19 Januari 2005…

0
655

Pagi ini ketika saya bangun dengan kepala penuh ide, hasil dari diskusi dengan teman tentang perempuan Aceh, saya memutuskan untuk menuliskannya dalam sebuah catatan kecil.

Bicara tentang perempuan Aceh, yang terbayang sekarang yaitu para pengungsi perempuan di berbagai daerah di Aceh, akibat bencana alam tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 yang lalu. Berita-berita mengenai pengungsi di wilayah Aceh sangat sedikit yang mengangkat tentang perempuan. Bagaimana mereka dapat bertahan dalam keadaan yang menyedihkan. Mereka kehilangan semua harta bendanya bahkan anak mereka. Dari beberapa cerita yang aku baca lewat e-mail, beberpa sangat menyentuh hati saya. Seorang ibu harus kehilangan anak sulungnya ketika sedang menyelamatkan kedua anaknya yang lain. Di depan matanya sendiri dia melihat anaknya terbawa arus air, dia berusaha menarik kakinya tapi tidak berhasil. Ibu yang lain bahkan kehilangan kedua anaknya. Ketika bencana datang, ibu tersebut menitipkan kedua anaknya pada tetangganya dan mereka berlari menghindari ombak yang siap menggulung mereka. Sampai tulisan ini saya buat, ibu tersebut belum bertemu dengan anaknya. Harapan akan adanya keajaiban untuk mempertemukan dengan anaknya tidak pernah surut meskipun salah satu kakinya harus diamputasi akibat tertimpa salah satu tiang rumah. Ternyata keoptimisan itu tidak lenyap dalam penderitaan.

Berita-berita semacam itu tidak banyak diperlihatkan oleh media yang menampilkan tentang pasca musibah tsunami. Perempuan yang mengungsi, kehilangan anak, suami atau keluarganya yang lain, akhirnya harus bertahan untuk dirinya atau keluarganya di dalam kamp-kamp pengungsian yang jauh dari layak. Kamar mandi darurat yang tidak memungkinkan bagi perempuan untuk menggunakan secara maksimal, makanan yang terbatas dan pengabaian hak reproduktif perempuan dengan tidak tersedianya pembalut yang cukup bagi perempuan yang sedang datang bulan. Perawatan luka psikis akibat trauma juga sering sekali terabaikan. Banyak diantara pengungsi perempuan yang kehilangan orang-orang yang dikasihi sulit tidur dan menderita sakit kepala, selain juga menderita sakit sesak pada dada akibat menelan air campur lumpur, ketika berusaha menyelamatkan diri dari tsunami. Pada saat tsunami, ada yang berusaha berenang, namun tidak berhasil selamat karena kuatnya air tidak seimbang dengan kekuatan mereka.

Biarpun begitu, perempuan-perempuan ini tetap dengan berani berusaha bertahan dalam keterbatasan-keterbatasan yang ada didalam pengungsian. Tanpa mengeluh, perempuan berusaha tegar dalam hidup demi keluarganya. Ketegaran sepertinya telah menjadi budaya dalam kehidupan perempuan Aceh. Ketika status darurat militer (19 Mei-18 Mei 2004) diberlakukan, berpuluh-puluh (atau mungkin ratusan?, kita tidak pernah tahu jumlah pastinya), telah menjadi objek kekerasan. Penyiksaan, penahanan, pelecehan seksual, perkosaan hingga pembunuhan, merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang seringkali dijumpai. Bukan hanya secara fisik tapi juga psikis seperti diancam atau diintimidasi. Sebutan sebagai Inong Balee (sebutan pemerintah bagi laskar perempuan dari Gerakan Aceh merdeka/GAM) menjadi sebutan yang umum bagi perempuan Aceh yang berani menyuarakan kekerasan yang dialami. Perempuan yang menuntut keadilan akan haknya sebagai korban kekerasan, dianggap menentang pemerintah yang syah sehingga banyak dari pejuang perempuan ini ditahan.

Inong Balee sendiri merupakan armada perang pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) untuk melawan Belanda. Tradisi ini diteruskan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Selain tuduhan sebagai Inong Balee, perempuan-perempuan Aceh juga ditangkap dikarenakan suami, adik, ayah, kakak, sahabat, teman dekat atau saudara lainnya dianggap terlibat atau terlibat dengan GAM.

Saat darurat militer dihentikan dan digantikan darurat sipil (19 Mei-terjadinya bencana tsunami), situasi perempuan Aceh ternyata tidak juga berubah. Kekerasan tetap terjadi, dengan kuantitas yang juga tidak surut.

Pun ketika bencana tsunami meluluhrantakkan Aceh, perempuan tetap menjadi korban yang terbesar. Hak dan jaminan kehidupan perempuan bukanlah prioritas bagi bantuan korban bencana tsunami. Padahal perempuanlah yang akan melahirkan generasi-generasi berikut, ketika sebuah generasi telah hilang dalam bencana tsunami yang telah banyak menelan korban anak-anak, perempuanlah yang akan ‘bertugas’ menggantikan generasi itu. Jadi sudah seharusnya bantuan ditekankan pada kebutuhan perempuan. Karena perempuan, dengan rasa kasih sayangnya yang telah terasah dari berbagai evolusi perkembangan suatu masyarakat, memiliki naluri keibuan yang alami. Keibuan inilah yang muncul sebagai pertahanan dalam menghadapi berbagai macam bencana atau kekerasan. Kepentingan untuk bertahan demi keluarga menjadi hal yang utama.
Bencana tsunami telah menelan korban ratusan penduduk Aceh, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan yang telah kehilangan harta bendanya, keluarganya, bahkan anaknya ternyata mampu bertahan untuk hidup, dengan bersikap tegar menghadapi semua cobaan dalam kehidupan di pengungsian. Walaupun terdengar berita yang tak sedap tentang pelecehan seksual terhadap pengungsi perempuan di Aceh, ketegaran tetaplah menjadi suatu ketegaran, menjadi suatu keoptimisan bahwa kehidupan masa datang akan lebih baik, percaya keajaiban pasti datang.

Daerah Aceh, tanoh lon sayang, nibak tempat nyan lon udep mate…
Tanoh kenebah indatu moyang, Aceh lon sayang luak bukon le…
(Cuplikan lagu “Aceh Lon Sayang”)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here