Aku baru saja selesai berbincang-bincang dengan 4 orang ibu ketika aku dikejutkan oleh kerasnya musik dansa dari arah belakang sekretariat Suara Ibu Peduli (SIP). Dengan pikiran bertanya-tanya aku menelusuri lorong sempit penuh barang bantuan untuk korban banjir dan berusaha mencari sumber suara riuh rendah itu. Yang akhirnya kusaksikan tak kan pernah kubayangkan sebelumnya: sekitar 15 orang ibu-ibu berumur sekitar 30-40an, beberapa diantaranya mengenakan jilbab, berjajar sambil melenggak-lenggok teratur mengikuti irama poco-poco!
“Uuh … hey… satu, dua, kiri, kiri, kanan, kanan, yak .. ayo satu putaran sekaligus!” Bu Zaenal, yang dianggap paling fasih mengatur langkah, berteriak memberi aba-aba. Ibu-ibu yang lain pun mengikutinya dengan patuh, sambil melihat ke kaki-kaki yang bergerak cepat dan mulut berkomat-kamit menghitung.
Ruang berukuran 3,5 X 4 m itu terasa pengap walaupun sudah didukung AC tenaga tinggi. Wajah dan tubuh para ibu berleleran keringat, tapi itu tidak mengurangi semangat mereka bergoyang. “Harus ada acara begini, nih, Yu. Kalau ngga mereka pada berantem. Emosinya lagi tinggi, sudah kebanyakan kerjaan sih”, Erlyn, salah satu Ketua SIP, menjelaskan padaku tanpa berhenti mengayun-ayun badannya sesuai gerak kawan-kawannya.
Aku masih belum bisa berkata-kata. Di white board yang tergantung di tembok memang terlihat deretan kegiatan yang akan dilakukan minggu berikutnya: mulai dari rapat usaha ekonomi, workshop keuangan dengan Mercy Corps, pelayanan kesehatan di wilayah Tanah Abang, sampai menemani pejabat Kedutaan Perancis untuk membagikan seragam sekolah untuk anak-anak korban banjir di wilayah Cilandak. Terlintas pula tugas-tugas harian mereka sebagai ibu rumah tangga: berbelanja, menyiapkan makanan untuk anak-anak dan suami, merapikan rumah, menemani anak-anak mengerjakan pr, dst., dst…
“Ibu-ibu ini rajin latihan poco-poco di kampungnya. Malah ada lomba antar kampung segala, pake kostum Putri Malam, Mbak!” giliran Ani, Sekretaris SIP, menanggapi kebengonganku.
“Aduh, loe itu gimana sih? Kok geraknya kayak Marinir begitu?” Erlyn memprotes Mega yang merangsek kelewat semangat. “Ya, ngga’ apa-apa lah. Poco-poco kan memang jogetnya Marinir”, Mega membela diri dan terus bergoyang sesuka hati.
Aku tersenyum kecil. Ternyata bukan kultur kekerasan saja yang ditularkan TNI. Tapi yang lebih menarik, dansa tentara ini justru membebaskan gerak ibu-ibu dari bebatan tata krama kaum feodal Jawa. Sejenak mereka bisa lupakan pula persoalan ekonomi yang menjepit mereka sehari-hari.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dengan enggan satu per satu beranjak pulang, untuk kembali bekerja sebagai ibu rumah tangga penuh waktu sampai Senin tiba.
***
Ketika SIP pertamakali muncul dalam aksi protes kenaikan harga susu pada 23 Februari 1998, tak seorang pun menduga kelompok ibu-ibu kelas menengah ini akan bertahan lama. Sorotan media waktu itu lebih banyak diarahkan pada penampilan Dr. Karlina Leksono-Supelli, astronom perempuan pertama di Indonesia, yang tiba-tiba berani turun ke jalan mengecam kebijakan pemerintah Orde Baru. Bahwa demo itu diadakan di bunderan Hotel Indonesia dan berujung dengan penangkapan dan pengadilan terhadap Karlina, beserta 2 peserta demo lainnya, Gadis Arivia, Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan (JP), dan Wilasih, menjadi lebih penting daripada dampak pengangkatan isu “susu” oleh “ibu-ibu” bagi tumbuhnya kesadaran politik perempuan secara umum.
Sementara media massa masih terpukau oleh kegalakan para perempuan terpandang ini, ratusan ibu rumah tangga biasa dari pojok-pojok Jakarta secara sukarela bergerak mencari dan menyalurkan susu untuk bayi dan balita dari keluarga yang tak mampu. Melalui telpon, rapat-rapat, bahkan dengan naik sepeda keliling kompleks, para ibu dari kelas menengah atas mengumpulkan dana untuk membeli susu, sementara ibu-ibu di perkampungan menjual susu murah bersubsidi di wilayahnya. Untunglah kelompok intelektual dan aktifis perempuan yang saat itu bergabung di JP bersedia berbagi ruang untuk melancarkan gerilya demi susu ini. Seperti dikatakan Dinny, salah satu pendiri SIP, “Sebetulnya pada waktu itu sudah terjadi suatu penyatuan spirit kerelawanan dari berbagai golongan perempuan, meskipun masih sangat cair”.
Gerak spontan para ibu rumah tangga ini tidak berhenti di susu saja. “Anaknya nangis tuh bukan karena pengen susu, tapi laper,” kenang Bu Zaenal, seorang ibu dari daerah Rempoa. Maka, mulailah mereka menjual sembako murah. Kantor redaksi JP di Megaria menjadi semakin mirip gudang Bulog yang dikelola kaum perempuan. Pada pertengahan Mei, di tengah gemuruh demonstrasi mahasiswa, ibu-ibu kembali diminta mengerahkan tenaga dan pikiran untuk membuat ratusan sampai ribuan nasi bungkus setiap harinya. Untuk memastikan makanan dari dapur mereka sampai ke mahasiswa, mereka tak segan-segan menembus barikade militer, “Anak-anak saya ada di dalam. Apakah saya tidak boleh kasih makan?” Kalimat serupa ini jadi senjata ampuh para ibu. Aliran logistik tak berkeputusan ini lah yang menjamin kesejahteraan puluhan ribu mahasiswa di dalam dan di luar gedung MPR/DPR selama kurang lebih 1 minggu.
Keterlibatan ibu-ibu rumah tangga dalam proses perubahan politik 1998 jarang dianggap signifikan. Sebagian beranggapan karena mereka ibu sudah sewajarnya memasak untuk “anak-anak”nya yang sedang berlaga di medan juang. Sebagian lagi menganggap tindakan ibu-ibu tidak ada nilai politisnya karena mereka melakukan kegiatan domestik belaka. Yang sering terlewatkan dari kedua pandangan tsb. adalah bahwa sebagian besar ibu-ibu ini sebelumnya boleh dibilang buta politik. Toh, mereka memilih untuk mendukung perlawanan terhadap diktator Soeharto. “Yah, kita sih awalnya kasihan aja ngeliat mahasiswa capek-capek begitu. Kita kan harus berperan juga”, demikian ungkap Bu Zaenal. Kesadaran politik seperti ini, bagaimana pun dini tingkatnya, ternyata menjadi bekal utama para ibu untuk memahami permasalahan sosial di sekelilingnya dan mencoba mencari jalan keluar bersama-sama golongan masyarakat lainnya tanpa mengharapkan bantuan dari pemerintah.
***
Perkembangan SIP sebagai sebuah organisasi perempuan boleh dibilang cukup pesat. Dalam waktu kurang lebih 1 tahun terbentuklah kelompok ibu-ibu di tujuh wilayah Jakarta, yaitu Bojong Gede, Cilandak, Depok, Kebon Pala, Rawamangun, Rempoa, dan Tanjung Priok. Selain itu, akibat publikasi yang cukup positif tentang kegiatan para ibu selama masa krisis, dukungan dana pun mengalir deras. Potensi sebesar ini dengan sendirinya mengundang keinginan banyak pihak untuk “mengendalikan” SIP. Salah satu pendiri SIP sempat melontarkan ide untuk mendirikan dewan penyantun yang fungsinya mirip dengan politbiro, “untuk menjaga agar spirit SIP tidak diselewengkan”. Pendiri lain mencoba “memberdayakan” ibu-ibu SIP menjadi aktifis “profesional” dengan mendatangkan pakar-pakar dari dalam dan luar negeri dalam sejumlah training dan seminar tanpa pernah bertanya pada ibu-ibu apakah mereka membutuhkan pengetahuan itu atau tidak. Tumbuh semacam semangat ‘politik etis’ untuk membuat ibu-ibu kampung yang suka berceloteh ramai dengan bahasa sehari-hari ini lebih “beradab”.
“Kalau dulu sih kita cuma dikasih tahu aja ada seminar apa gitu penyelenggaranya SIP. Kita disuruh dateng dari Rempoa, Cilandak, tapi kita ngga tahu acara apa itu. Kita mulai bertanya-tanya, katanya kita tuan rumah, kok taunya belakangan? Bingung sendiri lah!”, cerita Bu Ari, ketua wilayah Cilandak.
Bagaimana pun bergunanya ilmu yang diberikan melalui training dan seminar kenyataan bahwa ibu-ibu tidak berperan sama sekali dalam penyusunan program-program itu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan ibu-ibu. Lebih jauh lagi, program-program yang dirancang oleh para intelektual tidak menjawab persoalan-persoalan sosial-ekonomi yang mereka hadapi di masing-masing wilayah. Akhirnya, pada September 1999, ibu-ibu SIP memutuskan untuk memisahkan diri dari JP dan menjalankan organisasi itu sendiri.
Kebetulan seorang donatur berbaik hati meminjamkan kantornya yang kosong di daerah pertokoan Melawai. Dengan didampingi sejumlah relawan baik laki-laki maupun perempuan, ibu-ibu bukan saja belajar menguasai ketrampilan sederhana, seperti berhubungan langsung dengan para donatur, menggunakan komputer, membuat laporan keuangan, tetapi juga membangun kultur yang lebih demokratik, paling tidak di kalangan mereka sendiri. Bu Ninuk, misalnya, membandingkan pengalamannya terlibat di PKK dengan di SIP, “Kalau di PKK kita kan menjalankan program-program pemerintah. Kita cuma iya, iya, aja. Di SIP lain, Mbak. Program kita susun sendiri. Kita bisa ngotot-ngototan supaya suara kita didenger, pendapat kita diterima. Ya memang kadang-kadang sampe berantem sih. Tapi akhirnya ya kita kelarkan bareng juga”.
Di atas kertas tercantum deretan kegiatan yang umum dilakukan organisasi lain, seperti koperasi simpan pinjam, peningkatan nutrisi anak-anak, pelayanan kesehatan, pendidikan, dsb. Tapi, di balik semua program itu ada hal pokok yang ingin disebarkan oleh ibu-ibu ini, yaitu semangat “kepedulian” dan “kebersamaan” di tengah kemiskinan sekali pun. Hal ini teruji dalam situasi darurat, misalnya ketika terjadi bencana banjir besar awal Februari yang lalu. Tanpa instruksi dari pengurus pusat, ibu-ibu memimpin masyarakat di kampungnya untuk melakukan evakuasi korban dan mendirikan dapur-dapur umum; mereka juga melobby berbagai pihak, dari kelurahan sampai kedutaan, untuk memperoleh bantuan.
Walaupun sebagian besar ibu-ibu ini menghadapi kesulitan ekonomi dan pekerjaan yang dilakukan cukup berat, jangan dibayangkan bahwa ibu-ibu ini terus-menerus bekerja dalam suasana tegang dan serius. Dalam setiap rapat, yang selalu riuh rendah dan berkepanjangan, ibu-ibu bisa saja melontarkan lelucon yang absurd, terutama jika itu berkaitan dengan hubungan mereka dengan para suami yang begitu terancam oleh perkembangan diri para istrinya setelah bergabung dengan SIP. Kesepakatan dengan suami memang menjadi kunci pembuka jalan ke luar rumah dan apa pun dilakukan para ibu ini untuk memperolehnya, mulai dari menjelaskan pentingnya kegiatan SIP, menyiapkan masakan sebelum keluar rumah, sampai memberikan pelayanan seks! Seorang ibu baru-baru saja menolak untuk menjadi Ketua SIP dengan alasan, “Walah mbak, mbak, jadi pengurus begini aja aku udah telanjang melulu, apalagi jadi Ketua. Bisa masuk angin dong!”
***
Mengikuti perjalanan ibu-ibu SIP memang membuat aku berpikir ulang tentang peran perempuan dalam gerakan membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan demokratis di negeri ini. Aku sering mendengar bahwa ibu adalah “born organizers” [pengorganisir alamiah]. Tapi sebelum bergaul dengan ibu-ibu SIP, tak terbayang jelas olehku apa maksud kalimat itu. Ibu, justru karena tempat bergeraknya di wilayah domestik, mau tidak mau memang terlatih menjadi pengorganisir. Mereka diharapkan jadi mesin produksi janin, babysitter, tukang masak, guru, konselor, bahkan pekerja seks sekaligus dalam satu masa hidupnya. Apa yang sudah dilakukan SIP adalah memberi makna lebih tinggi terhadap kemampuan ibu-ibu menyelenggarakan sekian jenis pekerjaan dan ruang lebih luas pada mereka untuk mengajak setiap orang, laki atau pun perempuan, mengurus bukan saja kesejahteraan keluarganya sendiri, tapi juga kesejahteraan masyarakat. Atau, kalau dalam bahasa ibu-ibu, “SIP adalah sekolah hati”. Rasanya tidak berlebihan kalau aku berpendapat bahwa untuk memberi sentuhan “kemanusiaan” pada suatu gerakan perubahan sosial, kita harus melibatkan ibu-ibu, seperti tersirat dalam motto SIP di bawah ini:
Karena kami manusia Kami bersuara
Karena kami ibu Kami peduli
Karena kami perempuan Kami berdaya
Ayu Ratih, Relawan di SIP dan aktif di Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta
[…] Ayu (Suara Ibu Peduli). 2003. Ketika Ibu menjadi Aktifis. Diakses online melalui http://sekitarkita.syaldi.web.id/?p=344 (diakses 15 Mei […]