Tragedi Mei dan Tak Perlunya Rasa Maaf

0
696

Apa gunanya mengingat tragedi Mei’98? Bila hal itu begitu pahit? Mengapa kita terus menoleh ke belakang?

Namun, hidup adalah sesuatu yang aneh. Kita bergerak ke depan, tetapi hanya dapat memandang ke belakang. Kepada kejadian di masa lalu, karena apa yang ada di masa depan tak pernah diketahui dengan pasti. Hidup terkadang seperti menonton televisi: adegan-adegan yang berlangsung, menjadi lebih nyata setelah lewat. Karena itulah, hidup adalah tumpukan kenangan. Kenangan yang begitu pahit seringkali membentuk lapisan yang begitu tebal dan dalam. Sebuah identitas yang luka.

Tragedi yang tertoreh bulan Mei 1998, tidak lepas dari kekerasan lain – berapa perempuan yang diperkosa di Aceh, Timor Leste dan Papua? Inilah yang terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda: para perempuan yang diperkosa oleh 3-7 lelaki dengan brutal dan seringkali disertai dengan mutilasi organ reproduksi mereka. Pelakunya dapat lolos dengan mudah. Sebuah motif yang sama. Dan berapa manusia yang telah disiksa, dibunuh dan diculik tanpa bekas?

Setelah kejadian yang membawa trauma, seringkali para korban mengalami gangguan ingatan, karena begitu terpukulnya. Inilah yang dipergunakan oleh para pejabat yang tersangkut dengan kejadian ini, ataupun bersangkutan dengan kepentingan-kepentingan politik lainnya. Politik Amnesia, yang namanya sempat dipopulerkan oleh Terry Eagleton, menjadi strategi ampuh. Yang telah digunakan secara luas dimana pemerintah ingin menutupi jejak kriminal yang dilakukannya, seperti juga yang terjadi di Amerika Serikat ketika pemerintahan George Bush mentah-mentahan menolak adanya penyiksaan yang terjadi di Kamp tahanan Guantanamo.

Bukankah hal yang sama juga terjadi di Indonesia? Dan saat ini pemerintah sama sekali tidak menunjukkan niat yang sungguh-sungguh untuk mengakui adanya berbagai tragedi ini? Politik Amnesia tidak akan menyembuhkan, namun justru memelihara luka yang dengan bertambahnya waktu, akan menjadi semakin parah. Telah terbukti dalam beberapa penelitian Kedokteran bahwa seorang yang memendam trauma tidak saja mengalami gangguan rohani namun juga ragawi – mereka biasanya mengalami penyusutan volume otak, gangguan peredaran darah dan bahkan nafas. Bangsa yang memendam trauma akan menjadi Bangsa yang sakit.

Namun para pejabat yang seharusnya mengemban tugas demi kebaikan Bangsa ini terlalu malas untuk memikirkan apakah bangsa ini akan lebih sakit nantinya. Mereka lebih memilih jalan pintas yang gampang. Bahkan bila seorang pejabat tinggi telah terbukti berbuat kriminal, seringkali yang dituntut dari rakyat adalah permintaan maaf. Bukankah ini pula yang terjadi pada Suharto, yang bertanggung jawab atas pembunuhan masal, mutilasi dan penculikan jutaan rakyat tak berdosa? Para pejabat beramai-ramai menyarankan agar rakyat memaafkan “beliau”? Juga Amien Rais sempat mendorong rakyat untuk memaafkan Suharto.

Ketika perhimpunan aktivis ’98 mencela pernyataan Amien Rais, iapun sesumbar: “Saya tantang mereka, bagaimana penyelesaian hukumnya. Kalau hukum tidak bisa, naik ke moral, jadi harus dimaafkan. Kalau misalnya bersalah, nanti kan mendapatkan mahkamah yang superagung di alam sana”. Memaafkan seseorang yang tidak sepatutnya dimaafkan bukanlah tindakan bermoral atau tanda kekerdilan jiwa. Karena memaafkan di negara Indonesia ini terkadang bukanlah bagian dari kemurahan hati, tetapi manifestasi dari ketidak-berdayaan dan ketidak adilan.

Oleh sebab itu, penulis Kenya Ngugi Wa Thiong’o menolak agama Kristen di Afrika, karena kemurah hatian dan rasa maaf yang diajarkan agama ini pada rakyat Kenya adalah salah satu cara untuk menjajah mereka. Dalam agama Kristen yang disebarkan misionaris Eropa, rakyat Kenya diharuskan untuk melupakan tingkah kolonialis Inggris dan dengan suka rela tunduk pada kekuasaan penindasnya. Inilah kekejaman rasa maaf: dia dapat menjadi penjajah pikiran. Rasa maaf yang tidak proporsional dapat membuat para kriminal bebas melakukan hal semena-mena, sedangkan para korban dan mangsa hanya berdiam diri tanpa dapat melakukan pembelaan apa-apa. Rasa maaf dapat dengan mudah menjelma menjadi kepasrahan atas kekuatan yang tidak adil.

Rakyat Indonesia sudah penuh dengan rasa maaf. Saya pernah menyebut dalam salah satu seminar saya bahwa warisan menyolok yang dimiliki bangsa Indonesia bukanlah gamelan, wayang kulit atau kesenian tradisi lainnya, namun kemurahan hati dan rasa maaf pada pembesar mereka – para pejabat yang telah bertahun-tahun menghisap kekayaan rakyatnya. Rakyat Indonesia tidak lagi perlu diajari pentingnya memaafkan pejabat atau bekas pejabat.

Memang, memaafkan itu penting. Namun, yang amat sangat jauh lebih penting adalah memberikan maaf yang pantas. Karena tidak seharusnya kita memaafkan kriminal besar yang masih kebal hukum.
Sebelum itu, para pejabat yang terhormat, paling tidak mari kita akui segala kebiadaban yang telah terjadi pada rakyat jelata di Indonesia. Dan tolong jangan lagi “memerintah” rakyat untuk memaafkan. Karena anda-anda sama sekali tidak berhak.

Penulis: Soe Tjen Matching

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here