Sunday, October 1, 2023
HomeBudayaCerita dari Maluku; Episode 3 - Tentang Negeri Ama

Cerita dari Maluku; Episode 3 – Tentang Negeri Ama

20 Feb. Angin laut nan segar masuk ke dalam kamarku. Aku terbangun dan kehilangan kesadaran ruang sejenak. Di mana kini aku berada? Rasanya seperti terdampar di pulau terpencil. Oh, nak, aku terlampau sering dijejali film tentang perahu yang terdampar di pulau terpencil. Barangkali terdamparnya Columbus di pantai Amerika lebih menguasai persepsiku ketimbang membaca fakta tentang terdamparnya bangsaku di negerinya sendiri. Pandangan antropolog yang orientalis menyebut keindahan negeri seperti ini: eksotis! Bumi. Laut dan manusianya diangap eksotis dan patut dipertontonkan melalui media audio visual. Ironisnya, pemaknaan seperti itulah yang banyak kutonton. Tapi sebenarnya dengan jujur kukatakan: aku mengagumi kehidupan masyarakat maritim agraris yang benar-benar hidup diberkati Tuhan. Mereka memiliki tanah yang subur dan laut yang menyimpan kehidupan sebagai sumber hayati. Mereka dikaruniai suara yang indah hingga dapat memuji berkat Tuhan berupa nyanyian dan musik.

Di atas tanah seperti itu, orang-orang Haruku melangsungkan proses reproduksi biologis: melahirkan anak sampai 5 7 orang. Apakah ini menyalahi program nasional Keluarga Berencana yang mengharuskan hanya punya 2 anak? “Ai, beta mau anak banyak untuk urus kebun. Katong (kita) perlu banyak keturunan supaya orang Haruku seng (tidak) ilang lae! ”, tutur papa Buce dan pada umumnya. Di tanah seperti itu, para perempuan melangsungkan proses reproduksi social: menumbuk pohon sagu dan mengendapkannya ke dalam tumang, menanam terong, menyimpan patatas (ubi jalar), keladi dan kasbi (singkong cassava) dalam keranjang, mengasin ikan hasil tangkapan suami, dan semuanya itu merupakan bahan pangan untuk kelangsungan hidup anggota keluarga. Di tengah kegiatan itu, mereka mengasuh anak dan binatang peliharaan seperti babi. Tak ada pasar dalam arti suatu tempat terjadinya proses jual dan beli. Proses jual beli berlangsung di jalan: ada orang yang menjajakan sayuran atau apa pun sambil berkeliling dari lorong ke lorong. Kemudian para ibu yang membutuhkan memanggilnya. Dalam satu desa Haruku, kuhitung hanya ada 3 warung kelontong yang menjual sabun, rokok, gula, dsbnya. Tak ada warung nasi atau makanan masak. Oh, siapa yang membeli, nak!

Pantai Haruku sangat indah dan masih bersih. Suara gelora ombaknya menyengsarakan pikiranku. Karena di dalam kehidupan yang diberkati Tuhan, aku hanya menemui tubuh-tubuh kurus yang tampak lebih tua dari usianya. Juga tubuh-tubuh yang tak lengkap kaki atau tangannya akibat konflik kemarin. Orang-orang negeri Haruku rata-rata berperawakan mrengil. Postur tulangnya kecil, hingga tampak kurus. Profil wajahnya pun serba mungil. Alisnya khas orang Maluku: tebal, dan ceruk di atas kelopak matanya dalam. Kulitnya hitam legam. Biasanya yang berbulu mata lentik memiliki mata bulat hitam dan rambutnya keriting. Guratan mukanya menunjukkan kesulitan hidup yang dihadapinya. Mendung penderitaan tersimpan dalam sorot matanya. Contoh itu ada pada diri mama Ompi, yang berjasa terhadap kelangsungan perut kami.

Rumah mama Ompi berada di depan rumah Clevi, terbuat dari gaba-gaba. Ia selalu sibuk dengan urusan makanan namun tanpa bersuara. Sesekali tersenyum. Keadaan anak-anak juga demikian. Kemarin sore, aku menjumpai anak-anak sedang mengikuti konseling gereja, dengan bernyanyi di depan pantai, di Baileo Kewang. Ada tiga orang perempuan pengasuhnya (mereka pengasuh sekolah minggu), yang dua orang boleh dikatakan maitua panggilan untuk mama yang sudah berumur), yang seorang masih muda bertubuh super gendut Kegiatan ini dilakukan tiap Selasa sore. Mereka membuat lingkaran sambil menyanyikan puja-puji bagi Tuhan Yesus. Aku berdiri di belakang lingkaran sambil menjelajah satu persatu anak-anak itu. Tak ada yang gemuk atau menggemaskan.. Anak-anak ini terkesan kurang gizi, rambutnya merah padat ketombe, kulitnya hitam kusam, rata-rata hidungnya mancung dan baunya… menandakan ketakbersihan lingkungan hidupnya! Mereka berpakaian rapi, sebagian bertelanjang kaki. Sangat bersemangat dalam menyanyi, “Kita bersatu dalam kasih Yesus”. Suara kanak-kanak itu melelehkan air di mataku. Lalu mereka berdoa sambil memejamkan mata ditingkah gumam nada pengasuhnya, tentang Mazmur. Oh, nak, aku tak kuat memandang anak-anak itu dalam keadaan terpejam. Karena dalam mataku terbayang: mereka harus memikul hutang penguasa kakek neneknya lebih kurang 9 juta rupiah per orang ke pemilik modal yang menggandakan uangnya melalui World Bank atau IMF atau badan keuangan internasional lainnya. Sementara keadaan mereka seperti ini.

Engkau jua mewarisi hutang itu, nak! Maka bersatulah sejak sekarang dengan mereka. Bangunlah kekuatan untuk membebaskan negerimu dari kaum renternir! Hari ini aku pergi ke Baileo Kewang (Baileo=balai pertemuan, Kewang= penjaga adat). Letaknya berada di tepi pantai. Untuk ke sana kami melewati reruntuhan benteng Nieuw Zealand dan kandang babi. Aku terheran-heran melihat jenis babi di sini, yang perawakannya mirip celeng. Warnanya hitam, ada pula yang abu-abu bertotol-totol. Senang hatiku melihat rupa dan ulah anak-anak babi itu. Lucu! Mereka sedang menyisir pasir mencari binatang.

Kata Clevi, rasa daging babi lokal ini lebih enak ketimbang babi Australia yang berwarna merah gembul. Harga dagingnya 1 kg mencapai Rp 30.000,- Biasanya disembelih untuk acara besar, seperti Natal atau hajat tertentu. Kalau dijual hidup, perkilonya dihitung Rp 12.500,- Berat babi dewasa mencapai 70-an kg. “so kasih uang banyak”, paparnya. Babi-babi itu makan apa saja: nasi basi, sagu, kasbi, semua makanan manusia tak mereka tolak.

Selain babi, di negeri Haruku berkeliaran anjing-anjing yang berperawakan kecil. Di jawa sering disebut anjing kampung. Ini juga ternak peliharaan,yang sewaktu-waktu dapat dijual. Seekor anjing dewasa harganya mencapai Rp 200.000,- Anjing-anjing itu bukan diberi makan tetapi mencari makan di alam bebas apapun juga dimakan.

Akhirnya kami sampai ke Baileo Kewang. Aku bertemu dengan para jujaro (sebutan untuk nona-nona remaja) dan mongare (sebutan untuk nyong-nyong remaja), yang sebagian telah aktif di Tim relawan jaringan Baileo dan di gereja. Negeri Haruku mempunyai identitas marga, seperti Kissya, Latuharhary, Breemer. Aku belum tahu sejarah pembentukan identitas tersebut. Aku menyisir pantai dan mengambil posisi duduk di bawah pohon yang disebut orang Portugis Haru Ukuy. Laut sedang pasang, gelombangnya bergulung-gulung kencang dan pecah di tepian. Airnya bersih dan biru. Sayang, pantai ini mengalami abrasi dan aku khawatir Bailelo Kewang akan digerogotinya. Aku memandang ke kejauhan: Tanjung Tial di P. Ambon nampak dari sini. Dalam terpaan angin yang kencang, aku membayangkan kehidupanku di Jakarta atau di Jawa. Ah, aku malu pada diriku sendiri, nak. Aku terdidik dalam situasi modernisasi, mengenyam kelimpahmewahan dalam segala aspek kehidupan. Sementara pulau ini menjadi terpencil di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi sejak zaman kolonialis eksternal sampai internal. Perjalanan sejarah sumberdaya alam dan manusianya hanya kisah pedih sebagai korban penjajahan dan penghisapan.

Di sebelah Baileo Kewang ini dibangun perpustakaan anak-anak. Pada dindingnya dipasang gambar Donald Bebek dan Mickey Mouse. Koleksi buku ceriteranya tak banyak. Sayang tak ada ceritera tentang sejarah tanah moyang mereka, kecuali dongeng versi Walt Disney tadi. Entah darimana gambar itu didapat, yang pasti bantuan dari luar negeri Haruku. Sementara,
orang tua yang dapat menuturkan adat dapat dihitung dengan jari dan itu pun tak dituturkan kepada kawan-kawanmu, nak! Aku menjumpai Oom Elli Kisya, ketua Kewang yang memelihara baileo ini. Kami duduk di atas pasir sambil menikmati angin laut. Ia tuturkan bahwa negeri-negeri di P. Haruku itu punya pertalian saudara. Seperti negeri Hulaliuw (Kristen) itu sebenarnya bersaudara dengan Pelauw, Kabau, Rohonomi dan Kailolo (semuanya Islam).

Dulunya semua Kristen, kemudian kecuali Hulaliuw, semua menjadi Islam. Nah, siapa yang mengislamkan mereka, ketua Kewang itu belum memperoleh datanya. Ada baiknya ditelisik dari hubungan perdagangan rempah-rempah di zaman kesultanan Ternate. Tetapi, bukanlah maksudku untuk menelisik tentang agama-agama sebagai keimanan masyarakat. Yang ingin kutahu adalah sejarah negeri dan identitasnya (yang ditandai oleh marga) serta penyebaran orang-orangnya terutama yang berkaitan dengan forced migration.

Juga ada hubungan pela antara orang dari negeri Haruku ini dengan orang Nolod di Saparua. Alkisah, anak perempuan paparaja negeri Haruku yang cantik dan menawan itu pada suatu hari sedang berdiri di depan pantai. Raja Nolod yang sedang berlayar di sekitar pulau itu melihat sang putri paparaja. Seketika ia mati harus (jatuh cinta). Ia perintahkan perahunya
mendarat dan berkenalan dengan sang putri. Raja Nolod lalu kembali ke Saparua untuk mempersiapkan peminangan. Ketika raja Nolod dan rombongannya datang, ia mendapati sang putri telah menjadi jasad akibat wabah penyakit yang melanda negeri Haruku. Karena cintanya yang tulus, raja Nolod minta dikawinkan dengan jasad sang putri. Sejak itu antara negeri Haruku dan negeri Nolod dinyatakan pela kawin, artinya dari kedua belah negeri itu diperbolehkan saling kawin. Dipercayai perkawinan dua insan dari kedua negeri itu mendatangkan cinta dan kebahagiaan.

Hubungan antar negeri bersifat pela, jika ada perjanjian yang mengikat dua negeri tanpa ada hubungan keluarga/kekerabatan. Sedangkan gandong, menunjukkan adanya hubungan bersaudara. Contohnya di Ambon, desa Passo (Kristen), Batumerah (Islam) dan Ema (Kristen), adalah satu gandong. Tetapi hubungan gandong itu kini mengalami segregasi sejak konflik tahun 1999. Sebagai catatan, penyerangan yang terjadi saat itu bukan dilakukan penduduk antar gandong tersebut, melainkan gerombolan orang yang tak mereka kenal.

Oom Elli, ketua Yayasan Learissa Kayeli, sebagai pemimpin adat negeri Haruku, mencoba menggali dan meneruskan adat setempat yang bermanfaat untuk melestarikan sumberdaya alam dan keseimbangan lingkungan. Ia yang berinisiatif membangun baileo Kewang atas bantuan JANI dari Jepang. Baileo ini diresmikan tahun 1996. oleh Biro Lingkungan Pemerintah Daerah Maluku. Bahannya terbuat dari kayu, atapnya dari rumbia (daun sagu yang dikeringkan) yang disusun sangat rapi. Pembuatan baileo ini sama sekali tidak mempergunakan paku, melainkan dengan tali dan mur baut dari kayu. Bentuknya mirip pendoponya orang Jawa. Luasnya kira-kira 25×25 m, dibagi menjadi baileo untuk pertemuan dan ruangan untuk makan. Pembangunan baileo ini pada waktu itu menghabiskan dana sekitar 50 juta rupiah. Aku mencatat tulisan yang indah di situ: Rumah ini akan menjadi tempat berteduh yang sehat, nyaman, ramahbagi semua orang, lelaki, perempuan dan anak-anak bahkan juga bagi serangga, burung-burung, ikan, pepohonan semua mahluk hidup dan saling menghidupi

Ah, sayang aku di sini hanya dua hari, nak. Banyak tuturan yang belum aku gali. Karena besok kami kembali ke Ambon supaya dapat pergi ke Nusa Ina. Malam ini papa Buce memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu Maluku. Oh, suara mama Ompi sungguh indah, dan vibrasinya jernih. Seandainya suara itu diolah ia dapat bersaing dengan soprano Kiri Te Kanawa atau Leontyne Price saat menyanyikan Ave Maria dari Schubert. Rupanya ia penyanyi gereja.

Kucatat sebuah lagu dari negeri Haruku:

Tata bilang ada ikan lompa balumpa
Di air Ceban Dua……ya nona
Di Kampung Haruku
Kalau alle seng percaya
Datang sendiri alle lia
Cerita itu sudah nyata
So dari dulu-e

Singgah di muka pante
Alle angka muka
Tajigi satu tubue
Mister Yohanes Latuharhary
Pejuang Bangsa
Di kana nada buaya
Tatanan kalpatarue
Satu lambang kebanggaan kita

Benteng badiri
Tamiring miring dipukul ombak
Seng jadi-jadi sama orang bilang
Belanda mabu-e

Ada lae di sana
Orang bisa mandi
Di kolam panase
Bisa rebus kasbi
Jadi lombo sama bubure
Dan juga ada karang laut
Bajejer kiri kanane
Dan pasir putih-putih menyalae

(Haruku)

Berkali-kali lagu tentang Haruku itu dinyanyikan secara bersama. Belum ada yang bisa menjawab siapa penciptanya. Aku hanya bisa mengikuti sambil bertepuk tangan. Sambil di kepalaku bertanya-tanya: mengapa Pulau Haruku dihancurkan, apakah ada kaitannya dengan tambang nikel dan emas yang berada di tengah pulau ini, yang menurut kesaksian masyarakat, terlihat persiapan untuk menggalinya?

Ruth Indiah Rahayu

RELATED ARTICLES

1 COMMENT

  1. Saya sangat tekesan dengan cerita Yang saudari telah beberkan ini.memang betul kalau kita sudah hidup di rantau kadang kita lupa dari mana kita berasal? Kita bisah menikmati segala fasilitas yang baik sedangkan saudara2 kita yang di HARUKU mereka tidak pernah merasakan fasilitas yang kita dapatkan di rantau, mereka hanya berpikir bagaimana dapat menyekolahkan anak sampai jadi orang.pesan saya dari America ” bangkit haruku2 muda mari bangun katong pung kampong dan bangsa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular