Laporan Hasil Penyelidikan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II

0
1461

I. Pengantar

Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi mandat yang dikeluarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanggal 27 Agustus 2001, Nomer 034/KOMNAS HAM/VII/2001 berdasarkan pertimbangan bahwa dalam peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi I 13-14 Nopember 1998 dan Semanggi II 23-24 September 1999, diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat.

Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto yangdilanjuti dengan pemerintaha BJ Habibie, penanganan demonstrasi dilakukan secara represif, sebagaimana terjadi pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Atas kejadian ini pemerintah mnanggapi degan menggelar pegadilan militer untuk kasus trisakti dan memproses lebih lanjut pekara Semanggi I dan II. Disamping itu DPR RI juga membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II. Namun usaha-usaha penegakan hukum ini menimbulkan kekecewaan besar dari kalangan masyarakat, terutama korban.

Komnas HAM menganggap perlu melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Untuk itu, pada 27 Agustus 2001 dengan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 dibentuk KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II yang masa kerjanya diperpanjang dengan selama 90 (sembilan puluh) hari dengan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 043/Komnas HAM/XI/2001 tanggal 27 November 2001 dan diperpanjang kembali selama satu bulan pada 27 Februri 2002. Masa kerja KPP berlangsung dari 27 Februari 2001 hingga 27 Maret 2002.

Guna mendukung penyelidikan tersebut Komisi menggunakan prinsip-prinsip dasar penyelidikan yang telah diterima secara internasional dengan terlebih dahulu mengumpulkan informasi sekunder dan tersier mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Komisi juga secara resmi mengajukan permintaan dokumen-dokumen yang diperlukan kepada Departemen Kehakima dan HAM RI, Polda Metro Jaya, RSAL Mintohardjo, Mahkamah Militer II – 08 Jakarta. Disamping itu Komisi melakukan penyelidikan lapangan ke berbagai lokasi kejadian seperti Kampus Universitas Trisakti dan Universitas Atmajaya. Perlengkapan data dan informasi dilakukan pula dengan wawancara dan pemanggilan sejumlah saksi seperti civitas akademika, mahasiswa, masyarakat korban dan beberapa dokter forensik sebagai saksi ahli.

Dalam proses penyelidikannya, KPP menemukan hambatan berupa tidak dipenuhinya pemanggilan sejumlah saksi yang berasal dari TNI atau Polri sehingga KPP menggunakan hak Sub Poena sebagaimana dijamin dalam pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999 dan diperkuat dengan keputusan Pengadilan Negeri sebagaimana tertuang dalam urat Pengadilan Negeri/Hak Asasi Manusia Jakarta Pusat No.W7.Dc.Hn. 628.II.2002.02 tanggal 21 Februari 2002.

II. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

1. Pengertian

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan kejahatan yang sangat serius sehingga menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis). Dalam hukum internasional pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana terumus dalam kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan menurut hukum kebiasaan internasional maupun prisip-prinsip hukum umum. Praktik-praktik internasional menunjukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan jus cogens.

Kejahatan demikian menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional seara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan. Oleh karena itu, terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun dan dilakukan oleh warga negara lain.

Disamping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemanusiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa norma-norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Demikian pula di tataran nasional. UU Pengadilan HAM No.26/2000 (pasal 9) mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.

Unsur penting dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang dilakukan secara sistematis (systematic) atau meluas (widespread) dan serangan itu ditujukankepada warga sipil. Tindak kejahatan inilah yang diduga terjadi pada kasus Trisakti, Semanggi I dan II.

2. Prinsip non retroaktif dalam kejahatan terhadap kemanusiaan

Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secacara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif
2. Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik memungkinkan pengecualian asas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.

3. Pertanggungjawaban komando

Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility). Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dibawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission). Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan penyelidikan. Sebagai contoh dari pertangungjawaban pidana karena pembiaran adalah Jenderal Yamashita, Perdana Menteri Tojo, Menteri Luar Negeri Hirota (pada pengadilan Tokyo), Perdana Menteri Kambada dari Rwanda dan yang sekaran masih berlangsung proses persidangannya Presiden Slobodan Milosevic, di Den Haag. Konsep demikian sudah diterima cukup lama dalam hukum internasional, terkahir terkodifikasi dalam Statuta Roma. Konsep yang sama diakui dalam Undang-undang Pengadilan HAM.

4. Prinsip non retroaktif

Berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional yang diakui dan dihormati dalam hukum nasional prinsip non retroaktif tidak berlaku untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.

III. FAKTA DAN POLA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP HAM menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang dilakukan oleh pelaku tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut secara khusus adalah mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap kekuasaan politik untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU PKB.

Ditemukan pula bahwa tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia tersebut secara efektif menggunakan institusi-institusi teritorial melalui Kodam dan Polda. Lebih dari itu terdapat pulapengerahan pasukan Kotama Fungsional seperti Kostrad yang hanya dapat digunakan atas perintah petinggi TNI (ketika itu ABRI). Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian termasuk penggunaan alat-alat kekerasan secara tidak terukur (execive use of force) terhadap masyarakat ini tegas-tegas didukung dan dilandasi pada kebijakan strategis petinggi TNI dan Kepolisian (Panglima TNI maupun Kapolri).

KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.

Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan dalam ketiga peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini:

a. Pembunuhan. Telah terjadi pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang panjang, yaitu pada Mei 1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan pembunuhan itu dilakukan terhadap mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis, anggota masyarakat yang berada disekitar lokasi demonstran, ataupun anggota masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi demonstran. Pembunuhan serupa juga dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).

b. Penganiayaan. Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI (dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan, tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan yang serius.

c. Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara. Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk menceritakan apa yang dialaminya.

d. Penghilangan paksa. Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu menjelaskan nasib dankeberaan mereka.

e. Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik. Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik dan mental terhadap korban.

IV. Pemenuhan unsur-unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Pidana.

1. SERANGAN

Adanya serangan yang sistematis atau meluas terhadap warga masyarakat merupakan ciri utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari analisis terhadap ketiga rangkaian kejadian di atas disimpulkan bahwa telah terpenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Di bawah ini kami jabarkan analisis terhadap serangan beserta konsekuensi pertanggungjawaban pidananya.

Serangan yang dilakukan aparat TNI dan POLRI pada tiga rangkaian peristiwa tersebut sangat jelas bukan merupakan serangan dalam pengertian perang. Tetapi serangan dalam pengertian “suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”, sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan penyelidikan, dalam usaha menghadang dan membubarkan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat, satuan kepolisian dan TNI melakukan penyerangan ke dalam kampus-kampus, dengan cara menembak, memukul dan menendang. Penyerangan itu tampak dengan jelas dalam peristiwa Trisakti, dimana aparat militer dan polisi menyerang ke arah kampus Trisakti dan Untar I dan II dengan menggunakan senjata api berpeluru hampa, karet dan tajam. Selain melakukan penyerangan terhadap demonstran hingga ke dalam kampus, satuan-satuan tugas tersebut juga melakukan pemukulan dan penembakan membabi buta (indiscriminate shooting) ke arah demonstran dan masyarakat umum (non-demonstran) di wilayah sekitar kampus Trisakti.

Penyerangan ke kampus Universitas Atmajaya di kawasan Semanggi memiliki pola yang menyerupai penyerangan di kampus Trisakti, yaitu dengan melakukan pengejaran terhadap para demonstran hingga masuk ke dalam kampus dengan disertai pemukulan dan penembakan secara membabi buta (indiscriminate shooting) dengan peluru tajam. Dalam penyerangan, aparat TNI dan POLRI sama sekali tidak mengindahkan standar internasional tentang penggunaan kekerasan dan senjata api yang tertuang di dalam Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum.

Penyerangan terhadap para demonstran pada ketiga peristiwa ini dan di daerah-daerah luar Jakarta tampak tidak terukur dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of force). Sebagaimana standar operasi pengendalian huru-hara penggunaan gas air mata, meriam air dan tembakan salvo memang dilakukan, akan tetapi penggunaan cara itu terutama senjata api dengan peluru karet atau tajam tetap harus dibatasi. Pada ketiga rangkaian peristiwa, para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat penghalau, tapi banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa kejadian terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi pengendalian itu di luar batas kewajaran. Setidaknya terdapat dua kasus penganiayaan (Semanggi I dan Semanggi II) yang dilakukan oleh pasukan pengendali demonstrasi sehingga mengakibatkan korban tewas.

Pola penyerangan yang terjadi di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya (yang dikenal dengan peristiwa Semanggi I) dan di jembatan Semanggi (yang dikenal dengan peristiwa Semanggi II), juga terjadi di daerah-daerah lain akan tetapi tidak terbatas pada penyerangan di sekitar kampus IKIP Negeri Yogyakarta yang menyebabkan tewasnya Mozes Gatot Katja, seperti di Purwokerto, Lampung, dan Palembang.

Selain dengan menggunakan alat-alat kekerasan seperti senjata api, senjata tajam dan pentungan, penyerangan juga dilakukan dengan pernyataan-pernyataan verbal yang mendorong atau membenarkan penyerangan yang dilakukan. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Menhankam Pangab (saat itu) Jenderal TNI Wiranto, yang mengatakan: “Saya sudah perintahkan jajaran ABRI untuk mengambil tindakan tegas terhadap kegiatan yang nyata-nyata sudah mengarah kepada hal-hal yang sudah bersifat anarkhis”. Dari fakta-fakta yang ada, pernyataan-pernyataan serupa juga dikemukan oleh pejabat-pejabat militer dan kepolisian yang bertanggungjawab dalam menangani aksi-aksi mahasiswa ketika itu.

A. SERANGAN YANG SISTIMATIK

Yang dimaksud dengan serangan sistematik adalah berkaitan dengan ada atau tidaknya suatu kebijakan atau rencana yang mendasari terjadinya serangan tersebut. Sebagaimana dipaparkan pada bab II laporan ini, juga tercakup dalam pengertian sistematik itu adalah persiapan penggunaan atau pengerahan sumber-sumber fasilitas negara, baik militer maupun lainnya dalam melakukan penyerangan.

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelidikan, unsur sistematik dari penyerangan pada ketiga rangkaian peristiwa itu sangat nyata terpenuhi. Pernyataaan lisan yang menunjukkan adanya kebijakan menyerang dengan kekerasan terhadap para demontrans tampak pada pernyataan Wiranto. “Saya sudah perintahkan jajaran ABRI untuk mengambil tindakan tegas terhadap kegiatan yang nyata-nyata sudah mengarah kepada hal hal yang sudah bersifat anarkhi.” Selain itu terlihat juga pada perintah-perintah kepada satuan tugas pengamanan di lapangan untuk melakukan penghadangan dengan barisan pagar betis untuk mencegah demonstran menuju/mendekati, masuk ke dalam atau menduduki obyek-obyek vital yang telah ditetapkan steril dari aksi-aksi demonstrasi menentang Sidang Istimewa MPR 1998.

Rencana untuk menghadapi gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat secara formal dijabarkan dalam kebijakan Operasi Mantap ABRI (1997-1998) dan Operasi Mantap Brata (1999). Melalui kedua kebijakan operasional inilah, yang kemudian diturunkan dalam berbagai bentuk operasi di berbagai wilayah (di berbagai Kodam), terjadi penghadangan dan penyerangan terhadap demontransi mahasiswa pada tiga peristiwa yang diselidiki.

Unsur sistematik juga terpenuhi dari tujuan politik yang hendak dicapai dari penyerangan tersebut, yakni mempertahankan rejim politik saat itu (baik rejim politik Soeharto maupun rejim politik BJ Habibie). Sumber-sumber daya negara, seperti angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisiaan, telah dikerahkan guna mencapai tujuan politik tersebut. Dalam konteks mencapai tujuan politik inilah kemudian mahasiswa dan masyarakat yang menuntut Reformasi itu dipersepsikan sebagai “perusuh negara”, dengan mengatakan tindakan mereka sudah anarkis.

Unsur sistematik juga terpenuhi dari pengerahan sumber-sumber militer dan kepolisian seperti pengerahan pasukan dengan segala peralatan kekerasannya. Jumlah pasukan yang dikerahkan dalam menangani ketiga peristiwa tersebut sangat masif, sebagai contoh pada tanggal 13 November 1998 dalam peristiwa Semanggi I pasukan TNI dan POLRI yang dikerahkan berjumlah 18.040 orang. Selain pengerahan sumber-sumber publik, juga dibentuk dan dikerahkan Pam Swakarsauntuk menghadapi aksi-aksi mahasiswa yang semakin luas. Melalui pembentukan Pam Swakarsa ini, Polda Metro Jaya telah melibatkan lebih kurang 125 ribu warga sipil, khususnya pada peristiwa Semanggi I.

B. SERANGAN MELUAS

Selain terpenuhinya unsur sistematik pada ketiga rangkaian peristiwa tersebut juga memenuhi unsur meluas (widespread). Dari berbagai praktik selama ini dan mengacu pada hukum hak asasi manusia internasional, yang dimaksud dengan ‘meluas’ mengacu kepada frekuensi penyerangan yang terus berulang (frequent), skala dari suatu perbuatan, baik dari segi sebaran tempat maupun jumlah korban. Kendati demikian, pengertian meluas, tidak selalu menunjuk pada adanya rententan tindakan kejahatan yang berlangsung secara kumulatif dan terjadi di berbagai tempat secara bersamaan. Tetapi besaran (magnitude) yang luar biasa dari sebuah tindakan kejahatan yang terjadi sudah cukup (sufficient) mengatakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berdasarkan hasil penyelidikan pada ketiga rangkaian peristiwa itu, unsur meluas terpenuhi dengan nyata dari frekuensi serangan yang terus-menerus dilakukan dan skala perbuatan yang terjadi di sana. Pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II penyerangan yang dilakukan berlangsung berulang-ulang, dengan melakukan penembakan secara membabi buta (indiscriminate shooting) dan pemukulan terhadap warga sipil (yang sebagian besar mahasiswa). Tindakan yang berulang ini tidak pernah dikoreksi, tetapi justru dibenarkan dengan alasan pengamanan kerusuhan.

Skala perbuatan yangditemukan di sana dapat dikatakan sangat luas, yakni bukan hanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi, tetapi juga mencakup perbuatan-perbuatan kejam dan tidak manusiawi lainnya berlangsung pada ketiga rangkaian peristiwa tersebut. Selain itu, terpenuhinya unsur meluas juga terlihat pada besarnya jumlah warga sipil yang menjadi korban dari rangkaian perbuatan pada tiga peristiwa tersebut, yang bukan hanya terbatas pada kalangan mahasiswa tetapi masyarakat pada umumnya (directed against a multiciplity of victim). Rangkaian tindak kejahatan yang dilakukan dalam tiga peristiwa tersebut juga memiliki magnitude yang luar biasa, yakni pembunuhan yang merupakan pelanggaran hak hidup, yang merupakan hak fundamental dan tidak dapat ditunda dalam keadaan apapun.

C. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

Pertanggungjawaban pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan secara individual (individual criminal responsibility) baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab individual ini dikenakan baik pada mereka yang berada di lapangan maupun mereka yang karena kapasitasnya memikul tanggung jawab komando (command responsibility). Secara konseptual pertanggungjawaban komando ini dikenakan atas perbuatan yang dilakukan baik secara commission maupun omission, sebagaimana disinggun di atas.

Secara garis besar mereka yang terlibat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II itu dapat dipilah dalam mereka yang bertanggungjawab secara langsung karena melakukan salah satu atau lebih dari bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan mereka yang bertanggungjawab karena kapasitasnya sebagai penanggungjawab komando (command responsibility).

Pertama, tentang mereka yang bertanggungjawab karena kapasitasnya sebagai komando. Operasi keamanan nasional mempunyai mekanisme yang mengikat seluruh individu yang terlibat dalam operasi tersebut melalui rantai komando, yang menjelaskan bagaimana tingkat otoritas dari individu-individu tersebut. Hirarki rantai komando dalam operasi keamanan sekaligus menunjukkan bagaimana tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi berhubungan dengan tanggung jawab negara terhadap HAM warga negara. Komando di tingkat taktis berkaitan dengan tindakan-tindakan satuan keamanan yang melanggar HAM yang dilakukan secara langsung dalam penyerangan dan penembakan terhadap penduduk sipil pada Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

Dari ketiga peristiwa di atas KPP HAM berpendapat sejumlah individu harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan dengan pembiaran (omission) maupun yang dilakukan secara langsung. Tanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut berada pada mereka yang memiliki tugas dan kewenangan pada tiga tingka, yaitu:
a. individu-individu yang diduga melakukan kejahatan kemanusiaan secara langsung di lapangan yaitu sejumlah aparat TNI dan POLRI
b. individu-individu yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena tindakan dan posisinya di tingkat komando pengendali operasi lapangan. Individu-individu ini memiliki wewenang dan pengendalian efektif terhadap pasukan di lapangan.
c. individu-individu yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena tindakan membiarkan dan posisi di tingkat komando strategi/kebijakan. Individu-individu ini memegangwewenang dan kekuasaan tertinggi untuk mengendalikan secara efektif pasukan TNI dan POLRI termasuk aparat intelijen. Meskipun memiliki wewenang dan kemampuanefektif untuk mengendalikan pasukan TNI dan POLRI, individu atau individu-individu ini yang sepatutnya untuk mecegah atau menghentikan jatuhnya korban mahasiswa dan warga masyarakat sipil.

Rekomendasi

Berdasarkan temuan-temuan dan kesimpulan-kesimpulan penyelidikan KPP HAM mengajukan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut :
1. Meminta KOMNAS HAM untuk melimpahkan hasil penyelidikan atas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II untuk ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung RI dengan langkah penyidikan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
2. Mendesak Pemerintah untuk segera mengambil tindakan hukum dan administratif terhadap aparat negara khususnya aparat TNI dan POLRI yang telah menghalang-halangi proses hukum untuk penegakan keadilan (obstruction of justice) selama proses penyelidikan ketiga peristiwa tersebut di atas.
3. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk secara konsisten mempercepat proses pengembalian TNI sebagai alat negara yang menjalankan fungsi pertahanan, dan menghapuskan fungsi-fungsi lain di luar fungsi pertahanan.
4. Mendesak Pemerintah melalui Kejaksaan Agung untuk segera melakukan proses penyidikan atas peristiwa kerusuhan Mei 1998 sesuai dengan rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta.
5. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi instrumen-instrumen hukum internasional hak asasi manusia yang penting bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk dan tidak terbatas pada, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) berikut protokol tambahannya mengenai individual complaints.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here