Peristiwa aksi protes mahasiswa universitas Trisakti 12 Mei 1998, aksi protes Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 dan aksi protes Rancangan Undang Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya 23 September 1999 belum terungkap meskipun desakan dari masyarakat begitu kuat.
Dalam peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, empat orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka akibat tindak kekerasan aparat keamanan saat menangani demonstrasi mahasiswa. Sedangkan pada peristiwa aksi protes 13 November 1998, 17 orang tewas dan 465 oang luka-luka akibat tembakan aparat dan pukulan benda tumpul. Hal serupa juga terjadi pada peristiwa aksi protes Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, 23 September 1999, 9 orang tewas akibat tembakan dan ratusan lainnya luka-luka. Semua korban jatuh ketika aparat menghalau unjuk rasa yang digelar oleh mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya.
Para orang tua korban ketiga peristiwa itu tak tinggal diam, mereka bersatu bersama-sama menuntut pertanggungjawaban negara terhadap tindak pelanggaran HAM dalam penanganan aksi massa. Tuntutan orang tua korban mendapatkan reaksi dari DPR yang membentuk Pansus (Panitia Khusus) untuk ketiga kasus tersebut dan kemudian dikenal dengan Pansus Trisakti, Semanggi I dan II. Dibentuknya Pansus sedikit memberikan harapan akan terungkapnya kasus tersebut dan membuka kesempatan mengadili pihak yang paling bertanggung jawab.
Namun selama proses kerja yang berlangsung, Pansus ternyata membuat masyarakat dan orang tua korban kembali patah arang. Sejak proses awal, Pansus telah menunjukkan bahwa ada kehendak untuk tidak menuntaskan kasus tersebut jika melihat bagitu banyak kelemahan para anggota pansus dalam rapat kerjanya, seperti misalnya kurang memahami HAM dan jarang hadir dalam rapat.
Kehendak Pansus untuk tidak menuntaskan ketiga kasus aksi protes itu semakin nyata ketika dalam kesimpulannya yang dihasilkan melalui voting, Pansus merekomendasikan penyelesaian melalui pengadilan militer, dan keputusan ini diumumkan dalam rapat Paripurna pada 9 Juli 2001. Sementara itu tuntutan masyarakat, orang tua korban juga saran dari sejumlah pakar HAM menegaskan bahwa kasus tersebut harus diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Alasan yang mendasarinya adalah karena kasus tersebut terjadi pada masa lalu atau sebelum disahkannya Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Jika menelusuri seluruh proses kerja Pansus, terdapat banyak kelemahan yang secara nyata terlihat. Minimnya kehadiran anggota dalam rapat dengar pendapat umum merupakan satu kelemahan yang paling signifikan. Presentase kehadiran anggota Pansus seluruhnya hanyalah 23, 25% dari dua puluh lima rapat dengar pendapat umum yang digelar. Bahkan sebelas orang tidak pernah hadir sama sekali. Anggota Pansus seluruhnya berjumlah 50 orang dan berisi perwakilan semua fraksi.
Kelemahan lainnya adalah kurangnya pengetahuan anggota Pansus mengenai hak asasi manusia dan ketiga peristiwa aksi protes tersebut. Anggota Pansus tidak memahami pengertian HAM baik secara konteks maupun konseptual termasuk Undang-Undang No. 26 tentang Pengadilan HAM. Padahal dalam rapat dengar pendapat, Pansus telah mengundang Komnas HAM dan lembaga penegak HAM sebanyak dua kali, serta aktivis HAM seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Munir. Sebagai contoh ketika mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Wiranto menyangkal bahwa yang terjadi saat itu bukanlah kejahatan terhadap kemanusiaan, anggota Pansus tidak dapat berkomentar sedikitpun.
Sedangkan mengenai ketiga peristiwa, pengetahuan anggota Pansus juga amat buruk. Contohnya, anggota Pansus tidak mengetahui korban-korban yang meninggal di tiap peristiwa sehingga sering salah menyebut nama korban dan peristiwanya. Padahal data-data investigasi yang diberikan oleh sejumlah NGO dan mahasiwa sudah cukup banyak. Contoh lainnya adalah ketika Wiranto menjelaskan peristiwa Trisakti sambil memutar film Kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998, anggota Pansus juga tidak berkomentar. Padahal kasus Trisakti terjadi sebelum peristiwa Kerusuhan Mei 13-15 1998.
Pemahaman peristiwa dari perspektif korban juga tidak dilakukan meski dua kali orang tua korban diundang dalam rapat dengar pendapat. Kesempatan itu tidak digunakan dengan baik oleh para anggota Pansus untuk mendengarkan kesaksian korban mengenai peristiwa. Pemahaman peristiwa dari perspektif korban menjadi satu landasan terpenting dalam melihat persoalan hak asasi manusia karena berhadapan dengan korban berarti berhadapan dengan fakta pelanggaran HAM.
Pansus juga telah melampaui peran dan fungsinya dalam upaya penuntasan peristiwa pelanggaran HAM itu. Sebagai lembaga politik, pansus tidak berhak bertindak selayaknya lembaga yudikatif, seperti misalnya memutuskan apakah proses legal sebuah perkara dapat diteruskan atau menentukan proses legalnya dan melakukan penyelidikan.
Peran DPR diatur dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pasal 42 mengenai pengadilan untuk pelanggaran HAM di masa lalu. Di dalam pasal tersebut dikatakan bahwa DPR hanya merekomendasikan kepada presiden untuk membuat Keppres (Keputusan Presiden) mengenai pengadilan HAM ad hoc. Namun ternyata yang terjadi tidak demikian, dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II Pansus turut menganalisa dan memutuskan satu perkara berikut rekomendasi penyeselaian legalnya.
Kemudian hal yang paling ironis bahwa rekomendasi Pansus untuk kasus tersebut dihasilkan melalui mekanisme voting karena terdapat dua usulan yang bertentangan diantara anggota Pansus. Usulan pertama adalah penyelesaian melalui pelanggaran HAM ad hoc yang direkomendasikan oleh tiga partai yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa sedangkan partai lainnya, termasuk Partai Golkar dan TNI/Polri memilih pengadilan militer. Kemudian untuk mendapatkan satu rekomendasi maka dilakukan voting yang menghasilkan rekomendasi pengadilan mililter dengan perbandingan suara 14:5. Jumlah anggota yang hadir ketika voting dilakukan hanyalah 19 orang.
Voting yang dilakukan tidak dapat dikatakan sahih karena masih ada syarat yang tidak terpenuhi seperti jumlah anggota yang hadir. Saat itu jumlah anggota yang hadir hanya 19 orang akan tetapi dalam daftar hadir tercatat 26 orang anggota. Padahal untuk melakukan pemungutan suara yang sesuai peraturan seharusnya dihadiri oleh setengah jumlah anggota ditambah satu (25 +1) dari jumlah seluruhnya yaitu lima puluh orang. Ini merupakan manipulasi data agar voting dapat dilaksanakan dan juga melanggar tata tertib DPR mengenai pemungutan suara.
Meskipun demikian, penggunaan mekanisme voting oleh Pansus merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab secara moral. Penggunaan voting dalam persoalan HAM berarti meminggirkan fakta-fakta yang ada, misalnya fakta korban, pelaku dan kerusakan fisik lainya terpinggirkan begitu saja. Untuk menentukan apakah suatu kasus merupakan pelanggaran HAM atau bukan, tidak dapat bergantung dari banyaknya suara yang memilih, sekalipun syaratnya terpenuhi untuk quorum. Sebaliknya, fakta-fakta dilapangan, seperti korban, menjadi teramat penting untuk melihat tindak pelanggaran HAM.
Keputusan pansus menimbulkan persoalan baru dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Di tataran legal, muncul pertanyaan bagaimana peran lembaga politik seperti DPR dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Pertanyaan ini lahir dari ketidakjelasan interpretasi dan implementasi peran DPR dalam Undang-Undang no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Kemudian di tingkatan politik, kehendak politik dari para wakil rakyat belum untuk menyelesaiakan pelanggaran HAM tidak terlihat. Ini berarti pengungkapan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih menemui banyak benturan baik ditingkatan legal maupun politik.
Hasil kerja Pansus membuktikan bahwa DPR telah menjadi lembaga pelanggeng impunity yang melindungi para pelanggar HAM. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa DPR sudah tidak lagi dapat dipercaya berikut partai-partai yang menolak pelanggaran HAM karena melecehkan rasa keadilan di masyarakat.
Rahadian, Relawan di Tim Relawan untuk Kemanusiaan