Surat Di Kala Banjir

0
719

Dibawah ini adalah surat seorang relawan yang terlibat dalam evakuasi korban banjir kepada seorang rekannya. IB Karyanto, relawan itu, menceritakan tentang pengalamannya menolong warga Penas Jakarta Timur bersama anak- anak pinggiran yang ia asuh :

Ayu,saat ini, malam, pukul sepuluh malam kurang. Listrik di rumah baru saja nyala, maka buru-buru aku di depan komputer. Keinginanku saat ini sebenarnya bukan di komputer, tapi merasa harus menulis tentang apa yang baru saja aku lihat, aku alami bersama dengan masyarakat miskin, dan terutama bersama anak-anakku. Aku ingin menulis dengan tangan dalam terang lilin, tentang satu bagian lagi dari anak-anakku yang perlu aku banggakan. Tapi tanganku masih gemeter, kedinginan. Pertempuran menaklukkan air banjir seharian membuat tubuh ini lunglai.

Ayu, kamu masih ingat malam kemarin aku sama anak-anak pulang sudah di atas tengah malam. Sulit aku mendapatkan angkutan. Meskipun akhirnya dapat, toh hanya sampai di Cililitan. Tidak seperti biasanya, tengah malam itu tak banyak angkot. Satu jam lebih aku dan anak-anak menunggu angkot sampai ke Halim, tapi tak segera dapat. Kalau pun ada angkot sudah berjubel penumpang. Anak-anak berniat mengajak untuk jalan kaki. Tapi aku cegah. Aku tahu anak-anak sebenarnya ingin segera pulang ke rumah. Mereka resah karena mereka kepikiran rumah mereka yang sedang kebanjiran. Sementara dari berkas terang lampu jalanan mereka melihat guyuran hujan semakin deras. Tak lama ada angkot yang setengah kosong. Sontak semua anak menyerobot kesempatan. Pastilah penumpang di dalam terganggu dengan masuknya 13 orang yang basah, kumal dan bau setelah seharian berkeringat. Dugaanku tidak berlebihan, karena ada satu penumpang cewek ABG sama cowoknya kemudian buru-buru minta turun sambil nyeletuk, ‘Gak tahan deh, mendingan turun.” Sampai di Halim hujan masih mengguyur. Begitu turun dari angkot anak-anak, kebanyak yang dari Penas, bergegas melihat kali. “Waduh, Halim (maksudnya kampung Kebon Pala – Halim) naik segitu airnya. Di rumah seberapa?”

Begitu sampai di Sanggar, anak-anak hanya meletakkan beberapa barang, bergegas mereka jalan pulang ke Penas untuk mengambil bagian dari kesulitan keluarga masing-masing menghadapi banjir. Saat itu mendekati jam dua dini hari. Aku pesan ke anak-anak, kalau banjirnya memang terus naik supaya membawa segera anak-anak kecil ke Sanggar. Anak-anak pulang, aku terlelap tidur.

Jam delapan paginya aku terbangun oleh suara hiruk-pikuk anak-anak dan sebagian orang tua. Aku keluar dan melihat beberapa keluarga Penas di aula. Pakaian basah sudah bergelantung di mana-mana. Opung nampaknya sudah mulai membuka dapur untuk para pengungsi dengan menyediakan air hangat dan mie instan. Dia sendiri sudah tidak ada di Sanggar. Aku lihat anak-anakku yang gedhe juga tidak ada, tinggal satu, Ages ngurus dapur. Aku tahu, pasti mereka ke Penas. Seperti biasa aku harus segera ambil peran untuk ngurus rumah tangga, mengatur kebutuhan para pengungsi. Aku buka gudang, Heru dan Febry mulai membuka karung pakaian bekas. Pakaian dibagikan terutama untuk anak-anak kecil.

Arus pengungsi dari Penas mengalir semakin deras. Aku sudah kepikiran, banjir kali ini pasti di luar kebiasaan sampai mampu memaksa warga Penas mau meninggalkan rumahnya. Aku ingin bergerak, tapi tidak mungkin karena Opung belum pulang dan kerjaan di rumah jadi semakin banyak. Setelah Opung pulang, segera saja aku berangkat sendiri ke Penas menyusul yang lain. Di luar perkiraanku, jalanan simpang Halim macet total. Formasi kendaraan sudah acak-adul tidak karuan. Hujan masih mengguyur. Aku melintas Halim, air sudah tumpah sampai ke by pass setinggi lutut. Aku menyusur ke arah Penas. Barisan kendaraan macet dan tumpahan air sepinggang mengisi permukaan jalur bay pass menuju pintu masuk kampung Penas. Aku ketemu anak-anak sedang melakukan evakuasi beberapa anak kecil. Melihat cara evakuasi anak-anak yang hanya dengan menggendong satu-satu orang dari dalam keluar. Aku kepikiran mencari cara lain.

Lalu teringat cara evakuasi pak Wawan, tetangga yang coba bantu evakuasi, cerita kalau baru saja dia bersitegang dengan kopro banjir yang menahan perahu karetnya. Begitu dengar perahu karet, aku kepingin mencari rakit dari ban mobil. Anak-anak coba cari ke beberapa tambal ban, tapi tak ada satu pun yang punya. Aku berusaha memutar akal, tapi masih buntu. Tiba-tiba ada anakku yang nyeletuk soal drum, entah dalam konteks apa. Melesat ide untuk membuat perahu drum.

“Kita pulang, tidak usah nunggu Sakorlap, SAR atau yang lain. Kita bikin perahu dari drum.” Kataku pada anak-anak.Segera aku dan anak-anak pulang. Aku hanya kasih gambaran seperti apa perahu drum. Anak-anak segera bergerak. Tak lama, sekitar 15 menit 2 perahu masing-masing dari dua drum sudah siap tempur. Menyelinap diantara kemacetan kendaraan rombongan anak Sanggar mengangkat dua perahu, siap untuk evakuasi. Pertama anak-anak coba masuk ke Halim yang bagian depan airnya sudah sekepalaku. Tapi karena sudah tidak ada warga yang tinggal dan anak muda warga sendiri cukup banyak, anak-anak memindahkan operasi Langsung ke Penas.

Benar-benar di luar perkiraanku. Ternyata memasuki lorong jalan menuju Penas arus air banjir begitu kuat. Meskipun hanya berjarak sekitar 25 meter tapi sangat berasa melelahkan, apalagi ditambah mendorong perahu drum. Hanya karena melihat kemauan anak-anak, baik yang cowok maupun yang cewek, yang luar biasa, aku bisa juga mengatasi rasa pegel yang terasa mengekang paha dan selangkanganku. Memasuki jalan kampung yang sejajar dengan kali beban memang terasa lebih ringan, meskipun air justru mencapai seleher. Jalur ini cukup membahayakan. Jalanan hanya satu meter, sebelah tembok, sebelah lagi sudah kali tanpa ada tanggul atau pembatas apapun. Aku melihat seutas tali plastik panjang terpentang dari ujung gang sampai ke rumah pertama warga. Melihat tali dan bekas gulungannya aku yakin, itu tali Sanggar dan pasti anak-anakku yang berinisiatip memasang tali penyelamat itu. Saat itu aku kira jam sepuluh.

Satu persatu anak-anak menawarkan pada warga untuk segera turun dari rumah lantai atas untuk dibawa keluar dengan perahu. Beberapa anak yang lain segera berenang menuju ke rumah-rumah lain untuk memberitahu supaya siap-siap evakuasi. Dua atau kadang tiga warga di atas perahu, kemudian anak-anak dengan susah payah menarik dan mendorong perahu melawan arus kali. Luar biasa memang keberanian anak-anakku. Untuk mengevakuasi warga yang ada di seberang kali, mereka tempuh dengan berenang sambil menenteng ban karena perahu tidak mungkin kuat menahan arus kali supaya sampai ke seberang. Satu-satu warga dinaikkan ke ban, yang hanya satu biji untuk diseberangkan kemudian baru disambut dengan perahu. Arus kali memang tidak begitu deras, tapi cukup dalam sehingga sulit buat anak-anak untuk mengerahkan tenaga. Sambil berpegang dan menarik bentangan tali yang sudah disiapkan, anak-anakku terus menyeret perahu menentang arus banjir. Sampai di luar kampung, warga di turunkan di halte Penas. Di Halte sudah ada anak-anak yang menunggu menjelaskan ke warga supaya bersedia mengungsi ke Sanggar. Beberapa anak yang lain mengantar warga yang belum pernah ke Sanggar. Openg dengan senang hati menggendong pak Pajar yang sudah tua dan buta.

Aku senang ketika melihat rombongan anak-anakku yang lain datang dengan perahu baru satu lagi. Mereka cukup cerdas, merakit jrigen-jrigen kosong dengan cara seperti rakitan drum sebelumnya dan menjadi perahu yang nampak lebih andal.

Untuk satu kali bolak-balik dari Halte masuk Penas dan keluar lagi ke Halte butuh waktu sekitar 20 menit meskipun hanya berjarak dua ratusan meter. Entah sudah berapa kali anak-anak bolak-balik.

Terus terang Yu, aku melihat kerja anak-anakku yang heroik (benar-benar hero, tidak sekedar ingin dianggap hero) seperti itu, hatiku mongkok bener. Benar bahwa mereka adalah anak-anak Penas. Tapi toh mereka tidak hanya memikirkan keluarga dan saudaranya sendiri. Benar bahwa mereka masih senang sambil bermain air. Tapi aku melihat kesungguhan keprihatinan mereka pada kesulitan yang sedang dihadapi warga. Aku merasa trenyuh begitu sadar bahwa ternyata memang tidak ada kelompok atau orang-orang lain yang mencoba mengevakuasi mereka dan warga-warga lain di sekitar Penas Tanggul.

Selepas maghrib sebenarnya aku mau putuskan supaya anak-anak menghentikan evakuasi. Aku tahu anak-anak sudah dari semalam tergenang air dan terus bergerak melakukan evakuasi. Aku juga tahu anak-anak belum sempat makan, selain hanya teh hangat di Sanggar pagi hari. Belum sempat aku putuskan, ada orang memberi kabar air masih akan naik karena pintu air Bogor akan dibuka. Aku lihat rokok yang baru saja dinyalakan anak-anak belum sampai pada batas setengah batang. Tapi aku tidak mau ambil risiko karena hari mulai gelap. Aku kasih tahu kabar yang baru saja aku terima ke anak-anak. Grak…, grak..! Grak!! Anak-anak segera bergerak, menarik kembali perahu yang baru saja di parkir. Begitu masuk, sampai ke Penas anak-anak berteriak-teriak meminta kesediaan warga untuk meninggalkan rumah karena air akan naik. Warga yang semula masih mencoba bertahan pun percaya. Mereka berbenah ambil satu atau dua pakaian dan minta supaya anak-anak membawa mereka ke Sanggar.

Memang luar biasa, kenaikan air nampaknya hanya sekitar lima senti, tapi arus terasa begitu kuat. Beberapa kali aku dan anak-anak menahan perahu di tengah arus untuk sekadar menyusun tenaga. Bergerak kembali, lambat dan sangat lambat. Anak-anakku yang cewek terlihat agak gugup menghadapi arus air yang menguat. Beberapa kali aku kehilangan seimbangan menahan perahu. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang karena aku merasakan beberapa kali anak-anak lain yang mengendalikan perahu juga kehilangan keseimbangan. Cuaca sudah gelap, hanya ada berkas cahaya lilin yang di pegang penumpang perahu. Situasi menjadi terasa tambah genting karena warga yang beriringan menaiki tiga perahu melakukan zikir dan sembahyang.

Warga merasa lega dan mengucapkan terimakasih pada anak-anak setelah selamat sampai di halte. Hari itu sudah mendekati jam sembilan malam, anak-anak masih mau melanjutkan mengambil beberapa keluarga yang tersisa. Tapi aku minta supaya evakuasi dihentikan. Apalagi aku tahu di dalam adalah beberapa warga yang memang maunya bertahan dan ada suami atau bapak mereka masing-masing yang aku harap bisa mengatasi kesulitannya.

Kami pun pulang. Kondisiku sendiri memang tidak terasa lelah, hanya lutut sampai ke selangkangan terasa sangat berat. Aku hanya mengkuatirkan maagku, mengingat seharian perutku belum keisi apa-apa. Meskipun anak-anakku terlihat letih, tapi aku masih sempat menangkap binar kebahagiaan dari anak-anakku yang merasa telah mewujudkan komitmen mereka untuk bisa menyelamatkan warga Penas.

Sampai di Sanggar, aku sudah tidak melihat ada ruang kosong, warga memenuhi setiap jengkal ruang di Sanggar. Suasana gelap, listrik mati, air tidak jalan. Beberapa anak nampak sibuk mencari air ke tetangga-tetangga. Anak-anak cewek kecil sibuk menjaga dapur dan membagikan makanan pada warga. Tak ada keistimewaan yang bisa aku berikan pada anak-anakku yang telah melakukan misi kemanusiaan yang luar biasa. Sebaliknya demikian juga tak ada satu pun diantara anak-anakku yang mengeluh.

Yu,

suasana itu yang menggelegak dalam batinku dan mendesak aku untuk menuliskan ini. Sekali lagi, aku belajar dari anak-anakku yang kadang menjengkelkan dan mengesalkan.

begitu dulu Yu, selalu

ibk

( IB Karyanto adalah pendiri dan Rektor Sanggar Anak Akar, yang merupakan media pendidikan untuk anak- anak pinggiran yang dikembangkan sejak November 1994. Kegiatan bersama anak- anak pinggiran dilakukan dengan membangun suatu model kelompok belajar di komunitas basis anak di beberapa tempat. Tahun 2000 Sanggar Anak Akar berdiri sendiri sebagai sebuah kelompok mandiri yang bervisi untuk mengembangkan model pendidikan anak sebagai gerakanbudaya yang menghormati martabat dan menghargai pertumbuhan anak pinggiransebagai manusia utuh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here