Pendidikan Berbasis HAK

0
543

Masyarakat yang demokratis dan egaliter merupakan cita-cita dari setiap negara yang berada di muka bumi ini. Dimana setiap manusia dapat berdiri di tempat yang sama dan juga diperlakukan sama tanpa memandang suku, ras, agama, bangsa, warna kulit, tradisi dan bahasa yang berbeda. Untuk mencapai kedemokratisan dan egaliter tersebut, maka pemenuhan hak-hak masyarakat merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Kenyataannya pemenuhan hak tidak terjadi apabila pemahaman mengenai Human Rights atau Hak Asasi Manusia (biasa disingkat HAM) belumlah merata di dalam masyarakat. Semangat demokrasi dan egaliter-nya suatu masyarakat pun terhambat. Belum meratanya pemahaman mengenai HAM dapat dilihat dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang makin sering terjadi di belahan dunia ini, meskipun telah adanya deklarasi bersama mengenai HAM, yang berlaku universal di semua negara, meskipun deklarasi itu sebetulnya tidak mengikat secara hukum, hanya secara moral. Mulai dari genosida etnis di Kosovo dan Rwanda, perluasan lahan perkebunan di hutan tropis Kalimantan, monopoli pengelolaan sumber daya alam di berbagai kawasan, perdagangan manusia terutama perempuan lintas negara sampai ke kasus Trisakti, Semanggi, Mei 1998 di Indonesia. Kesemuanya menunjukkan pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh individu, masyarakat, aparat negara ataupun oleh korporat. Esensi HAM sendiri, sesuai dengan Mukkadimah Universal Declaration of Human Rights, yaitu “pengakuan atas martabat yang luhur dan hak–hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia”.

Secara sederhana, HAM dapat diartikan sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki dan melekat pada manusia karena kedudukannya sebagai manusia. Tanpa adanya hak tersebut, maka manusia akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia. HAM adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa.

Berbagai hak yang terakomodir didalam kerangka HAM dicantumkan dalam deklarasi universal HAM atau biasa disingkat DUHAM meliputi individu, kelompok dan bangsa. Salah satu hak yang dilindungi yaitu Hak atas Pendidikan (pasal 26). Di dalam UUD 1945 Hak tersebut dilindungi oleh pasal 31 yaitu Hak untuk Mendapat Pendidikan sekaligus menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan dilaksanakannya pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini, yakni sejak anak dilahirkan. Undang-undang mengenai pendidikan tersebut merupakan perwujudan dari pemenuhan hak pendidikan warganegara. Indonesia pada tahun 1990, telah menandatangani sebuah Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand. Deklarasi ini menjadi komitmen bersama negara-negara yang hadir untuk merealisasikan pendidikan dasar yang tersedia, bermutu dan non diskriminatif di masing-masing negara. Realisasi deklarasi tersebut juga sekaligus merupakan upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu bahwa “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis mestinya diberikan pada tingkat dasar atau fundamental dan dilindungi hukum.” Pada tahun 2000, di dalam pertemuan negara – negara anggota PBB, terdapat tiga isu global yang bicarakan yaitu perdamaian, jaminan keamanan dan pembangunan serta bagaimana negara-negara anggota PBB memenuhi ketiga hal tersebut sebelum tahun 2015. Hasil dari pertemuan tersebut yaitu adanya deklarasi Millenium atau sering disebut Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu butir dalam pemenuhan MDGs tersebut yaitu Pendidikan. Implementasi dari kesepakatan ini, Indonesia pada tahun 2000-2004 memfokuskan pada perluasan kesempatan pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun diwajibkan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru, pemberdayaan dan kapasitas institusi pendidikan, memperbaharui sistem pendidikan dan kurikulum dan meningkatkan kualitas untuk kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta memperbesar angka melek huruf. Sedangkan pada tahun selanjutnya Indonesia memfokuskan pada perluasan kesempatan pendidikan untuk masyarakat miskin, termarginalisasi, terasing dan yang berada diwilayah konflik, meningkatkan kualitas pendidikan dasar selama 9 tahun (mulai tingkat SD kelas I sampai dengan SMP tingkat III atau disebut kelas I sampai kelas 9), peningkatan manajemen sumber daya pendidikan, baik institusi, pengajar maupun siswa. Untuk mencapai tujuan MDGs tersebut maka pemerintah harus bekerjasama dengan pihak lain yaitu para orangtua, tokoh masyarakat dan agama, serta Lembaga Swadaya Masyarakat. Pemerintah juga mendorong pihak-pihak ini mendirikan, membimbing, memfasilitasi atau mendanai pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif ini di fokuskan terutama pada masyarakat miskin, sulit mendapat akses pendidikan, termarginalisasi, terasing dan berada di wilayah konflik. Pendidikan alternatif atau disebut Pendidikan Non Formal dan Informal berwujud dalam berbagai bentuk di Indonesia. Misalnya kejar paket, pelatihan, kursus, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), TPA, pesantren, madrasah, sanggar, sekolah minggu, home schooling dan sebagainya. Pihak Departemen Pendidikan nasional juga menyebutnya dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

Saat ini dapat ditemui Pendidikan Alternatif dilakukan oleh berbagai LSM di berbagai wilayah di Indonesia, dengan sasaran peserta didik beragam. Misalnya Sanggar Akar yang berfokus pada Anak Jalanan atau Kapal Perempuan yang berfokus pada Perempuan. Beberapa individu pun mulai mengembangkan pendidikan model home schooling di rumahnya masing-masing. PLS ini diakui diminati berbagai LSM dan individu karena tiap penyelenggara dapat mengembangkan kurikulum dan metode belajar PLS nya tanpa tergantung pada kurikulum yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas hanya memberikan garis besar atau sering disebut Menu Besar untuk menjalankan masing-masing PLS.

Tidak hanya perhatian pada pendidikan alternatif saja yang dilakukan oleh LSM atau individu, tapi juga pendidikan formal, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Mereka ini membantu dalam memfasilitasi pengembangan kapasitas pendidik, siswa dan institusi pendidikan. Misalnya dengan memasukkan isu lingkungan seperti yang dilakukan oleh Yayasan Peka Indonesia lewat program Pendidikan Lingkungan (PL) di kota Bogor dan Taman Nasional Halimun-Salak di kabupaten Sukabumi dan Bogor. Atau ISCO yang membantu biaya sekolah anak-anak miskin kota di Kebon Kacang dan Cilincing, Jakarta lewat program beasiswa. Memfasilitasi isu Hak Asasi Manusia di kalangan siswa SMU di Jakarta dan Tangerang juga sudah dilakukan Perkumpulan Sekitarkita, di Jakarta, lewat program Diskusi Keliling isu Hak Asasi Manusia. Dari berbagai kegiatan yang sudah dilakukan oleh LSM-LSM ini, ternyata, memfasilitasi pengembangan kapasitas saja tidak cukup, apabila kurikulum atau sistem pendidikan yang ada tidak berbasiskan kepada kesadaran bahwa pendidikan merupakan Hak. Artinya kesadaran akan Hak Asasi Manusia sebagai esensi dari keberadan manusia dan hubungannya dengan manusia lain seharusnya terinternalisasi secara perlahan dan terus menerus, tanpa berhenti. Kurikulum yang terus berganti akan sama saja aplikasinya apabila si pembuat kurikulum tidak mengintegrasikan pentingnya kesadaran bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan pemenuhan hak. Bukan semata-mata alat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau meminjam istilah dari masyarakat yaitu pekerjaan ‘kantoran’.

Diyah Wara R, Anggota sidang Redaksi Sekitarkita

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here