Lumpur Lapindo: Kalahnya Negara Oleh Korporasi

4
648

Tepat tanggal 29 Mei 2006, tiga tahun yang lalu bencana yang menimpa warga Porong, Jawa Timur  terjadi. Sebuah sumur pengeboran, Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas menyemburkan lumpur yang kemudian merendam wilayah di sekitarnya. Akibatnya, ribuan orang dan ratusan keluarga harus mengungsi karena atau terancam atau tempat tinggalnya telah terendam lumpur. Sampai saat ini, lumpur tersebut terus meluas  dan berdampak terhadap ke wilayah di sekitarnya. Berbagai persoalan, mulai dari masalah pendidikan, kesehatan dan keselamatan terus dihadapi oleh para pengungsi.

Sudah tiga tahun, namun masih banyak korban yang mengungsi diberbagai lokasi pengungsian. Pertanyaannya, siapakah yang harus bertanggung-jawab? Apakah PT. Lapindo Brantas atau pemerintah? Tidak ada satupun yang mau bertanggung-jawab!

PT. Lapindo Brantas yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, menteri  menolak untuk bertanggung-jawab. Alasan sebagai fenomena alam akibat gempa bumi yang terjadi di Yogya tiga hari sebelumnya kemudian menjadi argumentasi awal mereka. Argumentasi tersebut kemudian dibantah dalam oleh Tim Independen ahli geologi yang menyatakan bahwa kejadian tersebut karena kelalaian yang dilakukan oleh Lapindo dalam proses pengeboran. Akhirnya, terbukti bahwa untuk melakukan penghematan, beberapa prosedur standar keamanan untuk melakukan pengeboran tidak dilakukan.

Alih-alih menuntut tanggung-jawab atas kelalaian Lapindo, pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yudhono kemudian menyatakan bahwa lumpur lapindo adalah sebuah bencana alam. Seharusnya, pemerintah menuntut Lapindo karena telah lalai dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban yang harus mengungsi. Pemerintah kemudian membentuk Badan Penyelesaian Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk mengatur proses gantu rugi dan penanganan dampak lumpur tersebut.

Tapi apa yang terjadi, ganti rugi yang dimaksud adalah proses jual beli tanah yang terdampak. Tanah yang terkena dampak kemudian dibeli, dan tentunya dengan harga yang murah. Jadi, di mana prinsip ganti ruginya? Yang ada adalah pembelian tanah oleh Lapindo. Untuk urusan inipun, Lapindo berkali-kali tidak menepati janjinya dan terkesan mengulur. Berbagai skema ganti rugi mereka tawarkan hingga alasan meeka tidak sanggup memberikan ganti rugi.  Padahal, aset keluarga Bakrie,  pemilik PT. Lapindo Brantas meningkat 83,66% atau sekitar Rp 42,9 Trilyun. ((Warta Ekonomi, 2009))

Jika pemerintah tidak mampu lagi mendesak Lapindo untuk bertanggung-jawab, apakah ini bukan gambaran bahwa Negara telah kalah di hadapan korporasi? Apakah karena saat ini Menkokesra, notabene adalah Aburizal Bakrie sehingga pemerintah tidak berdaya? Hal ini juga membuktikan bahwa kekuasaan korporasi sudah sedemikan kuatnya sehingga mampu mengendalikan sebuah pemerintahan.

Ironisnya, saat Pemilihan Presiden semakin mendekat, banyak pihak yang kemudian seolah mendukung dan berjanji untuk memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo. Selama ini, mereka kemana saja?

4 COMMENTS

  1. […] Tapi apa yang terjadi, ganti rugi yang dimaksud adalah proses jual beli tanah yang terdampak. Tanah yang terkena dampak kemudian dibeli, dan tentunya dengan harga yang murah. Jadi, di mana prinsip ganti ruginya? Yang ada adalah pembelian tanah oleh Lapindo. Untuk urusan inipun, Lapindo berkali-kali tidak menepati janjinya dan terkesan mengulur. Berbagai skema ganti rugi mereka tawarkan hingga alasan meeka tidak sanggup memberikan ganti rugi.  Padahal, aset keluarga Bakrie,  pemilik PT. Lapindo Brantas meningkat 83,66% atau sekitar Rp 42,9 Trilyun.1 […]

  2. judulnya harusnya…kalahnya hati dengan uang….
    karena tak akan selesai jika mata pemimpin kita yang dikalahkan uang…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here