22 Feb. Anakku, hari ini aku ke Nusa Ina. Ah, engkau seharusnya menyukai ilmu bumi, agar tak buta ruang. Jangan seperti temanku, lulusan universitas, tapi suatu saat bertanya: “Ambon dan Maluku itu jauh nggak?”. Orang yang tak peduli terhadap dimensi ruang dan waktu adalah orang yang bodoh, nak! Baiklah, aku akan ceritakan padamu perjalanan ke sana. Baringkanlah tubuhmu, letakkan penatmu setelah seharian kau lelah bermain-main. Oh ya, letak Nusa Ina (Nusa=pulau, Ina=ibu) berada di utara P. Ambon dan kepulauan Lease. Di Maluku Tengah merupakan pulau yang paling luas. Sekarang disebut P. Seram.
Aku telah berkemas sejak anjing menggonggong. Insting waktuku mengatakan sekarang pukul 05.00 WIT. Kami akan dijemput Atiya sopir Baileo, pukul 06.15 karena pukul 06.30 sudah harus berada di dermaga Passo. Kemarin sore, Vivi telah booking atau mendaftar nama kami supaya dapat tempat duduk. Begitu tiba di dermaga, pesanan itu dibayar, satu tempat duduk ongkosnya Rp 60.000,- Ongkos speed memang lebih mahal dibanding kapal motor. Tetapi dengan speed kita hanya menempuh waktu 2,5 jam, sementara naik kapal motor yang tubuhnya lebih besar dari speed sampai 6 jam. Karena keadaan gelombang laut yang mulai tinggi pada musim Utara ini, Nus Ukru menganjurkan kami naik speed.
Speed pagi yang membawa kami bernama Cliff. Ia di disain untuk memuat 26 orang. 16 tempat duduk berupa kursi yang menghadap ke muka, seperti bis. 10 orang sisanya duduk di belakangnya, seperti duduk di mikrolet. Aku mengambil tempat duduk di kursi dengan mama Cotje, sedangkan Vivi dan Eggy duduk di kursi mikrolet. Teluk Baguala tampak tenang. Speed melaju tanpa hambatan. Ketika mencapai Tanjung Tial. Gelombang besar menyongsong. Si Cliff berjalan terbanting-banting, berkali-kali mesinnya dikecilkan oleh pengemudinya. Oh, sakitnya di badan, nak, Aku hanya berpikir berapa lama badan terbanting seperti ini.Landasan speed itu seperti berjalan diatas jalan aspal yang berlobang dan penuh batu tajam. “gluduk…gluduk…..gluduk”, begitu bunyinya. Bagi orang sini, keadaan gelombang seperti itu masih disebut “riak”. Kata mereka pada musin Barat, sekitar Mei-Agustus, gelombang itu bisa setinggi rumah dan seringkali terjadi kecelakaan. Kata orang, angin kemarin lebih kencang ketimbang hari ini. Jadi sekali lagi, perjalanan kali ini menurut orang Maluku masih lebih baik. Ah, aku benar-benar orang daratan yang sekarang harus memutar persepsi makro dan mikrokosmos ke tradisi orang lautan.
Setelah berlalu dari Tanjung Tial, gelombang mulai reda. Barulah orang berceritera bahwa dalam pelayaran di Maluku Tengah yang paling berbahaya adalah muara teluk Baguala, di sepanjang Tanjung Tial. Mungkin di situ terdapat putaran arus besar dan angin lepas bertiup. Aku, seperti penumpang lainnya, mulai terkantuk-kantuk, karena speed seperti berjalan di atas jalan tol. Pelayaran ini sebenarnya mengitari selat-selat di antara P. Haruku, P. Saparua dan P. Seram, hingga akhirnya memasuki teluk Elpaputih dan speed merapat di Namonu. Kalau itu dikatakan dermaga sebenarnya hanyalah cekungan yang ditumbuhi bakau, kemudian 2 buah speed membuang sauh, dan juga sejumlah sampan untuk mencari ikan. Untuk mencapai daratan kami naik sampan, karena speed membuang sauh 50 meter dari tanah tersebut. Banyak sekali anak-anak kecil bermain di situ. Wajah mereka tidak menunjukkan kekhasan, melainkan campuran. Terkadang anak-anak itu mengambil sampan kemudian mendayung hingga 100 meter dari daratan, diikuti oleh teman-teman lainnya. Mereka berkejar-kejaran sampan sambil tertawa-tawa. Aku perhatikan beberapa telinga jujaro (remaja laki-laki) ditindik dan digantungi anting bulat kecil-kecil. Cukup trendy!
Inilah tanah Nusa Ina! Oh, panasnya bukan main. Sinar matahari sungguh menganiaya kulit dan mata. Sambil menunggu jemputan datang, aku berkeliling ke daratan di sekitar itu yang sebenarnya kebun orang. Pemilik kebun ini memelihara babi hitam yang perawakan seperti celeng, tapi badannya lebih tambun dibanding yang di Haruku. Senang melihat tingkah lucu anak-anak babi sampai mobil kijang Tim Relawan yang menjemput kami datang.
Kami naik ke dalam mobil yang dikemudikan Oom Nyong, peranakan Tionghoa dari Ternate, yang rumahnya ikut hancur pada saat konflik lalu. Ia mengantar kami ke desa Haruru, kira-kira menempuh perjalanan 20 menit dari dermaga Namonu. Dalam perjalanan itu, aku menyaksikan puing-puing rumah yang telah ditumbuhi rumput setinggi 2-3 meter di tepi pantai. Pemukiman itulah yang pertama kali mendapat serangan dari arah pantai. Menurut saksi mata, mereka membumihanguskan pemukiman itu dengan mortir. Kemudian para penyerang merangsek ke dalam kota dan menghancurkan pemukiman yang berseberangan jalan dengan kantor dan pemukiman Kostrad. Hebatnya, kompleks Kostrad itu tetap utuh. Kerusuhan di Masohi, ibukota kabupaten Maluku Tengah itu terjadi pada Desember 1999, dan selanjutnya merebak ke sejumlah kecamatan di Nusa Ina ini.
Kami tinggal di desa Haruru, satu-satunya desa di kecamatan Amahai yang menampung pengungsi dari kedua agama. Sungguh menarik, desa ini di pimpin oleh Kepala desa (disebut Iburaja) dan Sekretaris desa dari jenis kelamin perempuan. Kami ditempatkan di rumah Sekretaris desa, yang dipanggil mama Tina. Suaminya, anggota purnawirawan angkatan darat dari Batalyon Yonif 731 Pattimura, berpangkat Sersan Kepala. Di rumah yang bangunannya dari bata merah ini, luasnya kira-kira 6 x 20 m. Kamarnya ada tiga, kemudian ada ruang tamu, ruang makan dan dapur. Kamar mandi berada di luar meski masih menempel pada bangunan rumah. Dalam ruang tamu, ada sepasang gajah dan meja kursi dari keramik yang bermotif kecina-cinaan. Juga ada pajangan boneka panda milik cucunya setinggi 1 meter. Seperangkat VCD Player, berikut sound system besar dan televise berukuran 24 inc. Lantainya dari semen dan terasa dingin untuk alam yang panasnya mencapai 35*C. Kalau kubandingkan dengan keadaan rumah pada umumnya di desa Haruru, rumah tangga keluarga pensiunan angkatan darat ini termasuk berpunya. Mereka juga punya kebun, katanya cukup luas. Rumah itu, sekarang hanya dihuni oleh mama Tina, suaminya (yang namanya tak pernah kuingat) dan Ona cucunya. Dua orang anaknya telah berkeluarga, yang seorang tinggal di Sorong dan yang seorang ikut suaminya ke Manado.
Aku dan Vivi tinggal dalam satu kamar, sedangkan Corie yang tampaknya tak bisa share dengan orang lain ditempatkan di satu kamar. Dua laki-laki: Nus dan Egy sebenarnya tak bermasalah tidur di ruang tamu dengan tikar tapi tuan rumah menganggap itu tak menghargai tamunya. Menilik sikap empunya rumah, sebagaimana karakter pegawai Negara, diwarnai oleh sopan santun yang formil. Wah, pasti aku akan berhadapan dengan sejuta formalitas yang melelahkan! Tetapi semua harus dijalani, nak! Suatu saat jika engkau merasa berjuang bersama rakyat, harus melakukan 3 Sama: sama tinggal (makan dan tidur), sama bahasa dan sama kerja. Buang segala tradisimu, dan ikuti tradisi yang telah hidup di situ. Meski yang kukatakan ini lebih sulit dipraktekkan ketimbang diucapkan. Kalau engkau berhasil, engkau akan mampu bernafas dalam satu udara dan menyelam ke dalam batinnya. Ah, akan banyak mutiara kearifan yang dapat engkau pelajari yang membuatmu bebas dari dogma teori.
Aku lanjutkan ceritaku. Desa Haruru terletak di kecamatan Amahai. Jumlah penduduknya, menurut data yang dibuat mahasiswa KKN dari Ambon tahun 1998, sekitar 1778 kepala keluarga atau 4475 jiwa, yang terdiri dari 2186 laki-laki dan 2289 perempuan. Luas desa atau negeri ini sekitar 8 km2, yang dibagi menjadi 3 petuanan (UU Pemerintahan Daerah tahun 1974 menyebutnya Dusun –ini istilah Jawa). Ketiga petuanan itu disebut Dusun Induk (38,81 ha), Kuriano (5,29 ha, banyak dihuni orang-orang dari kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat) dan Waipo (2,36 ha). Rumah mama Tina terletak di Dusun Induk. Pada saat konflik, dusun ini merupakan daerah pertempuran, karena merupakan batas wilayah Kristen-Islam. Tetapi tak ada pemukiman yang hancur. Entahlah, apakah karena kompleks Batalyon Yonif 731 Pattimura berada di dusun Waipo yang berdekatan dengan Dusun Induk. Aku belum mampu memahaminya. Karena setelah meletakkan barang-barang, kami mencari rumah makan yang “netral”. Maksudnya, lidah teman kami yang berasal dari Eropa itu dapat makan. Kami makan ayam goreng Jawa, tetapi aku mencari warung kecil yang memasak ikan asin pedas. Oh, nak, kuberitahu padamu, teman yang berasal dari Eropa itu sikapnya seperti Ndoro Ayu (perempuan bangsawan yang sudah menikah), dan kami simpulkan ia sungguh merepotkan kami. Kadar kepekaan social, politik, dan budayanya sangat tipis. Tepatnya, ia hanya peduli pada kepentingannya dan tidak lebih pandai dari teman-temanku yang tinggal di Maluku.
Tata pemukiman desa Haruru tak berbeda dengan desa-desa kecamatan di Jawa. Hanya berbeda bahan material bangunannya. Di sini orang mempergunakan kayu dan gentengnya dari seng. Aku sempat menanyakan ke Nus Ukru, mengapa orang sini menggunakan genteng padahal wilayahnya panas tanpa angin bertiup. Ia bilang “supaya modern”. Jawaban itu tampak sambil lalu, tapi saya ingat cerita Oom Elly bahwa ada upaya sengisasi, karena atap daun sagu (rumbia) itu lebih tepat guna untuk keadaan di Maluku. Dengan kata lain, apa yang disebut tampak modern itu ada kaitannya dengan bisnis seng di sini. Suatu saat aku akan menelisik fakta-fakta tentang perubahan social di sini kaitannya dengan industri tertentu. Sekarang dengarkan saja, nak, fakta yang mampu kugali dan kubaca saat ini
Mata pencaharian penduduk Haruru dari pertanian berupa palawija, cengkih, kakao dan kelapa. Selain itu juga mencari ikan di Teluk. Ada pula industri rumah, yang memproduksi batu merah dan meubel. Orang sini beternak sapi dan babi, juga penghasil nenas dan pisang, Kau tahu, nak, berapa jumlah sekolah di sini? Ada 1 Sekolah Dasar milik pemerintah dan 1 Sekolah Dasar milik swasta, 1 Sekolah Menengah Pertama serta 1 Sekolah Menengah Atas (sekarang disebut Sekolah Menengah Umum). Dari jumlah penduduk 4000-an ribuan yang menjadi sarjana 9 orang, yang lulus Sekolah Dasar 544 orang. Di desa ini terdapat 3 gereja Prostestan, 1 gereja Katolik, 2 Masjid serta 1 pasar.
Tadi telah kututurkan, nak, bahwa di sini (dusun Waipo) terdapat kompleks Batalyon 731. Ketika terjadi konflik pada tahun 1999, orang-orang yang tinggal di wilayah kota Masohi maupun desa Haruru mengungsi ke kompleks tersebut. Orang-orang Haruru telah kembali ke rumahnya. Tetapi orang-orang, baik dari wilayah Kristen maupun Islam, yang bermukim di tepi pantai dan rumahnya telah hancur lebur tadi, sampai saat ini masih berada di barak pengungsian tersebut. Mereka membangun rumah-rumah sementara dari kayu bekas atas bantuan Tim Relawan, lembaga donor internasional dan LSM lokal. Masyarakat menyebut itu barak pengungsian Waipo.
Siang ini pula, kami pergi ke posko Tim Relawan di desa Waru, kecamatan Waipia. Nanti aku tuturkan kisahnya. Karena, aku masih lelah dan ngobrol dengan mama Betty (tetangga beda lorong) serta Nus hingga dinihari. Namun, aku tak dapat memejamkan mata, karena suara anjing-anjing terus menerus menggonggong dan melolong panjang. Bulu kudukku berdiri.
Malam tanpa bintang dan bulan. Sungguh mencekam!
Ruth Indiah Rahayu