Pada konferensi perubahan iklim di Bali tahun 2007, laut di sebut-sebut salah satu wilayah yang berpotensi sebagai penyerap gas karbon terbesar selain wilayah hutan. Hal tersebut terjadi karena di kedalaman laut, terdapat banyak hewan dan tumbuhan, yang juga membutuhkan gas karbon untuk proses fotosintesis, seperti tumbuhan di daratan atau di hutan.
Kemudian, sedimen di laut terutama di laut dalam, ternyata dapat menyediakan tempat yang permanen dan tak terbatas, untuk menyimpan emisi gas. Sekitar seperempat CO2 yang dihasilkan oleh manusia dari hasil pembakaran bahan bakar fosil diserap dan disimpan di lautan. Dengan adanya potensi laut sebagai penyerab gas karbon maka, Indonesia berpeluang mengurangi emisi karbon nya dengan memanfaatkan luas laut yang dimiliki.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi laut-laut besar seperti Samudera Hindia atau Laut Jawa. Dengan sekitar 16.777 pulau, yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km2, menjadikan Indonesia memiliki kekayaan laut yang melimpah. Tidak hanya berbagai jenis ikan, atau binatang laut, namun juga mutiara dan minyak. Dengan adanya kekayaan laut yang besar, Indonesia kemudian menjadi salah satu negara pengekspor hasil laut.
Namun sekarang ini laut Indonesia semakin lama semakin memprihatinkan keadaannya. Berbagai kerusakan laut makin banyak ditemukan. Terdapat terumbu karang yang rusak di berbagai daerah akibat pengambilan ikan dengan menggunakan pukat harimau atau bom, atau karena pembukaan tambak udang dan lainnya. Pencemaran laut pun terjadi. Limbah industri dan rumahtangga, khususnya limbah pabrik (tailing), rata-rata bermuara ke laut. Seperti yang terjadi di dua teluk di Maluku Utara yakni Teluk Kao di Kabupaten Halmahera Utara dan Teluk Buli di Kabupaten Halmahera Timur (Berita Antara, 27 Maret 2007) atau kasus yang terkenal yaitu pencemaran tailing di Teluk Buyat, Sulawesi.
Kasus lainnya yaitu adanya sedimentasi di wilayah Segara Anakan, Jawa, akibat pembuangan sampah dan limbah terus menerus dari sungai. Seperti juga yang ditemukan di Teluk Jakarta, terlihat banyaknya sampah menggunung di wilayah tersebut, membuat mati hutan bakau, hewan dan tumbuhan yang ada di dalam teluk tersebut. Meskipun saat ini masih banyak hasil laut terutama ikan, yang masih dapat diambil, namun tidak mungkin pada satu saat nanti hasil laut akan sulit apabila kerusakan lingkungan terus terjadi.
Kerusakan hutan bakau, telah menghancurkan habitat liar para penghuni laut dan merusakkan perlindungan alami suatu pulau terhadap angin yang kuat, gelombang yang dibangkitkan oleh angin (siklon atau badai), dan juga gelombang tsunami. Akibatnya ketika suatu pulau tertimpa tsunami, seperti yang terjadi di Aceh, maka dengan mudahnya tsunami akan menggerus pulau dan tidak dapat terhindarkan apabila air laut langsung masuk kedalam pulau. Dalam keadaan tidak ada tsunami pun, ketika permukaan air laut naik, maka erosi akan mudah terjadi di daerah pesisir, tanpa adanya akar tanaman bakau yang berfungsi menahan pasir dan lumpur di daerah tersebut. Salah satu bencana yang terjadi akhir-akhir ini, akibat hilangnya hutan bakau di Teluk Jakarta yaitu banjir.
Banjir di daerah Teluk Jakarta tersebut, tidak hanya dikarenakan hilangnya hutan bakau. Salah satu penyebabnya yaitu adanya perubahan iklim, yang disebabkan semakin memanasnya suhu bumi. Menurut para ilmuwan, tahun 2005 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah dunia. Adanya pemanasan suhu bumi tersebut menyebabkan iklim bumi semakin sering berubah. Hujan menjadi semakin sering, disertai badai, namun seringkali berlangsung cepat.
Selain itu, adanya suhu bumi yang semakin meningkat membuat air laut semakin naik, karena mencairnya lapisan es di kutub. Dari hasil pemantauan di beberapa lokasi, laju kenaikan paras muka laut Indonesia mencapai 5-10 milimeter per tahun, jauh di atas perkiraan kenaikan paras muka laut global yang diperkirakan 1,5 milimeter per tahun (Kompas, 17 Desember 2009)
Adanya suhu bumi yang terus meningkat, yang diakibatkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida atau metan oleh kita, kemudian juga berdampak pada kehidupan di bawah laut seperti terumbu karang. Terumbu karang yang stress dikarenakan temperatur air laut meningkat, sinar ultar violet dan perubahan lingkungan lainnya, menjadi semakin memutih. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya makanan di terumbu karang tersebut untuk penghuni laut atau hilangnya tempat tinggal penghuni laut (25% habitat laut tinggal di terumbu karang).
Apabila terumbu karang terus memutih maka terumbu karang ini makin lama akan mati. Dan akibatnya ikan-ikan menjadi homeless, atau memilih akan melakukan migrasi besar-besaran daerah lain, terutama bagi ikan yang tidak bisa beradaptasi di wilayah yang suhunya makin menghangat. Bisa di bayangkan apabila ikan-ikan yang migrasi tersebut merupakan ikan yang menjadi bahan pangan utama dan ekspor utama bagi negara kita, maka nelayan akan kehilangan mata pencahariannya. Begitu juga orang lain yang terkait dengan perdagangan dan konsumen ikan.
Nelayan, selain juga akan kehilangan mata pencaharian mereka, juga akan kehilangan tempat tinggal mereka, apabila suhu bumi terus meningkat. Menurut FAO, kurang lebih 35 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2000 yang terlibat dalam usaha produksi perikanan (tidak termasuk didalamnya distribusi dan konservasi dimana perempuan memiliki peran yang penting) yang sebagian besar terdapat di Asia. Kurang lebih 90% hasil dari penangkapan ikan akan dikonsumsi oleh manusia.
Permukaan air laut yang terus naik, akan perlahan-lahan menenggelamkan tempat tinggal mereka, terutama nelayan yang berasal dari pulau-pulau kecil. Dan tidak hanya para nelayan, tapi juga penduduk pulau tersebut, yang bukan nelayan. Menurut para ilmuwan kelautan, hampir 60% penduduk bumi tinggal di sekitar pesisir atau pantai, dan diperkirakan pada tahun 2025, pulau-pulau berpenghuni di Indonesia akan tenggelam, apabila air laut terus meningkat.
Dan dalam waktu sepuluh tahun dari 2007 ini, 23 pulau tak berpenghuni berpotensi tenggelam. Pada tahun 2007 yang lalu, terdapat 24 pulau Indonesia yang sudah menghilang dikarenakan pemanasan bumi, penggalian pasir dan bencana alam ((Koran Seputar Indonesia, 11 Desember 2007)) . Salah satu lembaga advokasi lingkungan di Indonesia, Walhi, pada 25 Februari 2007 menyatakan apabila permukaan laut semakin meningkat 8-29 cm dari tahun 2007, maka pada 2030 akan terdapat 2000 pulau di Indonesia yang tenggelam.
Tenggelamnya pulau-pulau di Indonesia akhirnya akan menimbulkan masalah sosial baru. Pengungsi di dalam negeri (Internal Displaced Peoples/IDPs) akan banyak bermunculan. Mereka membutuhkan tempat tinggal baru untuk kelangsungan hidup mereka. Pemerintah pun harus bersiap untuk menyediakan biaya relokasi penduduk dan bantuan ekonomi bagi para IDPs ini selama mereka masih belum bisa melakukan kegiatan ekonomi untuk kelangsungan hidupnya. Tidak hanya itu, konflik sosial pun berpotensi besar untuk muncul antara IDPs atau IDPs dengan penduduk lokal wilayah pengungsian. Apalagi apabila jauh sebelum adanya IDPs telah ada kesenjangan ekonomi dan sosial di antara penduduk lokal.
Air laut yang terus meningkat pun bukan hanya masalah bagi penduduk pulau-pulau kecil. Bagi penduduk yang berpulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Jawa, garis pantai pulau akan semakin mundur, sehingga akan menenggelamkan sebagian besar daerah pesisir pulau-pulau tersebut. Akibatnya, banjir akan sering terjadi, terutama pada daerah-daerah yang berada di dataran rendah seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dsb.
Kebutuhan air bersih menjadi sulit dipenuhi karena masuknya air laut kedalam air tanah menjadi semakin sering. Air tanah pun menjadi asin dan harus diproses terlebih dahulu apabila akan digunakan untuk mandi, mencuci atau masak. Dan tentunya dengan banyaknya daerah yang tergenang air laut dan bahkan benar-benar terendam, IDPs pun kembali menjadi persoalan serius.
Kita bisa membayangkan bagaimana situasi negara apabila sebagian besar penduduknya merupakan IDPs. Semua bidang akan mengalami kekacauan. Kita masih ingat bagaimana keadaan negara banyak ketika terjadi banjir besar di Jakarta tahun 2007 dan akhir Januari 2008 ini? Banjir yang melumpuhkan hampir semua infrastruktur karena penduduk yang menggerakkan negara terjebak dalam banjir dan sebagian besar dari mereka menjadi IDPs di negaranya sendiri.
Kemudian apa yang terjadi dengan kebutuhan pangan nasional, ketika panen gagal akibat perubahan cuaca yang tidak menentu? Dan ketika banjir yang menenggelamkan sawah dan ladang di daerah pemasok pangan negara? Semua bencana yang terjadi, hanya sebagian kecil dari terus menaiknya air laut, terus terjadinya perubahan iklim dan meningkatnya suhu bumi yang disebabkan oleh emisi gas karbon dioksida, metan dan lain-lain, dari kegiatan kita sendiri.
Karena itu tugas kita bersama untuk mengurangi terjadinya perubahan iklim. Artinya, kita harus mulai bertanggungjawab dalam kegiatan kita sehari-hari dalam pelepasan gas karbondioksida atau metana yang jumlahnya banyak ke atmosfer bumi kita. Sehingga suhu bumi tidak meningkat cepat, begitu juga dengan mencairnya es. Dan kita pun dapat mengurangi naiknya permukaan air laut dengan cepat, yang berarti mencegah tenggelamnya pulau-pulau dan daerah-daerah di Indonesia, dan sama saja dengan mencegah terjadinya gelombang IDPs yang banyak.
Diyah Wara R
apa yang tidak rusak di negara kita ini?