Sejak awal berdiri sampai dengan kejatuhannya Orde Baru telah menciptakan berbagai tindakan kekerasan yang terus melahirkan korban demi tegaknya sebuah rezim. Kesuksesan kudeta merangkak inilah yang kemudian mengiringi berbagai kesuksesan rezim dalam menebar sekaligus memanfaatkan benih sentimen dan konflik siap-picu selama berlangsungnya kekuasaan. Pengkotak-kotakan dalam hal agama, suku, ras, golongan bahkan ideologi seringkali muncul sebagai sumber-sumbernya yang terus dipelihara dan bahkan diperuncing. Hal ini menjelaskan bahwa potensi-potensi konflik ini terus ada dalam berbagai bidang kehidupan kita hingga pada saat-saat tertentu dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan rezim.
Hal ini berlaku pada hampir setiap peristiwa kekerasan menjadi semacam pola terhadap sederetan korban selama rezim ini berkuasa. Pembunuhan massal pada tahun 1965 mengawali berbagai tindakan kekerasan berkelanjutan selama rezim ini berkuasa. Lima ratus ribu hingga satu juta orang diperkirakan menjadi korban dalam peristiwa ini sementara mereka yang selamat menyandang ‘cacat sosial’. Oleh pemerintahan rezim Orde Baru para korban ini kemudian dinyatakan sebagai warga negara kelas dua dengan cap ‘PKI’, ‘Komunis’, atau ‘Atheis’. Dan peristiwa lainnya mengikuti seperti ‘Gerakan Pengacau Keamanan’ pada orang-orang Aceh semasa DOM 1989-1998, invasi Timor Leste 1975, dan Papua. ‘Makar’ atau ‘Perusuh’ pada korban penculikan dan demontrasi, ‘Penjarah’ pada korban pembantaian 13-15 Mei 1998. Sentimen suku dalam konflik berdarah antara ‘Dayak’ dan ‘Madura’ dan masih banyak lagi julukan-julukan terhadap korban berbagai peristiwa.
Di ambang kehancuran rezim ini pada tahun 1998, korban dan keluarga korban perlahan-lahan mulai mendapat perhatian dari banyak kalangan. Hal yang sebenarnya sulit didapatkan dan bahkan saat ini menghadapi situasi yang sama sekalipun rezim ini telah tumbang. Proses yang panjang telah mereka lalui dalam mencari keadilan sebagai korban. Selama proses itu pula beberapa catatan dan refleksi tentang persoalan para korban, dimana salah satunya adalah julukan-julukan yang diberikan bagi korban.
Bentuk-bentuk pemberian julukan atau cap inilah yang seringkali kita sebut sebagai stigmatisasi. Stigmatisasi biasanya didefinisikan sebagai penggunaan stereotipe atau penanda untuk memberikan suatu penegasan pada kelompok atau seseorang. Stigma yang dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda’ merujuk pada pola karakteristik untuk menyudutkan mereka yang menyandang ‘tanda’ ini. Stigma inilah yang kemudian menyelubungi berbagai ketidakpahaman yang membatasi segala sudut pandang dan tentunya memunculkan suatu penilaian yang buruk. Menurut ilmu psikologi istilah stigmatisasi erat hubungannya dengan gangguan jiwa. Hal-hal ini terwujud dalam pemahaman yang kabur, ketidakpercayaan, pola penyeragaman, penyebaran ketakutan, suatu hal yang memalukan, kebencian, dan sikap-sikap peminggiran.
Dengan referensi diatas tentunya kita mampu memahami bahwa stigmatisasi tidak hanya muncul dalam persoalan-persoalan terbatas dalam bidang politik. Stigmatisasi ini muncul hampir di setiap bidang kehidupan yang ada sehari-hari baik sosial, ekonomi dan budaya. Selama puluhan tahun masyarakat pada umumnya tidak banyak berkutik atas julukan-julukan yang justru ditimpakan kepada para korban. Pola pikir masyarakat untuk memahami berbagai perbedaan-perbedaan dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari telah dibawa menuju satu arus penyeragaman. Sementara itu di tengah berbagai pemahaman akhirnya masyarakat memilih untuk larut mengadopsi julukan itu, menjadi bagian dari kebencian kolektif tak beralasan.
Salah satu yang penting dari stigmatisasi adalah seringkali justru hal ini menjungkirbalikan peristiwa dan me-‘label’-kan kelompok korban sebagai korban untuk kedua kalinya. Bagi sebagian besar kelompok korban, persoalan stigmatisasi ini banyak menjadi permasalahan bagi kelangsungan hidupnya di dalam masyarakat. Penyangkalan negara atas jatuhnya korban dalam peristiwa-peristiwa ini justru tidak memungkinkan bagi pencapaian keadilan korban. Bahkan sangat beralasan bahwa hal ini dilakukan untuk mencegah masyarakat mengetahui peristiwa yang sebenarnya.
Ada dua hal penting dimana stigmatisasi ini mampu secara bersama-sama kita kikis perlahan-lahan melalui unsur pengakuan baik dari pemerintah maupun masyarakat. Selama ini penyelesaian berbagai kasus oleh pemerintah belum mampu untuk mengusahakan keadilan bagi korban. Untuk itu dibutuhkan penggalangan tuntutan pengakuan dari pemerintah atas keutuhan peristiwa meliputi korban dan pelaku. Pengakuan atas korban di tengah masyarakat akan turut memberikan dukungan bagi tercapainya keadilan korban.
Anton, anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK)
* Tulisan ini pernah di muat di Pos Relawan No. 23/tahun III