Kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan?
Datanglah pada kami, kami pun kelaparan.
Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan.
Bertold Brecht, “Semua atau Tidak Sama Sekali” ((Dosen filsafat di Hoffstra University, Long Island, USA. ))
Pendahuluan
Dengan berakhirnya pemboman di Yugoslavia kita harus berjaga-jaga agar gerakan anti-perang, yang tumbuh berkembang pada tiga bulan terakhir, tidak lagi mengalami demobilisasi. Perang terhadap Yugoslavia mungkin saja berakhir, tetapi peperangan konvensional maupun tidak konvensional tetap berada dalam agenda global, seperti diperlihatkan oleh penyebaran konflik yang berkobar di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, serta nafsu besar Amerika untuk melakukan intervensi militer pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an.
Perang tetap ada dalam agenda global karena tahap baru ekspansi kapitalis yang sedang terjadi, yang diaktifkan oleh krisis kapital berkelanjutan, memerlukan penghancuran kegiatan ekonomi dan lembaga politik yang tidak tunduk pada logika akumulasi. Ekspansi ini dengan sendirinya merupakan proses yang penuh kekerasan, karena kapital tidak bisa memperluas jangkauannya ke setiap sumberdaya di planet ini — dari lautan, hutan-hutan sampai tenaga kerja manusia, bahkan sampai ke sistem genetika kita — tanpa menimbulkan perlawanan di seluruh dunia. Lagi pula, sudah menjadi watak dasar yang tidak bisa ditawar lagi dari krisis kapitalis sekarang ini bahwa tidak ada mediasi, baik pada tingkat program maupun lembaga, yang bisa dijalankan, dan bahwa perencanaan pembangunan di Dunia Ketiga telah membukakan jalan bagi peperangan.
Bahwa hubungan antara integrasi ke dalam perekonomian global dan peperangan itu umumnya tidak dimengerti karena globalisasi masa kini, sementara melanjutkan proyek kolonial abad ke-19, mewujudkan dirinya terutama sebagai program ekonomi. Senjata yang pertama dan yang paling tampak adalah program penyesuaian struktural, liberalisasi perdagangan, swastanisasi, hak pemilikan intelektual, semua kebijakan yang menyebabkan terjadinya pemindahan kekayaan besar-besaran dari Dunia Ketiga ke negara-negara metropolis [negara-negara industri maju, ed.]. Proses ini tidak memerlukan penaklukan wilayah, dan karena itu dilihat berlangsung dengan cara-cara yang damai. Intervensi militer juga berubah bentuk, seringkali tampil di balik kedok niat baik bermurah hati, seperti “bantuan makanan” dan “bantuan kemanusiaan,” atau di Amerika Latin, perang terhadap narkotika. Alasan lebih lanjut mengapa perkawinan antara perang dan globalisasi — yakni imperialisme dalam bentuknya yang mutakhir — itu kurang terlihat adalah karena kebanyakan “perang globalisasi” baru itu terjadi di benua Afrika, yang sejarah masa kininya didistorsi secara sistematis oleh media. Krisis yang terjadi belakangan ini dianggap sebagai akibat “keterbelakangan,” “tribalisme,” dan ketidak-mampuan bangsa-bangsa Afrika untuk membangun lembaga-lembaga yang demokratis.
Afrika, Perang, dan Penyesuaian Struktural
Dalam kenyataan, keadaan di Afrika memperlihatkan bahwa ada koinsidensi antara pelaksanaan program-program yang dijalankan pada dasawarsa 1980-an oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), untuk mendorong kemajuan kapital multinasional di kawasan itu, dan pengembangan suatu keadaan peperangan terus-menerus. Ini memperlihatkan bahwa penyesuaian struktural menimbulkan perang, dan perang pada gilirannya melengkapi kerja penyesuaian struktural, karena membuat negeri-negeri yang mengalaminya tergantung pada kapital internasional, dan kekuatan yang mewakilinya, mulai dari Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga PBB.
Program “penyesuaian struktural” menyebabkan perang melalui banyak jalan. Program ini diterapkan oleh Bank Dunia pada kebanyakan negeri Afrika, sejak awal dasawarsa 1980-an, dengan asumsi ini akan menggerakkan pemulihan ekonomi dan membantu pemerintah-pemerintah Afrika membayar kembali hutang-hutang yang mereka buat pada dasawarsa sebelumnya untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Agenda reformasi yang mereka sarankan antara lain meliputi swastanisasi tanah (penghapusan pemilikan tanah komunal), liberalisasi perdagangan (penghapusan bea atas barang-barang impor), deregulasi transaksi keuangan, pengurangan sektor publik, penghapusan dana pelayanan sosial, dan pemberlakuan sistem kontrol yang dengan efektif memindahkan tanggung jawab perencanaan ekonomi dari pemerintah-pemerintah Afrika kepada Bank Dunia dan LSM.
Program restrukturisasi ekonomi ini mungkin dimaksudkan untuk mendorong produktifitas, mengurangi inefisiensi, dan meningkatkan “batas kompetitif” Afrika di pasar global. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Lebih dari satu dasawarsa setelah pemberlakuannya, perekonomian lokal hancur, investasi asing tidak terjadi, dan satu-satunya kegiatan produktif yang berlangsung, di kebanyakan negeri Afrika, sekali lagi seperti yang terjadi di masa kolonial, yakni ekstraksi mineral dan pertanian berorientasi ekspor. Barang-barang dari Afrika membanjiri pasar global, sementara orang Afrika sendiri kekurangan pangan.
Dalam konteks kebangkrutan ekonomi umum inilah persaingan keras meledak di mana-mana antara berbagai faksi kelas penguasa Afrika, yang karena tidak mampu memperkaya diri melalui eksploitasi buruh, sekarang bertikai untuk memperebutkan kekuasaan negara sebagai syarat utama akumulasi kekayaan. Kekuasaan negara merupakan kunci bagi pengambil-alihan dan penjualan aset dan sumberdaya nasional (tanah, emas, berlian, minyak, kayu), atau aset-aset yang dimiliki kelompok-kelompok pesaing, di pasar internasional. Jadi perang telah menjadi prasyarat bagi perekonomian merkantil baru, atau (menurut sejumlah orang) suatu “ekonomi penjarahan,” (( Bayart, Jean-Francois et al., The Criminalization of the State in Africa (Oxford: The International African Institute in Association with James Curry, 1999). )) yang berkembang dengan keterlibatan perusahaan-perusahaan asing dan badan-badan internasional, yang (sekalipun mengeluhkan terjadinya “korupsi”) memperoleh keuntungan darinya.
Seperti di Russia, keteguhan sikap Bank Dunia bahwa semua hal harus diswastakan telah melemahkan negara, dan mempercepat proses ini. Dengan cara yang sama, deregulasi kegiatan perbankan dan transaksi keuangan (yang juga merupakan tuntutan Bank Dunia) telah membantu penyebaran perdagangan obat bius, yang sejak dasawarsa 1980-an, telah berperan besar dalam ekonomi politik Afrika, dan mendorong terbentuknya tentara-tentara bayaran. (( Bayart et al. The Criminalization of the State in Africa; Williams, Phil, “The Nature of Drug-Trafficking Networks,” Current History, April 1998. ))
Sumber perang berikutnya di Afrika adalah pemiskinan brutal – program penyesuaian struktural menjerumuskan mayoritas rakyat ke dalamnya. Di satu sisi kemiskinan meningkatkan protes sosial; di lain sisi, ia selama bertahun-tahun telah merobek-robek jalinan sosial, karena jutaan orang dipaksa meninggalkan kampung halaman, dan pergi ke luar negeri mencari nafkah; dan lahan subur pun terbuka untuk pertajaman dan pemanfaatan antagonisme-antagonisme lokal, serta perekrutan orang-orang yang menganggur (terutama kaum muda) oleh pihak-pihak yang berperang.
Banyak konflik “kesukuan” atau agama di Afrika (sama dengan konflik-konflik nasional di Yugoslavia) berasal dari proses-proses ini. Di belakang kebanyakan konflik Afrika belakangan ini — dari penyingkiran besar-besaran kaum imigran dan kerusuhan keagamaan di Nigeria pada awal dasawarsa 1980-an, sampai perang-perang “klan” di Somalia pada awal dasawarsa 1990-an, (( Chossudovsky, Michel. The Globalization of Poverty: Impacts of the IMF and World Bank Reforms (London: Zed Books, 1998). )) sampai perang-perang berdarah antara negara dan kaum fundamentalis di Aljazair, (( Martin Stone, The Agony of Algeria (New York: Columbia University Press, 1997). ))– adalah “persyaratan” Bank Dunia dan IMF yang telah merobek-robek kehidupan manusia dan menghancurkan dasar-dasar solidaritas sosial.
Tak bisa disangkal lagi, misalnya, bahwa kaum muda yang telah bertempur di sekian perang di Afrika baru-baru ini, adalah orang-orang yang sama yang dua dasawarsa lalu berada di sekolah, dan berharap bisa hidup dengan berdagang, atau bekerja pada sektor publik, dan seharusnya bisa memandang masa depan dengan harapan bisa menyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan keluarganya. Sama halnya dengan tampilnya tentara anak-anak pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Tragedi ini tak akan terjadi kalau saja di banyak negeri keluarga besar tidak dirusak oleh kesulitan ekonomi, jutaan anak tak bertempat tinggal kecuali di jalanan, dan tidak ada yang memenuhi kebutuhan dasar mereka. (( Human Rights Watch, Slaves, Street Children and Child Soldiers (New York, 1995). ))
Perang bukan saja konsekuensi dari perubahan ekonomi; perang juga sarana untuk menghasilkannya. Jika kita perhatikan pola peperangan di Afrika ada dua tujuan yang memperlihatkan bagaimana perang dan globalisasi bertemu. Pertama, perang memaksa orang untuk meninggalkan tanahnya, yakni memisahkan produsen dari alat-alat produksinya — ini suatu kondisi bagi perluasan tenaga kerja global; dan mengalihkan pemilikan tanah untuk penggunaan kapitalis, seperti perluasan tanaman ekspor. Khususnya di Afrika, dimana tanah komunal masih luas, hal ini menjadi tujuan utama Bank Dunia (yang keberadaannya sebagai lembaga adalah kapitalisasi pertanian) — suatu tujuan yang selalu menghadapi perlawanan rakyat. Jadi, sekarang sulit melihat jutaan pengungsi, atau korban kelaparan, meninggalkan wilayah hidupnya tanpa berpikir tentang bagaimana penggusuran manusia besar-besaran ini menimbulkan kepuasan bagi perusahaan-perusahaan agrobisnis dan pejabat-pejabat Bank Dunia, yang tentunya melihat tangan kemajuan, kalau bukan tangan badan-badan yang tidak terlalu metafisik, bekerja melalui segala bencana ini.
Perang juga menghancurkan perlawanan rakyat terhadap “reformasi pasar” dengan mengubah wilayah dan merusak jaringan-jaringan sosial yang menjadi basis perlawanan tersebut. Yang signifikan di sini adalah korelasi — banyak terjadi di Afrika masa kini — antara protes anti-IMF dengan konflik. (( Federici, Silvia, “The Debt Crisis, Africa and the New Enclosures,” In Midnight Notes Collective (eds.), Midnight Oil: Work, Energy, War, 1973-1992. New York: Autonomedia, 1992 )) Mungkin hal ini paling menyolok di Aljazair, dimana perang antara pemerintah dan kaum Fundamentalis berasal dari pergolakan anti-IMF tahun 1988, ketika ribuan orang muda, selama beberapa hari, turun ke jalan-jalan di ibu kota melancarkan protes yang paling keras dan luas setelah perjuangan anti-kolonial. ((Stone, Martin, The Agony of Algeria (New York: Columbia University Press, 1997). ))
Intervensi luar — sering mengalahkan perjuangan lokal dan mengubahnya menjadi konflik global — berperan penting dalam konteks ini. Ini bisa dilihat dalam sejumlah intervensi militer oleh AS yang biasanya dibaca melalui parameter “geo-politik” dan Perang Dingin, seperti dukungan yang diberikan oleh Pemerintahan Reagan pada dasawarsa 1980-an kepada pemerintah Sudan, pemerintah Somalia, dan UNITA di Angola. Di Sudan, bantuan militer AS memperkuat rezim Numeiri untuk menghadapi koalisi pasukan-pasukan yang menentang pemotongan anggaran yang dituntut IMF. Intervensi ini pada akhirnya memang tidak bisa membendung pergolakan yang pada 198
berhasil menggulingkan Numeiri. Di Somalia, bantuan militer AS memperkuat upaya Siad Barre untuk memaksakan pemukiman terhadap suku Isaaks yang tinggalnya berpindah-pindah. Ini merupakan episode kunci dalam perang yang dilancarkan oleh badan-badan nasional dan internasional, selama dasawarsa yang lalu terhadap suku-suku penggembala di Afrika. (( Africa Watch Report, Somalia: A Government at War with Its People. New York, 1990.))Di Angola juga bantuan militer AS kepada UNITA telah memaksa pemerintah tidak hanya meninggalkan sosialisme dan bantuan tentara Cuba, tetapi juga berunding dengan Bank Dunia, dan ini jelas-jelas memperbesar kekuatan perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di negeri ini.
Bantuan Makanan sebagai Perang Gaib
Dalam banyak kasus, yang tidak bisa dicapai oleh senjata dicapai melalui “bantuan makanan” yang diberikan oleh PBB dan berbagai LSM kepada para pengungsi dan korban kelaparan yang telah dihasilkan oleh perang. Seringkali diberikan kepada kedua belah pihak yang berkonflik (seperti di Sudan dan Angola), bantuan makanan telah menjadi unsur utama mesin perang neo-kolonial masa kini, dan perekonomian perang yang diciptakannya. Pertama, keadaan ini telah memberi hak kepada organisasi-organisasi selain Palang Merang Internasional untuk melakukan intervensi di wilayah-wilayah konflik atas nama memberi bantuan kemanusiaan (pada tahun 1988 PBB meloloskan resolusi yang menegaskan hak badan donor untuk memberikan bantuan). Atas dasar ini, ia mengesahkan intervensi militer oleh AS dan PBB, seperti yang terjadi dengan “Operasi Pemulihan Harapan” di Somalia tahun 1992-93. Tetapi bahkan ketika tidak disertai oleh tentara, pengiriman bantuan makanan, dalam situasi konflik, selalu berbentuk intervensi militer, karena itu memperlama perang dengan memberikan makanan kepada kedua tentara yang bertikai (lebih banyak daripada bantuan kepada penduduk sipil), dan membantu pihak yang lebih kuat — pihak yang paling punya perlengkapan akan mendapat keuntungan terbanyak dari distribusi makanan — untuk memenangkan perang. (( Duffield, Mark, “The Political Economy of Internal War: Asset Transfer, Complex Emergencies, and International Aid,” dalam Macrae and Zwi, War and Hunger 1994, halaman 60-63.))
Lagi pula bantuan makanan telah menyebabkan terjadinya pembubaran dan pemindahan komunitas-komunitas pedesaan, melalui pembentukan pusat-pusat pembagian makanan yang sesuai dengan keperluan LSM; ia menghancurkan pertanian setempat karena menyebabkan harga barang-barang di pasaran lokal merosot; (( Duffield, “The Political Economy of Internal War: Asset Transfer, Complex Emergencies, and International Aid.”)) dan memperkenalkan sumber perang yang baru, karena prospek untuk mendapatkan pasokan makanan yang besar dan menjualnya pada pasar lokal atau internasional, mendorong timbulnya konflik baru, khususnya di negeri-negeri yang mengalami pemiskinan radikal. (( Duffield, “The Political Economy of Internal War: Asset Transfer, Complex Emergencies, and International Aid))
Begitu dipertanyakan dampak bantuan makanan, begitu besar keraguan tentang kemampuannya untuk menjamin kehidupan orang (yang lebih bisa dipenuhi dengan distribusi alat-alat dan bibit-bibit pertanian) sehingga kita harus bertanya apakah tujuannya yang sebenarnya bukan penghapusan setahap demi setahap pertanian subsisten, dan menciptakan ketergantungan jangka panjang pada makanan impor — yang menjadi inti dari reformasi Bank Dunia, dan kondisi bagi integrasi ke dalam perekonomian global. Pertanyaan ini menjadi semakin sah mengingat dampak negatif bantuan makanan telah dikenal pada dasawarsa 1960-an, ketika ia menjadi sasaran protes dan penelitian di seluruh dunia. Sejak saat itu, hampir menjadi suatu aksioma bahwa “dengan memberi mereka makanan kau tidak akan membantu orang, tetapi dengan memberi alat-alat mereka bisa memberi makan diri sendiri,” dan dalam keadaan kelaparan sekalipun, yang dibutuhkan orang untuk bertahan hidup ialah mempertahankan kemampuan mereka untuk bertani. Tidak bisa dipahami bagaimana PBB dan Bank Dunia bisa melupakan pelajaran ini, kecuali jika kita anggap munculnya bantuan makanan dalam operasi-operasi yang berkaitan dengan perang pada masa sekarang ini di Afrika, ternyata bertujuan menuntaskan komersialisasi tanah dan pertanian, dan pengambil-alihan pasar makanan Afrika oleh perusahaan agrobisnis internasional.
Harus ditambahkan bahwa “operasi bantuan” yang mengandalkan pada intervensi LSM dan organisasi-organisasi bantuan asing telah semakin memarginalkan korban-korban konflik dan kelaparan, yang tidak mendapatkan hak untuk mengontrol kegiatan bantuan itu, sementara para korban itu diberikan oleh LSM tersebut melalui pers internasional sebagai makhluk yang tidak berdaya mengurus diri sendiri. Memang, seperti disebutkan oleh Macrae dan Zwi, satu-satunya hak yang diakui adalah hak “donor” untuk memberikan bantuan, yang seperti telah kita lihat mereka gunakan (di Somalia pada tahun 1993) untuk meminta intervensi militer. (( Macrae, J. and Anthony Zwi, War and Hunger: Rethinking International Responses to Complex Emergencies (London: Zed Books, 1994).”))
Moçambique: Sebuah Kasus Paradigma tentang Perang Masa Sekarang
Seberapa jauh bantuan kemanusiaan bisa digunakan untuk merekolonisasi suatu negeri, menyerahkannya kepada pasar, dan menghancurkan perlawanannya terhadap ketergantungan ekonomi dan politik paling baik bisa dilihat dalam kasus Moçambique. (( Hanlon, Joseph, Mozambique Who Calls the Shots? (Oxford: James Currey, 1991) dan Joseph Hanlon, Peace Without Profit. How the IMF Blocks Rebuilding in Mozambique (Oxford: James Currey, 1996).)) ` Perang yang telah dilancarkan oleh RENAMO (tentara yang dibiayai oleh rezim apartheid Afrika Selatan dan Amerika Serikat) ((Catatan penerjemah: RENAMO (Resistencia Nacional de Moçambique, Perlawanan Nasional Moçambique) adalah satuan tentara yang dibikin Afrika Selatan untuk melakukan sabotase militer, ekonomi, dan sosial dengan tujuan membuat pemerintah Moçambique tidak mampu menyediakan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya sehingga rakyat kehilangan kepercayaan padanya dan dengan demikian juga pada pembangunan sosialis yang berupaya diwujudkannya. )) selama satu dasawarsa terhadap negeri ini mengandung semua unsur kunci perang kolonial baru masa kini:
i. penghancuran prasarana (re)produksi fisik dan sosial negeri ini untuk menciptakan krisis reproduksi dan memaksakan subordinasi ekonomi dan politik. Hal ini dicapai oleh RENAMO melalui (a) penggunaan teror sistematis terhadap penduduk (pembantaian, perbudakan, pemotongan anggota badan yang menghebohkan) yang memaksa orang meninggalkan tanahnya, dan mengubah rakyat menjadi pengungsi (lebih dari satu juta orang terbunuh dalam perang ini); (b) perusakan jalan, jembatan, rumahsakit, sekolah, dan yang terpenting penghancuran semua kegiatan dan aset pertanian — alat subsistensi dasar petani. (Kasus Moçambique memperlihatkan arti penting strategi “perang intensitas rendah,” yang dimulai dengan penggunaan ranjau darat, sebagai alat untuk mencegah orang pergi bertani, dan dengan demikian menciptakan situasi kelaparan yang memerlukan bantuan luar negeri
ii. Penggunaan “bantuan makanan” yang dikirimkan kepada orang-orang yang terusir dan korban-korban kelaparan dengan persyaratan ekonomi, menciptakan ketergantungan makanan jangka panjang, dan merusakkan kemampuan negeri untuk mengontrol masa depan ekonomi dan politiknya. (Tidak boleh dilupakan bahwa bantuan makanan adalah pendorong keberhasilan agrobisnis AS, yang mendatangkan keuntungan berlipat-dua: pertama dengan menyalurkan surplus produksinya yang berlimpah, kemudian dengan mengambil keuntungan dari ketergantungan negeri-negeri yang dibantu pada makanan impor).
iii. Pemindahan otoritas pengambilan keputusan dari negara ke organisasi-organisasi dan LSM internasional. Begitu menyeluruh serangan terhadap kedaulatan negara Moçambique, sehingga setelah negeri ini dipaksa meminta bantuan, Moçambique harus menerima supaya LSM diberi lampu hijau dalam mengelola operasi bantuan kemanusiaan, termasuk hak memasuki setiap bagian negeri, dan membagikan makanan langsung kepada penduduk, di tempat-tempat yang mereka pilih. Seperti diperlihatkan Joseph Hanlon dalam bukunya, Mozambique: Who Calls the Shots?, pemerintah kesulitan memprotes politik LSM, bahkan yang dilakukan oleh LSM sayap kanan sekalipun seperti World Vision, yang menggunakan distribusi bantuan untuk propaganda politik dan agama; atau LSM seperti CARE yang dicurigai bekerja-sama dengan CIA.
Kesimpulan: Dari Afrika ke Yugoslavia dan Selebihnya
Kasus Moçambique itu tidak unik. Tidak saja sebagian besar negeri Afrika praktis dijalankan oleh badan-badan dan LSM dukungan AS, tetapi kelanjutannya — penghancuran infrastruktur, pemaksaan reformasi pasar, rekonsiliasi paksa dengan musuh-musuh pembunuh yang “tak bisa didamaikan,” destabilisasi — dalam tingkatan dan kombinasi yang berbeda-beda terjadi di mana-mana di Afrika sampai sekarang. Kerusakan yang ditimbulkan sedemikian rupa sehingga beberapa negeri, seperti Angola dan Sudan, berada dalam keadaan darurat (emergency) terus-menerus dan daya hidupnya dipertanyakan.
Melalui kombinasi perang finansial dan militer inilah perlawanan rakyat Afrika terhadap globalisasi diredam. Cara yang sama digunakan untuk meredam perlawanan rakyat Amerika Tengah dan Caribia (El Salvador, Nicaragua, Guatemala, Panama, Grenada) yang pada dasawarsa 1980-an semuanya mengalami intervensi terbuka militer AS.
Perbedaannya adalah bahwa di Afrika, hak AS/PBB untuk mengirim tentara secara umum disahkan atas nama “pemeliharaan perdamaian,” “penciptaan perdamaian,” dan “intervensi kemanusiaan,” kemungkinan karena dalam keadaan apapun, pendaratan marinir (seperti yang terjadi di Panama dan Grenada) secara internasional tidak akan diterima. Tetapi inilah muka baru kolonialisme sekarang yang tidak hanya ada di Afrika. Inilah wajah kolonialisme yang tujuannya adalah menguasai kebijakan dan sumber alam bukan menguasai wilayah jajahan. Dalam perspektif politik, inilah kolonialisme “yang bebas pergi ke mana saja untuk berbuat apa saja” yang tujuannya adalah “pemerintahan” (“governance”) bukan “pemerintah” (“government”), karena bentuk yang terakhir melibatkan komitmen pada susunan kelembagaan dan ekonomi tertentu, sementara imperialisme usaha bebas pada masa sekarang ingin mempertahankan kebebasannya untuk selalu memilihi susunan kelembagaan, bentuk-bentuk ekonomi, dan tempat-tempat yang paling sesuai untuk kebutuhan-kebutuhannya.
Akan tetapi seperti kolonialisme lama, tentara dan pedagang itu tidak terpisah jauh, karena seperti diperlihatkan oleh perkawinan distribusi bantuan makanan dengan intervensi militer di masa sekarang.
Apa makna skenario ini untuk gerakan anti-perang, dan makna klaim yang dibuat oleh artikel ini bahwa perang masih ada pada agenda global?
Pertama, bahwa kita bisa menduga situasi yang berkembang di Afrika setelah proses penyesuaian — dengan gabungan peperangan ekonomi dan militer serta rentetan penyesuaian struktural-konflik-intervensi — akan direproduksi terus-menerus dalam tahun-tahun mendatang di seluruh Dunia Ketiga. Kita juga bisa menduga terjadinya semakin banyak perang di negeri-negeri bekas sosialis, karena lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan yang mendorong proses globalisasai menganggap industri milik negara dan sisa-sisa sosialisme, seperti halnya komunalisme Afrika, sebagai hambatan bagi berkembangnya “usaha bebas”.
Dalam hal ini perang NATO terhadap Yugoslavia sangat mungkin merupakan contoh pertama apa yang akan terjadi, karena berakhirnya sosialisme-negara sedang digantikan dengan liberalisasi dan pasar bebas, gerak NATO ke Timur memberikan “kerangka keamanan.” Yang sangat erat adalah hubungan antara “intervensi kemanusiaan” NATO di Yugoslavia dengan “intervensi kemanusiaan” di Afrika sehingga para pekerja bantuan kemanusiaan — yang merupakan elemen kunci mesin perang masa kini — dibawa dari Afrika ke Kosovo. Di Kosovo para pekerja kemanusiaan memperoleh kesempatan mengkaji nilai relatif nyawa rakyat Afrika dan Eropa di hadapan mata organisasi-organisasi internasional, yang diukur dengan mutu dan jumlah sumberdaya yang diberikan kepada para pengungsi.
Kita juga harus menyoroti bahwa keadaan yang kita hadapi berbeda dengan imperialisme akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Karena negara-negara imperialis pada masa itu terikat pada, dan bertanggungjawab atas susunan politik, infrastruktur dan sosial di wilayah tertentu. Di masa imperialisme kapal perang dan senapan mesin, yang bisa membunuh ribuan orang dari jauh, tanggungjawab atas pembantaian, kelaparan, dan bentuk-bentuk lain pembunuhan massal, selalu bisa diidentifikasi. Kita tahu, misalnya, bahwa Raja Leopold dari Belgia lah yang bertanggungjawab atas pembunuhan jutaan orang di Kongo. (( Hochschild, Adam, King Leopold’s Ghost (Boston: Houghton Mifflin Co., 1998). ))Sebaliknya, di masa sekarang, jutaan orang Afrika mati setiap tahun akibat penyesuaian struktural, tetapi tak seorangpun bisa dimintai pertanggungjawaban. Penyebab-penyebab sosial kematian di Afrika semakin tidak bisa dilihat seperti tangan tak terlihat pasar kapitalis. (( Walton, J. and D. Seddon, Free Markets and Food Riots (Oxford: Basil Blackwell,1994). ))
Terakhir, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa hanya melakukan penggalangan untuk menentang pemboman saja, juga tidak bisa menuntut penghentian pemboman dan menganggap itulah “perdamaian.” Kita mengetahui dari skenario pasca-perang di Iraq, bahwa penghancuran infrastruktur sebuah negeri menghasilkan kematian yang lebih banyak daripada pemboman itu sendiri. Yang perlu kita pelajari adalah bahwa kematian, kelaparan, penyakit, penghancuran, sekarang ini merupakan kenyataan sehari-hari bagi amat banyak orang di seluruh planet kita. Lebih dari itu, penyesuaian struktural — program yang paling universal di Dunia Ketiga sekarang ini, adalah sesuatu yang dalam semua bentuknya (termasuk Akta Pertumbuhan dan Kesempatan Afrika), mewakili wajah kontemporer kapitalisme dan kolonialisme — adalah perang. Jadi, program gerakan anti-perang harus memasukkan penghapusan penyesuaian struktural, sekali lagi, dalam segala bentuknya, kalau kita ingin mengakhiri perang dan proyek imperialistisnya.
Silvia Federici , Dosen filsafat di Hoffstra University, Long Island, USA – Juni 1999 diterjemahkan oleh Nug Katjasungkana
Bibliography
- Africa Watch Report, Somalia: A Government at War with Its People. New York, 1990.
- Association of Concerned Africa Scholars (ACAS), “The Aid Debate” ACAS Bulletin, No 47, Fall 1996.
- Allen, Chris, “The Machinery of External Control,” Review Of African Political Economy, No. 76, Vol. 2 . March 1998.
- Bayart, Jean-Francois et al., The Criminalization of the State in Africa (Oxford: The International African Institute in Association with James Curry, 1999).
- Chossudovsky, Michel. The Globalization of Poverty: Impacts of the IMF and World Bank Reforms (London: Zed Books, 1998).
- Ciment, James, Algeria: The Fundamentalist Challenge (New York: Facts On File, Inc. ,1997).
- Clough, Michael, Free at Last? U.S. Policy Toward Africa at the End of the Cold War (A Council of Foreign Relation Book, New York, 1992).
- Current History, “Africa’s Wars,” Current History, May 1999.
- Duffield, Mark, “The Political Economy of Internal War: Asset Transfer, Complex Emergencies, and International Aid,” dalam Macrae and Zwi, War and Hunger 1994.
- de Waal, Alex, Famine Crimes: Politics and the Disaster Relief Industry in Africa (Oxford: African Rights and the International African Institute in association with James Currey, 1997).
- Ghai, Dharam, The IMF and the South (London: Zed Books, 1991).
- Hanlon, Joseph, Mozambique Who Calls the Shots? (Oxford: James Currey, 1991).
- ____________, Peace Without Profit. How the IMF Blocks Rebuilding in Mozambique (Oxford: James Currey, 1996).
- Human Rights Watch/Africa, Child Soldiers in Liberia (New York, 1994).
- ____________, Slaves, Street Children and Child Soldiers (New York, 199 ).
- Hochschild, Adam, King Leopold’s Ghost (Boston: Houghton Mifflin Co., 1998).
- Macrae, J. and Anthony Zwi, War and Hunger: Rethinking International Responses to Complex Emergencies (London: Zed Books, 1994).
- Nzongola-Ntalaja ed., The Crisis in Zaire: Myths and Realities (Trenton, N.J.: Africa World Press, 1986).
- Outram, Quentin. “‘It’s Terminal Either Way’: An Analysis of Armed Conflict in Liberia, 1989-1996.” Review Of African Political Economy, No. 73, Vol. 24, September 1997.
- Rau, Bill, From Feast to Famine. Official Cures and Grassroots Remedies in Africa’s Food Crisis (London: Zed Books, 1991).
- Prunier, Gerard, The Rwanda Crisis. History of a Genocide (New York: Columbia University Press, 199 ).
- Stone, Martin, The Agony of Algeria (New York: Columbia University Press, 1997).
- Tanner, Victor, “Liberia Railroading Peace,” Review of African Political Economy, No. 7 , Vol. 2 , March 1998.
- Walton, J. and D. Seddon, Free Markets and Food Riots (Oxford: Basil Blackwell,1994).
- Williams, Phil, “The Nature of Drug-Trafficking Networks,” Current History, April 1998.