,1 juta pekerja anak-anak yang dibawah umur 14 tahun, dan 40% nya adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 40.000 – 70.000 merupakan korban kekerasan seksual (Jakarta Post, 12 Juni 2009). Sedangkan menurut data dari Komnas Perlindungan Anak, setiap bulan, sekitar 15 anak remaja perempuan menjadi korban kekerasan berupa perkosaan di Jakarta. Data KPAI menunjukkan adanya 788 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2006. Sedangkan berdasarkan survey Soseknas tahun 2006, 3,07% perempuan dan 3,02% anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan (Kompas, 29 Januari 2009).
Kemudian, perempuan juga rentan dalam masalah kekerasan. Dalam tindakan kekerasan yang terjadi pada masa pembangunan, perempuan-lah yang paling sering terkena dampaknya dan menjadi korban kekerasan. Baik tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya, lingkungannya maupun Negara. Berdasarkan data dari LBH-Apik sampai Juni 2009, terdapat kurang lebih 300 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke lembaga ini. Sedangkan menurut data dari PKT (Pusat Krisis Terpadu) RSCM, telah tertangani sebanyak 2.072 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2000 – 2008 (Kompas, 19 Juni 2009).
Pada bidang politik, sedikit sekali perempuan yang bisa menjadi pimpinan dari partai politik. Apabila mereka menjadi pemimpin lebih banyak dikarenakan koneksi kekuasaan yang sudah terbangun sebelumnya tidak dilihat dari kemampuan mereka untuk memimpin atau mengorganisir. Anggota badan legislatif sekarang ini hanya berjumlah 11,8% atau sekitar 65 orang dari 550 orang anggota legislatif yang terpilih (Kompas, 27 Januari 2009).
Perempuan sebagai subyek dalam pembangunan semestinya bukan hanya sebatas wacana, mengingat isu kesetaraan gender merupakan salah satu isu yang ada dalam konsep pembangunan Indonesia di masa reformasi ini. Bahwa partisipasi perempuan seharusnya di dorong menjadi lebih aktif dalam perencanaan, proses dan hasil pembangunan, bukan sekedar objek pembangunan. Dengan adanya kementrian Pemberdayaan Perempuan, sebetulnya merupakan contoh nyata itikad baik pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam setiap program pemerintah. Tapi pertanyaannya, sudah mampukah perempuan Indonesia berperan aktif dan mengawal program pemerintah secara terus menerus, sementara tindakan kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi, dan perspektif warganegara Indonesia yang masih meminggirkan perempuan tanpa sengaja dan di sengaja masih terjadi? Dengan mengatasnamakan agama dan tradisi, masyarakat Indonesia kemudian masih terus menyalahkan, mengabaikan dan meminggirkan perempuan ke dalam ranah privat. Artinya, kesetaraan gender akan terjadi apabila bukan hanya itikad baik saja tapi juga perbuatan nyata dari semua pihak yang berperan dalam kehidupan perempuan, suami, pacar, sahabat, anak, orangtua, keluarga besar, tetangga, lingkungan dan Negara bahwa perempuan mampu berperan aktif dalam pembangunan semua bidang serta sebagai subyek sekaligus objek pembangunan.
Diyah Wara Restiyati, Penulis dan Pemerhati Masalah Sosial-Ekologi