Pengantar
Kekerasan seksual adalah masalah laki-laki. Laki-laki melakukan penyerangan seksual dalam jumlah yang sangat banyak — baik korbannya perempuan maupun laki-laki; laki-laki banyak yang menjadi korban, dan laki-laki adalah orang-orang yang berarti bagi perempuan dan laki-laki yang menjadi korban serangan seksual (seperti kekasih, pasangan serumah, anak-anak laki-laki, teman sekelas, kakak-adik laki-laki, sepupu …). Kekerasan seksual adalah masalah yang dihadapi laki-laki. Meskipun begitu, laki-laki umumnya terus mengabaikan, mengingkari, mengecilkan, dan kalau tidak menghindari masalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual tetap dianggap sebagai “masalah perempuan”, dan laki-laki tetap merupakan minoritas sangat kecil dari mereka yang hadir dalam acara-acara yang menyoroti penyerangan seksual.
Sebagian, terus-menerus kurangnya keterlibatan dan kepemimpinan laki-laki dalam upaya menangani kekerasan seksual itu terkait dengan cara kekerasan seksual dipahami secara budaya. Makna kekerasan seksual sebagian ditentukan secara budaya — misalnya, dalam cara-cara yang berdampak pada orang yang menjadi korban, bagaimana laki-laki yang memperkosa diharuskan bertanggungjawab, bagaimana pencegahan dipahami dan apa bentuk-bentuk pencegahan yang dianggap memadai.
Di sini, kekerasan seksual laki-laki dipahami sebagai masalah yang berakar pada seksisme. Bagaimana laki-laki mendefinisikan maskulinitas dan memahami dirinya sebagai laki-laki sebagian ditentukan oleh ras, usia, latar belakang religius, orientasi seksual, dan kelas sosial ekonomi mereka, dan oleh karena itu baru ada maknanya jika cara laki-laki memahami kekerasan dan penganiayaan seksis itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Untuk memobilisasi laki-laki dari berbagai latar belakang menjadi suatu badan yang terorganisir yang bekerja secara terkoordinasi untuk menangani kekerasan laki-laki, berbagai tata hubungan perlu dipahami lebih dahulu.
Dasar Teoritis
Saya memulai dengan pemahaman feminis tentang kekerasan terhadap perempuan yang memahami bahwa perkosaan, penyerangan seksual, kekerasan dalam rumahtangga, pelecehan seksual, penyerangan saat kencan, membuntuti, pornografi, prostitusi, dan bentuk-bentuk lain kekerasan laki-laki itu berdasar pada seksisme. Analisis ini memandang keyakinan akan superioritas laki-laki terhadap perempuan itu merupakan dasar bagi kekerasan laki-laki terhadap perempuan.
Karena laki-laki dididik untuk mempercayai bahwa perempuan tidak setara dengan mereka, dan ketidakseimbangan ini dilembagakan dalam banyak sistem dan praktek budaya patriarkal, suara-suara perempuan tidak didengarkan secara lengkap, dan perspektif perempuan dianggap tidak berharga. Perendahan nilai ini terjadi di wilayah publik dan wilayah hubungan pribadi antara laki-laki dan perempuan.
Bersama dengan penurunan nilai perempuan dan femininitas dan penilaian berlebihan laki-laki dan maskulinitas yang terlembaga ini, adalah praktek sosial hak istimewa laki-laki. Laki-laki dididik untuk mempercayai bahwa mereka mempunyai hak-hak yang melekat dalam dirinya dalam berhubungan dengan perempuan. Sebagai contoh, laki-laki dididik untuk mempercayai bahwa mereka punya hak alamiah untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan — terutama jika mereka ingin atau ketika “bernafsu”. Tetapi, laki-laki juga punya hak mengontrol dalam hubungan mereka dengan perempuan, punya hak untuk mengungkapkan kemarahannya dengan menggunakan kekerasan, dan punya hak untuk memperhatikan hidupnya sendiri dibandingkan keharusan memperhatikan kehidupan perempuan.
Karena itu, laki-laki melihat perilaku kekerasan dan penganiayaan terhadap perempuan sebagai normal dan dapat diterima — baik ia memaksa seorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual ketika perempuan itu tidak mau, memanipulasi seorang perempuan ke suatu posisi di mana si perempuan merasa tidak bisa mengatakan tidak, atau menggunakan kekuatan. Karena perilaku-perilaku ini seringkali dianggap normal bagi laki-laki, maka tidak dilihat sebagai masalah dan keburukan yang ditimbulkannya tidak terlihat oleh sebagian besar laki-laki.
Menurut satu teori, identitas kita, bagaimana kita memahami atau mendefinisikan diri kita, itu berada pada persimpangan dari berbagai kategori identitas yang beragam (ras/etnisitas, orientasi seksual, gender, dan sebagainya). Teori ini punya akibat yang sangat penting bagi pemahaman kita tentang kekerasan laki-laki dan upaya kita untuk mendidik, mengorganisasi, dan memobilisasi laki-laki dari berbagai latar belakang budaya dan identitas. Kita harus menguji ras dan gender (dan melalui perluasannya, kita dapat menguji pembuat-pembuat identitas yang lain) dari satu perspektif yang berhubungan dan menggarisbawahi kekuasaan, hak istimewa, dan dominasi.
Pengorganisasian Laki-laki
Dengan dasar teoretis tersebut, bagaimana pengorganisasian laki-laki?
Gerakan melawan kekerasan laki-laki dan mendukung keadilan gender seringkali dikritik karena kurang menampilkan orang dan komunitas dari budaya yang tidak dominan. Mereka itu kebanyakan diorganisir dan dipimpin oleh laki-laki Eropa-Amerika, laki-laki hetero-seksual, dan laki-laki dari latar belakang kelas menengah dan kelas pemilik (berjuis). Selain itu, sebagian besar upaya untuk mengorganisir dan memobilisasi laki-laki itu dilakukan di perguruan tinggi di antara kaum intelektual.
Akibatnya, gerakan laki-laki cenderung untuk merefleksikan pemahaman dan analisis dari laki-laki tersebut, mengistimewakan perspektif itu lebih daripada perspektif laki-laki kulit berwarna, laki-laki yang tidak ketat heteroseksual, laki-laki yang beragama selain Kristen, laki-laki kelas buruh atau laki-laki miskin. Untuk membuat peka, memobilisasi, dan mengorganisasikan laki-laki dari berbagai latar belakang dan identitas secara efektif untuk bekerja menentang seksisme laki-laki dan kekerasan; dan bekerja mendukung keadilan gender, kesenjangan-kesenjangan ini harus diatasi.
Kaum laki-laki dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki hubungan dan pemahaman tentang seksisme dan kekerasan laki-laki secara berbeda. Perkosaan tentulah merupakan senjata seksisme, tetapi juga merupakan senjata rasisme, homofobia dan bentuk-bentuk lain penindasan dan penguasaan. Secara kelembagaan, perkosaan digunakan terhadap golongan penduduk tertentu yang disasar dan untuk mempertahankan ketidakseimbangan kekuasaan yang ada. Perkosaan telah dan masih terus digunakan sebagai senjata rasisme dan penaklukan kolonial.
Untuk memobilisasi dan mengorganisir secara efektif laki-laki kulit berwarna, sejarah, warisan dan praktek yang sekarang berjalan harus dipahami dan dikerangkakan dalam sebuah cara yang sedemikian rupa sehingga upaya laki-laki tidak hanya bekerja untuk meningkatkan keadilan gender, tetapi juga bekerja untuk meningkatkan keadilan rasial.
Menjadi kewajiban laki-laki Eropa-Amerika dalam gerakan untuk memastikan bahwa ada ruangan untuk introspeksi yang jujur tentang masalah-masalah ras, rasisme, kekuasaan dan hak istimewa. Tanggungjawab ini jatuh kepada laki-laki Eropa-Amerika, sebagai bagian dari tanggungjawab atas hak istimewa yang mereka dapatkan.
Lagi pula, tanggungjawab ini adalah perluasan alamiah tanggungjawab yang kita semua minta kepada semua laki-laki dalam masalah keadilan gender, seksisme dan kekerasan seksis dengan perempuan. Kami mengerti, sebagai laki-laki, bahwa tanggungjawab kita lah untuk mengambil inisiatif menangani seksisme dan perilaku kasar kita sendiri, serta menghadapi bentuk-bentuk terlembaga dominasi laki-laki. Sama dengannya, sebagai laki-laki dalam posisi yang relatif berkuasa terhadap laki-laki lain yang kita organisir, kita bertanggungjawab mengambil inisiatif untuk menghapuskan bentuk-bentuk hak istimewa dan penindasan dalam perilaku kita, serta bentuk-bentuknya yang terlembaga.
Dinamika-dinamika serupa terjadi dengan semua penduduk laki-laki yang diposisikan pada persimpangan diistimewakan karena menjadi laki-laki, dan ditindas dalam beberapa identitas lain. Secara umum, lebih mudah untuk mengindentifikasi dan memobilisasi aksi seputar cara-cara bagaimana orang dirugikan dibandingkan dengan mengindetifikasi dan memobilisasi aksi seputar cara-cara bagaimana orang diistimewakan.
Laki-laki perlu sadar dan peka terhadap hak istimewa mereka, dan tanggap pada pengalaman-pengalaman orang lain (perempuan dan laki-laki yang tidak memperoleh hak istimewa). Melalui dialog lah kepercayaan dapat dibangun — kepercayaan yang diperlukan untuk membangun kerja koalisi lebih lanjut.
Agar bisa bekerja efektif dalam kelompok-kelompok laki-laki multi-kultural, kita harus sadar akan seluruh ekspresi hak istimewa, dominasi, dan tindak kekerasan yang terjadi dan mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk memberi cap (label) dan menghadapi perilaku tersebut. Kita juga harus bekerja dalam kelompok-kelompok ini untuk menjamin ditanganinya bentuk-bentuk penindasan dan penguasaan terlembaga serta penindasan dan penguasaan antar-pribadi dan yang telah dihayati.
Jaringan
Jaringan berarti lebih dari sekadar menerjemahkan dan mendistribusikan poster, brosur, dan panduan training. Jaringan berarti membentangkan agenda kita, mungkin bahkan perspektif kita untuk bekerja di dalam komunitas yang kurang terjangkau dalam upaya kita. Salah satu pertanyaan kunci untuk ditanyakan pada diri sendiri adalah mengapa “mereka” harus datang ke acara kita (bergabung dalam organisasi kita, menjadi mitra kita untuk acara khusus) pada saat kita sendiri tidak pergi ke acara-acara “mereka”? Menjalankan jaringan yang efektif berarti membangun hubungan-hubungan dengan organisasi-organisasi kunci, orang atau kelompok-kelompok yang berarti kita pergi keluar dari kantor kita dan bergabung dengan “mereka”. Jaringan berarti bekerjasama dengan orang lain mengikuti agenda “mereka” dan menemukan wilayah pertemuan di mana upaya bersama dapat dijalankan.
Selain menjalankan jaringan yang efektif, menghadapi dinamika penindasan dan hak istimewa pribadi, dan bekerja menantang bentuk-bentuk represi dan dominasi kelembagaan; kita harus mengkaji bagaimana budaya berdampak pada bagaimana kita bekerja. Organisasi-organisasi yang berusaha bersifat multi-kultural harus memperhatikan betul-betul bagaimana budaya yang berbeda punya norma-norma, nilai-nilai, dan aturan interaksi yang berbeda. Tanpa mempelajari perbedaan-perbedaan ini, kemudian mengabaikan bagaimana perbedaan tercermin dalam organisasi, maka tidak akan ada organisasi yang bersifat multi-kultural.
Rus Ervin Funk * Artikel berjudul “Effective Multi-Cultural Organizing Strategies for Men to end Men’s Violence” ini ditulis pada 2001, disunting dari naskah aslinya supaya enak dibaca dan bermanfaat untuk Timor Lororosae-Nicaragua Intercambio, 2002. Diterjemahkan oleh Titi Irawati, peserta Timor Lorosae-Nicaragua Intercambio.