Rasisme dan Hutang

0
626

Ternyata masalah hutang juga dibicarakan dalam Konferensi Dunia Menentang Rasisme di Durban September lalu. Secara sekilas memang tidak tampak hubungan antara kedua hal tersebut. Namun jika melihat komposisi negara- negara yang saat ini terjerat beban hutang, kita dapat melihat bahwa mereka ini adalah juga bekas negara- negara jajahan.

Maka tuntutan penghapusan hutangpun bergema di Konferensi Dunia itu. Wakil- wakil dari negara- negara Afrika merasa prihatin atas kehancuran yang berlangsung di benua itu karena perbudakan, penjajahan, pengeksploitasian lebih lanjut lewat hutang, penyesuaian struktural (oleh Bank Dunia maupun IMF) serta aturan perdagangan bebas. Belum selesai negara- negara bekas jajahan mencoba untuk membangun negara mereka setelah dijajah, kini mereka dililit oleh masalah hutang, sehingga memungkinkan pihak luar (baca: bekas negara- negara penjajah) untuk campur tangan dan ikut serta menentukan kebijakan- kebijakan ekonomi dalam negeri mereka. “Afrika tidak mengharapkan belas kasih, amal atau rasa prihatin. Afrika mengharapkan keadilan.” Kata wakil presiden Gabon. Presiden Kuba, Fidel Castro mendukung pendapat ini. Ia mengingatkan bahwa sekitar 10 juta orang Afrika dijadikan budak, sementara benua mereka dan rakyatnya menjadi korban penjajahan bangsa Eropa. “Jelas bahwa korban- korban kekerasan yang berlangsung berabad- abad adalah mereka yang pantas mendapatkan kompensasi.” katanya.

Dendam? “Kami tidak mengutamakan masa lalu, tapi masa depanlah yang kami pikirkan. Ini pembicaraan tentang negara- negara di dunia yang tidak tahu bagaimana cara memberi makan rakyatnya.” kata Mercia Andrews, wakil LSM dari negara- negara di selatan Afrika. Seorang pembicara lainnya mengingatkan bahwa pemimpin Irak, Saddam Hussein ketika dikalahkan pada perang teluk, diminta untuk meminta maaf secara publik dan membayar kerusakan perang, jadi wajar jika hal tersebut dimintakan kepada negara- negara barat yang membawa kerusakan pada negara- negara jajahan.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah juga bekas negara jajahan. Indonesia juga dililit hutang yang ‘tujuh turunan’ besarnya. Hutang- hutang tersebut dibuat tanpa persetujuan rakyat, sebagian malah dibuat oleh pengusaha- pengusaha besar, dan tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Pantaskah sekarang jika Indonesia juga turut meminta penghapusan hutang yang didasarkan bukan atas dendam, namun demi masa depan rakyatnya yang sekarang ini sedang menderita? Pantaskah jika Indonesia ingin bisa bebas menentukan kebijakan ekonominya sendiri tanpa campur tangan pihak luar?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here