Mungkin sebagian besar orang di Jakarta masih ingat dengan tontonan salah satu televisi swasta berjudul ‘Si DOEL’. Gambaran seorang anak yang ingin berusaha maju, lebih baik daripada orangtuanya. Bukan sekedar mewujudkan keinginan orangtua, namun pula membuktikan bahwa dirinya sendiri mampu mengangkat harkat dan derajat dimata keluarga maupun masyarakat setempat. Kini, perhatian masyarakat digugah dengan tontonan anak lainnya, cukup banyak, salah satunya ‘Eneng’. Tokoh anak yang umurnya jauh berbeda dengan ‘Si Doel’, namun disajikan oleh stasiun televisi swasta yang sama. Beda waktu, jelas. Lalu, masih ada banyak lagi perbedaan. Sekedar menegaskan, tulisan ini tidak hendak mengulas acara tersebut secara mendalam. Keduanya adalah pengantar tulisan ini.
Menilai Keberhasilan Anak Didik
‘Si Doel’ menghenyakkan penonton lewat usahanya meraih cita-cita yang tinggi melalui bangku institusi pendidikan, hingga pada penempatan kerja seperti yang diinginkan dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Penonton diajak untuk menilai kepribadian tokoh lewat kerangka tipologis; yaitu penjelasan parsial berupa sebuah kualitas, entah prilaku, sikap, atau reaksi, dan mengenakannya sebagai alasan pembenaran sebuah tindakan atau pemikiran. Begitu pun dengan tokoh ‘Eneng’. Coba perhatikan lagu pembukanya: ada tukang pisang goreng, jualan sambil dipikul. Ada teman namanya Eneng, baik hati suka bergaul.
‘Si Doel’ dan ‘Eneng’ sama-sama dibuat sebagai tokoh anak yang tidak memiliki cacat di bangku sekolah. Ini tepat seperti tujuan banyak sekolah yang menjamur dari tingkat kelompok bermain (pre-school), hingga bangku kuliah. Institusi pendidikan mengasah kognitif anak melalui kecakapan akademik. Lalu, bagaimana dengan aspek lain seperti aspek emosi, sosial, fisik, dan moral? Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif, fisik, dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Seperti diungkapkan oleh Dewi Utama Faizah yang bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, program director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation. Padahal, diakuinya pula bahwa pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata!
Pendidikan Mengenali Jiwa?
Tujuan pendidikan lewat institusi pendidikan memang diatur sendiri oleh pihak yang berwenang di bangku pemerintahan beserta institusi yang bersangkutan. Namun beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan, diantaranya, pertama, pendidikan bertujuan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan sosial dalam masyarakat kita. Yang tidak lain adalah mempersiapkan anak agar dapat dengan lancar atau tanpa masalah memasuki kehidupan sosial orang-orang dewasa. Mengacu pada dinamika dan kompleksitas masyarakat, tujuan ini dimaksudkan untuk membawa, mendidik, membesarkan dan mempersiapkan anak bagi pengembangan kompetensi sebagai orang dewasa, sebagaimana dituntutkan dalam masyarakat. Dari tujuan ini pendidikan diharapkan bersifat integratif bagi tiap individu ketika memasuki kehidupan sosial.
Kembali pada tokoh-tokoh tadi, ‘Doel’ digambarkan tidak kenal lelah dalam usaha menyelesaikan pendidikan, juga tidak membanting stir ketika berhadapan dengan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan latar belakang pendidikan tekniknya. Sedang ‘Eneng’ selalu ditolong ‘kaus kaki ajaib’ untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Tidak ditunjukkan bagaimana ‘Eneng’ mengupayakan bakat khususnya kala berhadapan dengan permasalahan yang timbul. Tidak pula terlihat keluarga, orang-orang terdekat, atau campur tangan pendidik dalam mendorong pengolahan bakat. Terkait tujuan pendidikan yang kedua, pendidikan tidak dapat melepaskan dirinya dari konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Serta, melibatkan matriks lain yang lebih bersifat personal-individual, seperti daya-daya psikologis, kecenderungan, bakat-bakat, talenta, keinginan, kepercayaan, keyakinan, dll. Bicara soal metode, ‘Doel’ dalam salah satu tayangannya sempat menunjukkan usaha membaca buku sebagai bagian capacity building. Kemudian, bakat khususnya memperbaiki mesin bemo membantunya mengasah ketrampilan dibidang mesin. Bakat dan keinginannya ini turut disemangati oleh segenap anggota keluarga dan teman-temannya. Beda dengan ‘Eneng’. Gambaran anak sekarang yang lebih banyak dibantu secara terus-menerus oleh kemudahan-kemudahan alat seperti ‘kaus kaki ajaib’, teknologi canggih, kursus-kursus dengan janji-janji demi meraih kemapanan di masa depan, hingga bahan-bahan pelajaran yang menyita ekstra perhatian, waktu, tenaga, dan sudah barang tentu uang. Menilik paradigma Sokrates yang terkenal ‘kenalilah dirimu sendiri’ berarti tidak hanya mengetahui siapa nama kita sendiri, lebih pada ‘memelihara jiwa’ kita. Karena melalui jiwa, kita memiliki kegiatan berpikir, bertindak, dan menegaskan nilai-nilai moral dalam hidup.
Tujuan Pendidikan yang Realistis
Kesamaan tokoh ‘Doel’ dan ‘Eneng’ dalam hubungan pendidikan dapat dicermati lewat filsafat pendidikan skolastik yang lebih menyukai gagasan idealis dengan mengatakan bahwa: tujuan pendidikan semestinya ditentukan dari luar, sehingga mampu menjadi idealisme atau cita-cita yang ingin diraih. Para pengambil kebijakan memandang sulitnya menemukan dan menentukan pedoman pendidikan bila terus mengikuti tren masyarakat yang berubah-ubah. Sebab, arus pengalaman manusia yang berubah begitu cepatnya akan tidak terlalu memuaskan untuk dijadikan pedoman/patokan keberhasilan tujuan pendidikan. Mari tarik kembali ingatan kita kala ‘Doel’ dan ‘Eneng’ tidak pernah mengatasi persoalan-persoalan mereka dengan metode, teori ataupun pengalaman yang didapat di bangku sekolah. Tantangan persoalan kehidupan tetap membayangi tiap langkah, tanpa pernah menarik mereka untuk membuat jembatan keledai, agar tidak mengalami kesulitan yang sama dalam menyikapi persoalan dengan tema yang sama terus-menerus.
Seandainya penentuan tujuan pendidikan mengacu pada realisasi diri manusia secara penuh, maka sudah pasti pendidikan akan lebih terkait dengan tugas-tugas untuk meneliti potensi-potensi diri manusia, dan membantu manusia merealisasikan potensi diri tersebut secara utuh. Misalnya dengan metode bermain teater, bernyanyi, mendongeng, membaca puisi, membuat cerita, dll. Rasanya, kedua tokoh dalam tulisan ini tidak pernah terlihat menunjukkan kecerdasan kreativitas yang didapat dari pengetahuan yang terbina dengan baik dengan melibatkan aspek kognitif dan emosi. Menurut Jose Rizal Manua, imajinasi yang muncul akibat aksi-reaksi kemudian menariknya hingga kontemplasi berupa renungan adalah kecerdasan halus. Begitu pun dengan mendongeng. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa dongeng dapat mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan ketahanan mental anak. Dongeng bisa berpengaruh pada perkembangan fisik, intelektual, bahkan mental anak. Mirip tindakan memperdengarkan musik klasik yang lebih dulu populer di masyarakat, mendongeng memiliki keuntungan psikologis, fisik, dan mental anak. Secara psikologis, anak menerima aliran sinyal yang mirip gelombang radio, dengan ‘ketulusan hati’ sebagai transmisinya. Diterima oleh simpul-simpul saraf yang selanjutnya aktif mendorong kerja otak menjadi jauh lebih mengaktifkan kerja indera pendengaran dan penglihatan. Hasilnya, perkembangan fisik terlihat dalam kecerdasan anak -terutama di masa balita yang sedang menyerap banyak hal dari telinga dan mata- seperti cepat tengkurap, merangkak, dsb. Ketika semakin beranjak umur, stimulus-stimulus yang diajarkan akan mudah diserap sehingga anak dapat lebih mudah memahami sesuatu. Dan pada perkembangan mental, anak menjadi pribadi yang lebih peka, hingga seiring perkembangan usianya kepekaan mendukung anak memiliki sifat-sifat positif seperti rasa ingin tahu, kritis, percaya diri, dan kemauan eksploratif.
Masih banyak hal lain yang dapat diuraikan dalam tema tulisan ini sebenarnya, namun penulis memilih melanjutkannya dalam judul berbeda. Penting untuk menutup bagian tulisan pertama mengenai tujuan pendidikan; pendekatan kontekstualisasi tujuan pendidikan yang dibarengi dengan pemilahan metode bagi anak menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak berlaku secara universal. Tidak dapat dideduksi dari gagasan ideal tentang tujuan pendidikan. Melainkan merupakan kontekstualisasi kinerja pendidikan sesuai perkembangan zaman, dan layak bagi peningkatan kualitas kehidupan sesuai perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Terutama pendidikan yang diarahkan pada pengembangan karakter anak yang berkepribadian.
Sumber:
1. ANAK-ANAK KARBITAN, Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.
2. PENDIDIKAN KARAKTER-STRATEGI MENDIDIK ANAK di ZAMAN GLOBAL, Doni Koesoema A.
3. FAMILY WISDOM, Robin Sharma.
4. Majalah BASIS edisi Paulo Freire, No.01-02, tahun ke-50, Januari-Februari 2001
5. “Teater Mengasah Kecerdasan Anak”, Jose Rizal Manua, INTISARI Desember 2006 No.521 Thn. XLIII hal.12-16.
6. “Membentuk Karakter lewat Dongeng”, T. Tjahjo Widyasmoro, INTISARI Desember 2006, N0.521 Thn XLIII hal.112-118.
7. Pasal 27 dan 29 Konvensi Hak Anak
Artha Intan Mandiri, anggota sidang redaksi Sekitarkita dan penggiat homeschooling