Cerita dari Maluku; Episode 10 – Tentang Nuhu Evav dari Tenggara

1
1136

kei30 Agst. Laut karang di depan penginapanku bergelora-gelora dihantam angin Timur. Air pasang dan tampak arus cukup deras. Oh, kencangnya angin bertiup, menghempaskan segalanya. Orang bilang, saat ini angin sedang kencang-kencangnya. Dalam musim begini, pelayaran dari Aru menuju Kei (dari Timur ke Barat) sangat berbahaya karena ombaknya setinggi rumah. Lagipula perairan di Tenggara ini merupakan laut lepas, di mana angin dapat berlari tanpa rintangan. Hidungku mulai berair. Tapi, baiknya kulanjutkan ceriteraku.

Aku berjalan kaki dari penginapan ke sekretariat Baileo di Langgur, dalam panggangan panas matahari dan tamparan angin Timur. Di depan sebuah rumah yang cukup besar dan berdinding tembok, sejumlah ibu-ibu dan anak sedang duduk mencari kutu. Hampir di seluruh Nusantara, pemandangan semacam ini kita jumpai. Pada saat siang menjelang sore hari, ketika mereka telah menyelesaikan kegiatan kerumahtanggaannya. kaum perempuan itu mengisi waktu luangnya dengan mencari kutu. Mereka duduk berderet ke belakang dan saling mencari kutu kawannya. Di pedesaan Jawa dan Sumatra, kegiatan seperti itu masih dapat kita jumpai. Terutama ketika kegiatan produksi sedang sela. Sementara, anak-anak bermain kejar-kejaran, sebagian bermain bola. Rupanya demam piala dunia sampai kemari. Kebanyakan anak-anak laki yang bermain bola tadi mengenakan kaos yang dipunggungnya bertulis “Ronaldo”, “Rivaldo”, “Beckham”. Mungkin teman-temanmu yang struktur tubuhnya kurus ramping itu membayangkan dirinya akan menjadi juara dunia. Tapi sayangnya di Indonesia ini, termasuk di Kei, belum terbangun wadah yang berkualitas mencetak juara. Kemarin, orang-orang berceritera tentang kerusuhan kecil akibat pertandingan bola di kota Tual. Hampir di mana-mana selalu begitu. Entahlah, nak, apanya yang tak beres dalam sistem persepakbolaan kita.

Dari arah depan, seorang penjual es cream mengayuh sepedanya. Oh, bukan es cream Wals yang populer di kota-kota besar. Tapi cara menjajakan makanan secara berkeliling itu menarik perhatianku, karena tak kita jumpai di Maluku Tengah. Ternyata dugaanku betul bahwa pedagang es itu bukan orang Kei, melainkan orang dari Solo, Jawa Tengah. Ternyata banyak orang Jawa mengadu nasib kemari untuk berdagang terutama makanan masak. Di Penyaringan, bersebelahan dengan pelabuhan Tual, seperti kompleks orang Jawa saja. Pemuda-pemuda yang bermain bola di sana berbahasa Jawa. Warung tenda yang berderet-deret di situ kebanyakan dari Banyuwangi, Jawa Timur. Contohnya adalah warung sea food “Mbak Iin”, mulai dari pemilik sampai pekerjanya dari sana. Mereka berasal dari sekitar Muncar, yang di Banyuwangi merupakan daerah nelayan. Selain itu mereka berjualan pecel ikan lele, nasi soto, sate ayam, mi pangsit dan bakso. Ini merupakan jenis-jenis makanan yang khas dijajakan oleh orang Jawa di seluruh Nusantara. Karena menu Kei tidaklah begini. Orang Kei, atau secara umum Maluku yang alamnya sangat kaya berbagai jenis ikan, menu utamanya adalah ikan. Ikan-ikan itu cukup dibakar tanpa diberi bumbu, bahkan garam sekali pun, namun lezat rasanya karena masih segar dari laut. Asin laut telah mempersedap rasa ikan tersebut. Di Indonesia Timur, mulai dari Maluku sampai Papua menu masak ikan yang terkenal adalah “ikan bakar batu”. Tapi, kau tak akan menjumpai warung-warung yang menyajikan masakan asli, nak! Menu lezat itu disajikan ketika kita menjadi tamu orang Kei.

Nah, orang-orang Jawa yang bermigrasi kemari itu bermukim di Tual, di sekitar pantai. Ibukota kecamatan Kei itu terletak di Pulau Dulah. Untuk mencapai ke Tual, kita menyeberang jembatan di atas selat pulau Kei Kecil dan pulau Dula tersebut. Selain orang Jawa, Tual merupakan tempat hunian orang Bugis dan Arab yang datang kemari sekitar lima sampai tiga generasi yang lalu. Mereka yang berwatak ekspansif ini menguasai perdagangan ritel, seperti membuka toko kelontong, toko pakaian, menjual beras, dan lainnya. Mereka juga telah menyatu dengan penduduk asli melalui perkawinan maupun penerimaan adat, dan telah mendapat nama marga. Mereka membangun rumah di sekitar pantai dan terdapat masjid-masjid cukup besar di situ. Pendatang yang lain berasal dari etnis Cina yang kedatangannya diduga hampir seusia orang Arab.Mereka membangun rumah di daratan dan menguasai perdagangan di bidang distribusi dan transportasi. Terutama distribusi hasil produksi orang Kei, seperti ikan, jenis kerang-kerangan, teripang, dan mutiara. Tapi, mutiara di Kei lebih sedikit dibanding dengan kepulauan Aru. Di seluruh Kei Kecil ini ada 5 hotel, dengan rincian pemilikan 3 hotel milik orang Tionghoa, 1 hotel milik orang Bugis dan 1 hotel milik orang Kei asli. Ada dua hotel yang kuketahui sekaligus membuka bisnis hiburan karaoke.

Adalah menjadi pertanyaan, mengapa pulau yang terletak di Tenggara jauh seperti itu, menjadi tempat orang Jawa bermigrasi? Aku tak menjumpai orang-orang Jawa itu di kepulauan Lease atau pun Seram di Maluku Tengah. Dulu, sebelum Ambon dihancurkan oleh konflik, ada banyak orang Jawa di sana. Mereka berjualan bakso dan es campur sebagai pelengkapnya dengan gerobak. Tampaknya, kehadiran orang Jawa di seluruh Nusantara ini dapat ditandai dengan adanya gerobak bakso dan es campur.Barangkali, orang-orang Jawa itu bermigrasi mengikuti jalur pelayaran kapal-kapal besar dari Jakarta, Semarang dan Surabaya. Pelayaran itu sampai juga ke Sorong, Papua. Di sana tentu saja banyak orang Jawa yang membuka warung makan.

Orang-orang Jawa termasuk berwatak ekspansif. Meski bertanah subur, namun padatnya penduduk menyebabkan lapangan pencarian nafkah terbatas. Pun terlalu banyak pejabat dan pemodal besar yang telah menguasai perekonomian. Hingga rakyat kecil tersingkir, bahkan dari basis produksinya. Sempitnya lapangan pencarian nafkah itu mendorong rakyat kecil itu melakukan ekspansi: berdagang ke pulau-pulau yang lain. Tentu bagi pejabat dan pemilik modal besar yang berekspansi bukanlah orangnya, melainkan saham-sahamnya.

Aku berusaha mengumpulkan dokumen penelitian atau tulisan-tulisan tentang kehidupan orang Kei. Mungkin satu-satunya akademisi Indonesia yang pernah meneliti Orang Kei untuk disertasi adalah PM Laksono, pengajar antropologi di UGM. Selebihnya adalah riset-riset terapan untuk kebutuhan pembuatan program maupun keperluan pembangunan. Terutama, sejak Revolusi Biru digulirkan sekitar awal decade 1990-an. Kalau di Indonesia bagian Barat, pemerintah menggulirkan Revolusi Hijau sekitar awal decade 1970-an untuk mekanisasi dan intensifikasi pertanian, khususnya produksi padi. Di bagian Timur, pemerintah menggulirkan Revolusi Biru untuk mekanisasi dan intensifikasi perlautan, khususnya produksi ikan. Makanya, penelitian-penelitian diarahkan untuk soal perikanan dan kelautan. Dokumen lain ditulis oleh Raja Watlaar, Johannes Paulus Rahail almarhum, dari Kei Besar, yang diterbitkan Yayasan Sejati berjudul Bat Batang Fitroa Fitnangan, yakni tentang Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional Kei. Ia satu-satunya Raja di Kei yang meninggalkan warisan berharga berupa tulisan. Menurut kesan orang, raja Rahail orangnya penuh charisma dan termasuk pendiri Jaringan Baileo sekretariat jaringan LSM di Maluku Tengah, Tenggara dan Tenggara Barat. Juga mendirikan YPMO yang berkedudukan di Watlaar untuk memberdayakan masyarakat adat di Kei Besar. Teman-teman di Sekretariat Baileo tersebut pernah mengumpulkan dan menyusun tulisan yang diberi judul Potret Orang-orang Kalah pada tahun 1994. Orang-orang kalah yang dimaksudkan di situ adalah orang Maluku, baik yang hidup di Utara, Tengah, Tenggara dan Tenggara Barat. Sayang tulisan itu masih berupa paper yang belum dibukukan.

Semakin kukumpulkan dokumen-dokumen itu, semakin kurasakan kemiskinan kita untuk meneliti dan menulis sejarah lokal yang banyak diwarnai penindasan dan penghancuran. Seringkali, aku hanya mampu menggigit jari, karena ada banyak artefak yang tak berada di tanah aslinya. Benda-benda bersejarah itu kudapatkan buktinya telah berada, salah satunya, di Leiden, Belanda. Contohnya, sebuah terbitan dalam kemasan yang lux berjudul Forgotten Islands of Indonesia, ditulis oleh Nico de Jonge dean Toos van Dijk, diterbitkan oleh Rijksmuseum voor Volkunkunde, tahun 1995. Buku itu diterbitkan dalam rangka memberi ikhtisar pameran budaya Maluku, pada bulan Oktober, tahun yang sama, di museum tersebut. Jadi artefak yang membuka jendela kehidupan orang-orang Maluku, terutama di Tenggara dan Tenggara Barat, tersimpan di sana. Bagaimana kita akan dapat menelitinya? Pun, sampai sekarang, aku merindukan hadirnya peneliti Indonesia yang mampu menghasilkan riset bermutu seperti para peneliti dari luar itu. Hanya sedikit peneliti Indonesia yang bersedia hidup 3 sama (Sama tinggal, Sama makan dan Sama kerja) berbulan-bulan di suatu tempat, dan melahirkan teori baru. Beberapa hasil penelitian orang luar yang sempat kucatat ditulis oleh Cecilia Barbaud mengenai kehidupan social orang Tanimbar dan Kei. Bukunya diterbitkan oleh Cambridge Universitas tahun 1979, berjudul Tanebar-Evav. Juga menarik untuk membaca catatan harian Alfred Russel Wallace, seorang biolog yang pada akhirnya mendapatkan “tanah yang dijanjikan” di kepulauan Aru, berjudul The Malay Archipelago, yang diterbitkan Oxford Universitas, tahun 1986. Selain itu, patut kita baca hasil riset Richard Chauvel, seorang peneliti dari Australia, sebelum terjadi penghancuran di Negeri Rempah tersebut.

Meski begitu, dokumen penelitian mengenai orang Kei lebih banyak dijumpai ketimbang tentang saudaranya di Maluku Tengah, kecuali Ambon. Dan kutemukan lebih banyak dokumen penelitian mengenai orang-orang Maluku Utara (Ternate, Tidore, Halmahera dan sekitarnya) ketimbang saudaranya di Tenggara dan Tenggara Barat itu. Anakku, sadarilah kemiskinan kita dalam hal ini sebagai persoalan di masa depan. Maafkanlah kebiasaan berpikir orang tuamu yang hanya melihat segala sesuatu “pada hari ini”, tanpa peduli dengan “pada hari kemarin” dan “pada hari yang akan datang”. Kebiajakn riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun selama ini berfungsi untuk memenuhi pesanan pembangunan. Menurut seorang sejarahwan yang bekerja di situ, sekarang disadari kemiskinan riset sejarah di LIPI, namun sudah terlambat. Jangan heran, jika pembangunan di negerimu sungguh a-historis, tanpa mempertimbangkan aspek antropologinya ekonomi-politik. Dan alhasil, justru menghancurkan kekuatan masyarakat itu sendiri. Potret orang-orang kalah di Indonesia belahan Timur ini merupakan kehancuran itu.

Hari ini aku berjumpa dengan Bapa Felix dari Tanimbar. Saat kuajak membincang tentang artefak di negerinya sana, ia menegaskan “Su seng ada lai! (sudah tak ada lagi) Di beberapa rumah masih kasih simpan perhiasan adat seperti kalung dari kerang-kerangan. O itu tenun mama-mama masih biking. Rumah adat sedikit saja, Ute! Tapi, dorang (dia/mereka) masih mau dipesan untuk biking kerajinan macam arca. Bupatinya punya mau buka Tanimbar untuk pariwisata. Dulu Belanda kasih masuk agama Kristen sambil hancurkan benda-benda itu. Karena dorang (Belanda) anggap itu animis! Sekarang katong miskin sudah”. Meski, artefak-artefak itu sudah berpindah pemilik, sejatinya masyarakat di Kei dan Tanimbar masih menyimpan pengetahuan adat dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terutama mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan kekuasaan adat.

Orang-orang Kei menggunakan bahasa aslinya untuk percakapan di antara mereka. Ketika berada dalam pergaulan umum mereka gunakan bahasa Indonesia dalam dialek Maluku. Bahasa mereka masih asing di telinga. Banyak istilah-istilah yang antara pengucapan dan penulisannya berbeda. Seperti orang Rusia, mereka ucapkan huruf “v” menjadi “vww”. Misalnya evav, orang sana mengucapkannya “evwavw”. Padahal, tak ada sejarah hubungan Kei dengan orang Rusia. Orang Kei menyebutnya negeri di mana mereka hidup itu Nuhu Evav. Nuhu, artinya tanah, dan Evav adalah sebutan bagi identitas diri, tanah negeri dan bahasanya. Lalu mengapa kini disebut Kei suatu istilah yang bagiku terasa aneh dan tak terdapat dalam bahasa mereka. Dalam paper Potret Orang-orang Kalah, dijelaskan bahwa baik narasumber lokal mau pun sumber kepustakaan belum ada yang menjelaskan hal itu. Cecilia Barbaud menyebutnya Evav tanpa penjelasan juga. Ada kemungkinan istilah Kei berasal dari orang-orang Eropa yang datang kemari hingga akhirnya menjadi sebutan umum dan diterima begitu saja. Nuhu Evav ini meliputi Kei Kecil dan gugusan pulau di sekitarnya serta Kei Besar. Kei Kecil disebut juga Nuhu Roa, sedangkan Kei Besar disebut Nuhu Yut.

Orang Evav menganggap dirinya bersaudara karena berasal dari induk yang sama. Hal itu ditunjukkan oleh falsafahnya ain ni ain, yang terjemahan bebasnya adalah “kita semua satu”. Falsafah itu juga bermakna kolektivitas. Seluruh tanah, laut dan sumberdaya alam di Kei adalah milik kolektif yang telah diatur oleh adat. Jadi seluruh wilayah di Kei ini telah ada yang memilikinya, yaitu orang Evav sendiri, yang diatur ke dalam raskap atau petuanan (istilah Maluku Tengah). Batas-batas antar raskap telah disepakati sejak tempo doeloe, dan dituturkan secara turun temurun kepada anak cucu. Mereka mempunyai sejarah lisan yang menuturkan asal-usulnya itu, termasuk batas-batas raskap, berupa syair yang disebut tom, dan bukti-bukti berupa barang yang disebut tat. Sedangkan untuk mengatur tindakan social, ekonomi dan moral masyarakat, digunakan hukum Larvul Ngabal. Hukum ini dipercayai penyusunnya seorang perempuan yang bernama Did Sakmas. Secara moral dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan. Hebatnya, Did (merupakan gelar penghargaan, bermakna pembawa emas) Sakmas (sebutan penghormatan untuk perempuan yang dituakan) pada masa kesukuan yang dipimpin Raja-raja laki-laki itu, dapat mempengaruhi dan mendesakkan kebijakan Lar vul Nga bal kepada mereka hingga diterima secara aklamasi menjadi hukum adat kolektif. Secara harfiah lar artinya darah, vul artinya merah dan nga adalah tombak dan bal adalah Bali. Jadi arti harfiah Lar Vul Nga Bal adalah “darah merah di ujung tombak dari Bali”.

Itu menarik. Orang Evav mempercayai bahwa mereka punya pertalian darah dengan orang Bali. Bahkan ada narasumber yang mengatakan ada seorang yang dapat dipercayai telah bermimpi Ken Dedes dari kerajaan Singosari, yang kemudian menjadi isteri Ken Arok, melarikan diri kemari. Apakah Did Sakmas itu berasal dari Bali atau ia adalah Ken Dedes? Sulit untuk mencari bukti-bukti etnografis yang menjelaskan hubungan antara orang Kei dengan orang Bali. Bahasa, oranamen dan arsitektur pun berbeda. Orang-orang tua hanya menuturkan “suatu kepercayaan” belaka. Kita hanya menjumpai pemeluk agama Hindu di pulau Tanimbar Kei (perbatasan Kei dengan Tanimbar) yang menjadi anggota Hindu Parisdha Dharma. Dalam paper Potret orang-orang kalah disebutkan jika memang orang Evav berasal dari Bali, maka diduga kemungkinannya dari Trunyan, yang sering disebut Bali Age (age=tua). Menilik tak adanya tradisi seni kriya padat ornament dan bahasa yang bersuku kata pendek-pendek dengan akhir konsonan yang dominan seperti bahasa Evav.

Listrik padam begilir di Langgur. Kami menggunakan lilin untuk sekedar penerang. Di luar bulan sedang mati, dan kami mengandalkan terangnya bintang untuk dapat menembus kegelapan. Keadaan seperti ini merupakan hal yang biasa. Orang pun menjadi hapal kapan desanya menerima giliran lsitrik padam. Pihak Perusahaan Listrik Daerah hanya menjelaskan “Peralatan kami kurang memadai untuk melayani kebutuhan lsitrik seluruh kecamatan Kei Kecil!”. Betapa timpangnya dengan keadaan penerangan di Jawa!

Ruth Indiah Rahayu

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here