Di Balik Rencana Tata Ruang yang Dikumandangkan

0
676

Kebijakan tata ruang secara sederhana dapat dikatakan sebagai “perencanaan yang sistematik dan terpadu berkaitan dengan fungsi tanah dan air dalam satu wilayah tertentu”. Dalam skala nasional, hal ini merupakan penataan ruang yang berfungsi strategis yaitu untuk menciptakan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya baik alam (terutama tanah dan air), manusia, maupun sumber daya buatan. Oleh karena itu, kebijakan tata ruang ini semestinya disinergikan dengan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat.

Untuk wilayah DKI Jakarta telah ada Perda No. 11/1988 tentang ketertiban umum di wilayah DKI Jakarta dalam kaitan dengan pengaturan tata ruang kota. Dalam pasal 9 dikatakan: “Setiap orang dilarang bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di pinggir kali dan saluran”, sedangkan dalam pasal 20 dikatakan: “Setiap orang/badan dilarang mendirikan bangunan pada daerah milik jalan, dan atau saluran/sungai kecuali untuk kepentingan dinas”. Dua pasal ini adalah bagian terkecil dari banyaknya pasal yang menjadi kebijakan Pemda Jakarta. Proses pembuat kebijakan ini bersifat sepihak – tidak pernah melibatkan masyarakat – maka implimentasinya juga demikian. Mengherankan sekali bahwa peraturan yang secara sosial tidak legitimate ini malah dijadikan alat legitimasi penggusuran yang ada di bantaran Teluk Gong, sebagai misal. Gong yang ditabuh pun semakin nyaring dengan penertiban pedagang kaki lima dan becak yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Terakhir yang masih hangat di telinga kita adalah penggusuran yang diadakan di beberapa daerah bantaran kali di Jakarta. Tidak dipungkiri lagi, betapa kebijakan ini sama sekali tidak memihak pada masyarakat marjinal.

Rencana tata ruang kota ini sangat berpengaruh terutama terhadap warga kaum miskin kota. Pelaksanaan pemanfaatan ruang berarti setiap kegiatan, program dan proyek-proyek harus selalu mengacu pada zona pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dengan melihat hak rakyat dalam menikmati ruang tersebut. Hak-hak tersebut adalah hak menikmati manfaat ruang dan mendapat penggantian yang layak atas kondisi yang dialami akibat pelaksanaan pembangunan dan perubahan ruang. Tegasnya, setiap pembebasan tanah rakyat harus diimbangi dengan penggantian yang layak baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Olehnya, pengaturan pemanfaatan ruang ini butuh peran serta yang terkoordinasi antara instansi pemerintah dengan seluruh rakyat.

Program tata ruang ini kurang menyeluruh dan kurang menyentuh kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Beberapa contoh dapat kita lihat: program ini tidak menyentuh kampung-kampung paling kumuh, atau yang tinggal di sekitar bantaran kali justru selalu terancam penggusuran. Pembangunan kesehatan masyarakat dan pendidikan tidak pernah disertai penanganan yang baik, sanitasi, penanggulangan sampah. Demikian juga apa yang dibangun oleh pihak Pemda sering kali tidak menjawab kebutuhan masyarakat miskin.

Malahan, warga yang tinggal di bantaran kali disingkirkan begitu saja tanpa melihat betapa mereka harus berjuang demi sesuap nasi untuk melangsungkan kehidupannya. Hak hidup mereka sebagai warga negara tampak diabaikan. Selain itu, tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah mengapa mereka mencari sesuap nasi di bantaran kali. Kita mengambil salah satu contoh penggusuran di kawasan bantaran kali Teluk Gong yang dipenuhi warga masyarakat miskin. Kehidupan dan tempat tinggal mereka sangat jauh dari sebuah bentuk kehidupan yang sehat. Hak mereka untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan mata pencaharian yang menunjang, sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang disahkan PBB tanggal 3 Januari 1976, sama sekali tidak terpenuhi. Mereka malah dihabisi oleh undang-undang dan kebijakan publik, lembaga aparatus negara serta patron-patron mereka yang sama sekali tidak memihak kepentingan rakyat kecil.

Mereka yang Dipinggirkan
Mulyanah, (( Pelayanan Medis di Teluk gong )) anak perempuan Ibu Ratih salah seorang warga korban gusuran Teluk Gong, tergeletak lemas di dalam bangunan darurat yang didirikan di atas bekas rumahnya yang sudah dirubuhkan aparat Pemda Jakarta Utara, dengan dibungkus kain untuk menutupi tubuhnya. Demam panas tinggi membuat gadis kecil berusia 9 tahun itu sempat muntah-muntah. Mulyanah yang miskin, Mulyanah yang malang! Keterpinggiran hidupnya semakin lengkap ketika pada tanggal 7 Januari 2002, rumah tempatnya berlindung bersama keluarganya di daerah Bantaran Kali Teluk Gong digusur paksa oleh aparat Pemda Jakarta Utara. Anak kelas tiga SD ini menangis meraung-raung ketika menyaksikan rumahnya menjadi puing-puing.

Mulyanah adalah satu dari sekitar 1.500 warga Teluk Gong yang terpaksa harus kehilangan tempat tinggal akibat tindakan yang sangat tidak simpatik dari aparat Pemda Jakarta Utara. Penduduk bantaran kali di wilayah Penjaringan Teluk Gong, yang sehari-hari bermata-pencaharian sebagai nelayan, pada tanggal 7 Januari 2002 melakukan aksi damai dengan membentangkan spanduk untuk mencegah agar aparat tidak meneruskan niat buruk itu. Nyata kemudian bahwa sia-sialah apa yang dibangun dalam aksi damai itu. Gubuk tempat tinggal mereka tetap saja dirubuhkan tanpa perikemanusiaan sama sekali. Demi apa?

Lain lagi halnya dengan Ibu Yaya (( Wawancara dengan korban penggusuran Telukgong )) (30 tahun), yang sehari-harinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kawasan pantai Indah Kapuk. Ibu dua orang anak ini harus mencari pekerjaan di Jakarta karena ditinggal suaminya yang entah ke mana. “Kalau saya di Jawa, nDemak, saya sulit mencari pekerjaan.” ungkap ibu yang mempunyai dua orang putri yang masih kecil-kecil ini. “Kemampuan saya hanya sebagai pembantu rumah tangga dan kalau saya harus digusur saya harus makan apa?” demikian ia bertanya, sebuah pertanyaan retoris yang pilu, sambil memberi makan obat kepada anaknya yang sedang demam akibat shock atas kejadian siang harinya di mana aparat menghancurkan rumah warga bantaran kali

Kota Jakarta semakin rapat dengan bangunan-bangunan bertingkat, rumah kaca, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, kondominium-kondominium dan gedung-gedung pencakar langit yang fungsinya tak pernah dipahami rakyat kecil semisal warga Teluk Gong. Bangunan-bangunan itu berdiri pongah seolah tak peduli pada lingkungan sekitarnya, apalagi yang namanya tata letak yang juga tak pernah dimengerti oleh rakyat kecil; tata letak atau tata ruang atau tata apa pun namanya, hanya monopoli kamus birokrat. Bangunan-bangunan Babel modern, lambang kepongahan peradaban itu, berdiri bagai pasukan tentara yang kocar-kacir, semerawut tak karuan. Sementara, pemukiman rakyat semakin terhimpit. Bagi para penguasa, “kampung-kampung di kota” itu sering dipandang hanya mengotori kota, sebaiknya disapu bersih saja. Padahal kota ini dilahirkan oleh dan dari kampung-kampung. Fenomena ini muncul khususnya pada masyarakat miskin kota. Semakin lama, ruang untuk hidup dan berkehidupan semakin terdesak. Tampaknya, tak ada tempat dan ruang lagi bagi rakyat miskin sebangsa si gadis kecil Mulyanah di kota ini. Barangkali buat saya dan Anda juga? Tapi, apakah kembali ke kampung di desa adalah pilihan yang mungkin dan bahkan terbaik?

Kita simak tuturan Bapak Oman (( Wawancara dengan korban penggusuran Telukgong )) (55 tahun) yang berasal dari Jawa Barat. Dia harus memberanikan diri untuk merantau ke ibukota Jakarta untuk mencari pekerjaan. “Karena dengan tinggal di kampung kami tidak mempunyai tanah yang harus dikerjakan oleh keluarga kami karena sudah terjual.” Dari pekerjaan yang digeluti sebagai pemulung plastik di bantaran kali, bapak dua orang anak ini dapat membiayai kebutuhan rumah tangga yang pas-pasan. Nyata, mereka laksana pasukan tentara yang terkepung, “maju kena, mundur pun apalagi lebih kena”.

Pembangunan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Itulah prinsipnya. Tempat tinggal (pemukiman) yang layak bagi rakyat adalah salah satu syarat pokok bagi pencapaian itu. Pembangunan juga berarti membangun sumber daya manusia dalam pengertiannya yang holistik. Dalam konteks pembangunan kota, kita perlu mengingat bahwa kota itu didinamisasi dan dihidupi oleh rakyatnya. Dengan begitu, segala bentuk penataan ruang seharusnya mengacu pada investasi sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Dan faktor tempat tinggal yang layak sangat mendasar bagi investasi sumber daya manusia untuk mengembangkan segala aspek. Jelas sampai sekarang usaha-usaha pemerintah belum cukup memadai untuk menanggulangi masalah ini. Sementara developer semakin merajalela menguasai ruang kota.

Proyek Penghamburan Dana
Rakyat dan warga di Kali Angke RW 016 Kelurahan Penjaggalan, sebagaimana raykat lainnya di negara ini, diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan setiap bulannya. Tetapi dengan mudah para developer swasta, yang sering mendapat dukungan politik yang kuat, dengan mudah melakukan penggusuran (( Siaran pers (Aliansi masyrakat Anti Penggusuran) )), pembakaran pemukiman, penghancuran paksa, penembakan dengan senjata api, pelecehan seksual terhadap perempuan tanpa ada sanksi apa pun. Sementara, tinggal di bantaran kali pun mereka mau membayar pajak dan retribusi. Proyek-proyek developer ini selalu berbuntut pada kekerasan dan penggusuran. Ironisnya, proyek ini hanya mementingkan kepentingan sendiri tanpa memikirkan kepentingan umum. Kita bisa sebut salah satunya: Jakarta Propertindo. Perusahaan ini merupakan usaha gabungan dari Pemda DKI yang memiliki saham yang cukup besar dalam mega proyek ini. Agar mendapatkan keuntungan yang besar maka Pemda memberi ganti rugi yang jauh dari memadai (jauh di bawah harga tanah) yang pada umumnya. Dengan demikian, para developer ini dengan mudah membangun gedung-gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, kondominium-kondominium dan mega proyek lainnya. Fenomena ini semakin meminggirkan warga yang sudah terjepit di antara gedung-gedung bertingkat.

Pemda DKI Jakarta ingin mengulang kembali kegemilangan masa lalu Jakarta sebagai kota pelabuhan yang indah – ketika Belanda menamakannya Batavia – dengan membangunnya menjadi Kota Pantai. Sebagai “Queen of The East”, Jakarta akan “dibangun” sesuai dengan harapan bahwa Jakarta akan menjadi kota yang menawarkan pariwisata, perdagangan, pemukiman dan industri. Dengan mengasumsikan perpaduan pertumbuhan kawasan pantai maka diharapkan panorama Jakarta akan menampilkan keindahan. Ini juga sangat terkait dengan cita-cita Jakarta untuk menjadi “kota pelayanan” khususnya sektor wisata. Harapan yang lebih besar lagi, Jakarta akan menjadi Kota Pantai yang mencerminkan kehidupan kota-kota lain di Indonesia.

Cita-cita boleh muluk dan megah. Tetapi apa artinya bagi warga yang tergusur secara tak adil? Proyek penggusuran telah merusak nafas dan daya hidup rakyat miskin khususnya yang tinggal di bantaran kali. Proyek penggusuran hanya meninggalkan kisah-kisah pilu nan tragis perjuangan hidup dan mati ratusan pekerja miskin beserta keluarganya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here