Cerita dari Maluku; Episode 9 – Tentang Nuhu Evav dari Tenggara

1
919

29 Agst.

Suara angin Timur menderu. Kukencangkan syalku agar tak diterbangkannya. Aku telah berada di Pulau Kei Kecil, nak! Bukalah petamu! Gugusan kepulauan Kei berada di bawah leher “burung” P. Irian, di Tenggara Maluku. Kalau ditarik ke daratan Papua, sejajar dengan Merauke. Terbentang di antara laut Arafura (sebelah selatan) dan, laut Banda (sebelah utara). Gugusan kepulauan ini memiliki dua pulau besar, yang disebut Kei Besar dan Kei Kecil, selebihnya merupakan pulau-pulau, sebut saja P. Dulah, P. Ur, P. Tanimbar Kei, dan sebagainya.

Kita dapat kemari dengan menggunakan kapal laut dan pesawat udara. Kalau hendak menggunakan pesawat udara, kita musti mendarat di Ambon dan singgah beberapa waktu untuk menunggu penerbangan ke mari. Penerbangan dari Ambon kemari dilayani oleh maskapai penerbangan Merpati dengan pesawat jenis Cassa yang jadualnya setiap hari Rabu dan Jum’at. Jadi, kalau kita dari Jakarta dan tak ingin singgah berlama-lama di Ambon, sebaiknya pergi pada hari Selasa. Kemudian singgah semalam di Ambon dan esoknya pada pukul 09.00 WIT kita terbang ke Kei. Namun, jangan lupa, jauh sebelumnya kita musti minta tolong pada kenalan di Ambon untuk memesan tiket ke mari. Sedangkan penerbangan dari Kei ke Ambon dilayani setiap hari Kamis dan Sabtu pada pukul 09.30 WIT. Selain itu, kita bisa naik pesawat Hercules AURI jenis Fokker 27 yang terbang kemari setiap hari Rabu dan Jum’at. Tetapi, aku berada di Indonesia bagian Timur, nak. Jangan kau bayangkan jadual penerbangan itu selalu tepat waktu. Seringkali, kami harus menunggu 3 hari karena pesawatnya rusak. Runyamnya, pesawat Cassa Merpati yang hanya sebuah itu lebih sering rusak. Andaikata kami pergi ke Kei pada hari Kamis dan ternyata pesawatnya rusak, ya mau apalagi nak….selain bermalam lebih lama di Ambon sampai hari Sabtu. Kalau perbaikannya belum selesai pada hari itu, kami akan menunggu sampai hari Kamis berikutnya. Oh, anakku, kalau hendak penyabar, di sinilah medan latihannya. Mau marah, jengkel, sebal, atau rupa-rupa keadaan emosi lainnya, kami tak punya pilihan selain terbang dengan Merpati atau Hercules AURI.

Penerbangan kemari membutuhkan waktu 2 jam..Karena tak kebagian tiket Merpati, kami menggunakan Hercules milik AURI. Sudah bukan rahasia lagi, pihak AURI telah mengkomersilkan tempat duduk pesawat Herculesnya untuk penumpang sipil. Setiap tempat duduk dijual Rp 650.000,- lebih murah dari Merpati yang menjual tiketnya Rp 725.000,-. Tetapi, tentu saja disertai segudang peraturan atas nama kedisiplinan. Pada suatu kesempatan, temanku mengenakan celana pendek sport dan bersepatu sandal. Oleh petugas berseragam loreng yang merupakan perangkat jaga terminal AURI, ia di suruh berganti dengan celana panjang. Harap tak bertanya, ini semua merupakan peraturan. Pun tak memuat penumpang berwarga negara asing. Pun kita akan diperiksa mulai dari Kartu Tanda Pengenal (KTP) sampai bagasi yang kita bawa. Seorang temanku, KTP-nya lama ditahan dan menjadi bahan diskusi aparat berpakaian hijau loreng karena tertulis kelahirannya di Aceh Barat, tetapi nama marganya dari Batak dan tinggal di Jakarta. Mungkin, ia disangka orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menyamar dan menyelusup ke Ambon. Tetapi untunglah, kawan kam dari Ambon sudah menjadi pelanggan, hingga segala sesuatunya dapat diatasi. Juga lucu, ada aparat yang membaca secara seksama buku terbitan Kalyanamitra yang berjudul Pelecehan Seksual, yang kusimpan di saku ranselku. Dahinya mengernyit berulang kali, entah mengapa.

Untuk mencapai ke terminal AURI di Bandar Udara Pattimura, kita melewati 4 pos penjagaan, yang di setiap pos tersebut kena pungutan Rp 5000,- atau bisa lebih tergantung pada nasib yang menyertai kita. Sejatinya, lebih enak naik Hercules karena jenis pesawatnya Fokker 27, ketimbang Merpati. Asalkan kita bersedia diperlakukan layaknya terpidana tadi. Mereka berbicara dengan kita seperti menginterograsi pencuri, nadanya membentak dan jauh dari keramahan. Setelah melewati apron, barulah kujumpai para penerbang berpakaian oranye yang wajahnya lebih manusiawi. Di sini merupakan wilayah armada AURI, sedangkan di terminal yang mulai dari yan gmenjual tiket sampai memeriksa bagasi dan KTP adalah Angkatan Darat.

Kalau mau menggunakan kendaraan air, dilayani oleh kapal Perintis, kapal Bukit Siguntang dari Jakarta, atau kapal motor. Berlayar kemari membutuhkan waktu 1 malam. Dari pelabuhan Ambon pada siang hari, sampai di pelabuhan Tual sekitar pukul 6 atau 7 pagi Kalau tak salah setiap dua hari sekali ada jadual kapal berangka kemari.

Saat Hercules akan mendarat, mataku takjub bukan main menyaksikan gugusan pulau-pulau atol seperti gelang warna warni. Itu pertanda perairan yang ditumbuhii terumbu karang ini masih hidup, nak!. Namun ketika pesawat mendarat di Bandar udara Dumatubun, Langgur, warna daratan tak seindah warna lautnya. Di atas tanah karang ini hanya hidup semak-semak nan kering. Matahari bukan main panasnya. Sementara air minum tak mudah didapat, karena air di sini berasa asin laut. Kita musti membeli air mineral (Aqua) untuk minum. Kebutuhan air rumah tangga di suplai oleh pedagang air yang menggunakan truk tangki berkapasitas 3000 liter. Harga 3000 liter air sekitar Rp 20.000,-

Tiga tahun lalu, konflik dari Ambon merembet ke mari. Puing pasar dan rumah diskotik masih bersisa di tengah ilalang kering. Namun, banyak terlihat orang (bukan pengungsi) membangun rumah baru dari bahan batako (terbuat dari semen dan kapur). Dari ladang-ladang di tanah karang ini lebih banyak tumbuh ketela pohon (cassava), ubi jalar, talas, keladi dan pisang. Juga di sejumlah tempat tumbuh pohon kemiri secara alami. Rumah berdinding batako dengan atap seng menjadi mode rumah “modern” bagi orang kebanyakan di Maluku saat ini.

Kepulauan di Tenggara ini terbentang dari Timor sampai Papua sepanjang 1000 kilometer. Secara adminsitratif dikelompokkan menjadi kabupaten Maluku Tenggara, yang meliputi gugusan pulau di Kei Kecil, Kei Besar dan Aru, yang beribukota di Tual yang terletak di P. Dulah. Sedangkan gugusan pulau-pulau di Tanimbar, Letimoalakor, Babar, Teun, Nila, Serua, dikelompokkan menjadi kabupaten Maluku Tenggara Barat yang beribukota di Saumlaki (pulau Yamdena).

Bayangkanlah bagaimana sulitnya perhubungan antar daratan-daratan sempit yang beserak-serak itu. Lagipula lautan yang mengitarinya termasuk laut lepas yang dalam. Boleh dibilang 90% wilayah Maluku merupakan lautan yang kaya sumberdaya hayati, tak terkecuali di Kei. Daratan itu pun seperti biscuit yang terpecah-pecah, yang membentuk teluk-teluk dan selat-selat kecil.
Infrastruktur dasar seperti transportasi, telekomunikasi, penerangan, pasar, masih terbatas.
Secara tradisionil masyarakat setempat menggunakan ketinting, (kole-kole bermesin) sebagai sarana transportasi antar daratan. Ongkos penyeberangan rata-rata Rp 500,-.

Tanah di sini berjenis podzolik, rensina dan lithosol, dengan batuan yang secara umum adalah terumbu coral. Topografi di Kei Kecil berbulit rendah dan merupakan hutan semak belukar. Di sejumlah tempat, seperti Warwut, terdapat hutan bakau. Juga merupakan pantai-pantai karang tempat hidup binatang seperti kepiting, berbagai jenis kerang, udang dan ikan batu-batuan. Sedangkan di Kei Besar, lapisan tanahnya tampak lebih tebal, hingga menumbuhkan jenis tanaman yang lebih majemuk. Di kepulauan Aru, topografi tanahnya berawa-rawa dan tentu saja merupakan gudang nyamuk malaria. Tetapi, kepulauan Aru meupakan surga bagi pencari harta karun mutiara dan tripang (lintah laut, yang disebut juga haisom). Harta karum mutiara juga terdapat di kepulauan Banda tempat pembuangan Soekarno pada masa penjajahan Belanda, meski tak sebanyak di Aru.

Secara umum, mata pencaharian penduduk di sini adalah mencari ikan (nelayan), bia (kerang), kima (sering dipergunakan sebagai kerang hias, berdiameter 10 cm, sedang panjangnya mencapai 30 cm atau lebih) dan kepiting. Berbagai jenis ikan yang sehari-hari mereka tangkap adalah ikan komo (tongkol), sekuda (kakap putih), semandar (baronang), mubara, kakap merah, ikan batu-batu, ikan geropa (kerapu). Adakalanya tengiri, cakalang dan tuna. Orang Kei menyukai ikan sekuda, semandar dan geropa. Sedangkan sehari-hari yang dimakan kebanyakan ikan komo dan ikan batu-batu.

Bulan Juli sampai Desember adalah musim angin Timur bertiup di Tenggara Maluku. Tentu laut bergelombang kencang, terutama di perairan lepas. Di darat angin itu membawa udara kering, matahari terik dan rumput-rumput coklat semua. Tetapi, inilah musim yang baik bagi nelayan untuk mendapatkan cumi-cumi, terlebih pada saat langit terang.

Mereka tidak menggarap ladang seperti petani di wilayah Barat Indonesia, karena keadaan tanahnya yang berkarang tadi. Hanya kasbi yang memungkinkan di tanam. Jenis kasbi (singkong) yang banyak ditanam sejatinya beracun, yang mereka sebut embal. Masyarakat setempat mempunyai cara pengolahannya, yakni embal tadi diparut atau ditumbuk kemudian diperas. Racun-racunya terikut dalam air perasan tersebut. Kemudian ampasnya dipres, dikeringkan dan dicetak tipis persegi atau ada yang berbentuk hati. Embal kering itu rasanya tawar saja. Dimakan dengan cara mencelupkannya ke dalam teh gula atau menjadi teman makan ikan bakar. Selain kasbi, orang Kei menanam pisang, keladi dan patatas (ubi jalar), tetapi semua ini untuk dikonsumsi sendiri.

Suara angin Timur sepanjang hari kencang menderu. Sampai malam angin tetap menderu. Dingin merasuk ke tulang-tulangku. Kurapatkan jaket yang siang dan malam kupakai untuk melindungi tubuhku dari gangguan cuaca. Aku menyusuri jalan aspal selebar 2 meter, di kanan kirinya hanya ilalang kering dan reruntuhan bangunan akibat konflik 2 tahun lalu. Langit tanpa bulan. Mataku terpesona oleh pemandangan semesta raya di atas sana. Olesio manise! Bintang-bintang yang kupandang dari sini seperti taburan mutiara. Begitu banyak! Bahkan Venus tampak lebih besar ketimbang yang kulihat di atas langit Jawa. Rasanya langit di sini lebih luas dan bintang-bingtang itu pun lebih banyak. Mungkin karena langit di Jawa, apalagi Jakarta telah pekat polusi, hingga menutupi kecantikan langit malam Pun bangunan rumah, gedung-gedung dan lampu merkuri memudarkan cahayanya.

Ah, sunyi, nak, kecuali deru angin Timur melagukan rindu dari jauh.
Lelah menguasai diriku. Lebih baik besok kulanjutkan ceritaku.

1 COMMENT

  1. Pesan Untuk dunaia : jau sebelumbangsa EROPA fase berbicara tentang konsep demokrasi, leluhur evav telah memprakarsainya melaluia konsep AIN Ni AIN.Untuk merangkul Katong Orang Andre Key.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here