Pada bulan Agustus 2006, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaran yang baru. Pada salah satu satu poin UU tersebut, dinyatakan tidak berlakunya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), yang biasa digunakan untuk pembuktian kewarganegaran bagi etnis keturunan (terutama Tionghoa). Namun dalam prakteknya, SBKRI tetaplah ditanyakan. Seperti pengalaman seorang teman yang mengurus paspor pada bulan Maret 2007 di salah satu kantor Imigrasi Jakarta. Teman tersebut masih harus menyertakan foto copy SKBRI dalam formulir permohonan paspornya. Pemberlakuan SBKRI yang seharusnya berlaku untuk semua warga keturunan ternyata dikenakan hanya kepada keturunan Tionghoa. Sedangkan untuk keturunan India, Arab atau yang lainnya tidak di berlakukan. Dan yang lebih lucunya, bagi keturunan Tionghoa yang menggunakan nama dari bahasa Indonesia, atau beragama Islam, SBKRI tidak diwajibkan sebagai suatu persyaratan, seperti yang terjadi pada saya.
Dari hasil obrolan informal dengan pejabat yang mengurus surat-surat identitas kewarganegaraan seperti KTP atau Kartu Keluarga, dan lain-lain, dikatakan bahwa sampai saat ini, belum ada pedoman atau petunjuk pelaksanaan (juklak) untuk penerapan Undang-Undang Kewarganegaran yang baru. Jadi, semua pelaksanaan yang berkaitan dengan kewarganegaraan masih berpedoman pada Undang-Undang yang lama.
Ternyata, tidak hanya dalam pengurusan kewarganegaraan, warga keturunan Tionghoa mendapat perlakuan tidak adil. Kali ini menimpa salah seorang kerabat. Kerabat saya tersebut sampai sekarang masih tidak bisa menuliskan agama Khonghucu sebagai agamanya di surat-surat identitasnya. Hal itu terjadi karena Khonghucu masih dianggap agama tidak resmi di negara ini. Meskipun dalam peringatan Imlek tahun ini, presiden telah menyatakan tidak adanya agama yang resmi dan tidak resmi, namun kenyataan berkata lain. Alasan yang dikemukakan pejabat setempat mengenai hal ini, bahwa belum terdapat kolom untuk agama Khonghucu dalam formulir isian untuk pengurusan surat-surat.
Dari kedua contoh tersebut, ternyata, perlakuan tidak adil atau diskriminatif tersebut, toh masih menjadi bagian bangsa kita. Kebebasan beragama dan hak untuk mendapat perlakukan yang sama di bidang hukum, merupakan kebebasan dan hak warganegara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lebih jauh lagi, bahkan wajib di lindungi, dipenuhi dan dihormati oleh Negara, sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvenan Hak Sipil Politik yang sudah di tandatangani pemerintah RI. Perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak warganegara oleh negara semestinya tidak memandang satu kelompok tertentu. Baik kelompok berbasis agama, etnis, gender atau lainnya. Karena negara RI ini terbangun dari keberagaman tersebut. Kembali pada konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai konsep dasar dalam bernegara, maka seharusnya hal tersebut bukanlah retorika, tapi menjadi realita. Namun, sejarah mencatat, banyaknya peristiwa terjadi karena sentimen rasial yang terbentuk dalam masyarakat kita. Beberapa kali, konflik antar etnis dan umat beragama menjadi persoalan di berbagai daerah.
Padahal, didalam masyarakat Indonesia, yang merupakan masyarakat multietnis, sejak dahulu, toleransi antar etnis dan agama sudah dikembangkan. Di dalam berbagai teks sejarah, dicatat bagaimana kehidupan masyarakat nusantara ini, sebelum adanya negara malahan hidup rukun, berdampingan, gemah ripah loh jinawi. Para umat beragama dan antar etnis saling bergotong royong dalam penyelenggaraan upacara adat dan hari-hari agama mereka. Seharusnya perbedaan perlakuan terhadap kelompok tertentu yang sebetulnya bukan merupakan karakter masyarakat Indonesia tidak ada pada saat ini.
Dan seharusnya perlakuan sama terhadap semua warga negara RI, etnis atau agama apapun, juga akan terimplementasi dalam segala bidang. Terutama di bidang hukum administrasi, meskipun belum ada juklaknya. Hukum administrasi yang digunakan oleh aparatur negara memang masih masih banyak menggunakan hukum masa kolonial Belanda. Namun, kita dapat merubahnya apabila memang kemauan dan kesadaran, untuk mengkoreksi hal-hal yang tidak sesuai dengan tradisi kita, yang juga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, ada di pikiran kita sekarang ini.
Bukan hanya kurangnya kesadaran akan implementasi Hak didalam kehidupan bernegara dan berbangsa, tapi perlakuan yang berbeda juga terjadi dikarenakan adanya kelompok etnis yang menggunakan simbol-simbol yang kelihatan berbeda. Simbol-simbol yang diakui sebagai identitasnya, yang berbeda dengan kelompok yang umum di Indonesia. Akhirnya perbedaan perlakuan akhirnya dapat dipahami sebagai bentuk ketidak pengakuan identitas suatu kelompok. Ketidak pengakuan terhadap identitas ini tidak hanya diperlihatkan lewat SBKRI, namun dalam kerangka yang lebih luas yaitu belum diakuinya Tionghoa sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia, sehingga dalam sensus kependudukan selalu saja tidak ada kategori penduduk dari etnis ini. Lainnya yaitu belum diakuinya agama yang dianut sebagian besar etnis keturunan Tionghoa terutama yang berasal dari generasi tua yaitu Khong Hu Cu sebagai agama resmi negara.
Masalah identitas menjadi suatu pembicaraan yang menarik beberapa tahun belakangan. Terutama dengan adanya konflik-konflik antar etnis yang dianggap sebagai media penguatan identitas sesuatu kelompok tertentu, meskipun pada kenyataannya konflik tersebut bukanlah konflik etnis murni, tetapi juga dilatarbelakangi kepentingan politik tertentu. Pada generasi keturunan Tionghoa terdapat kecenderungan untuk tetap mengakui sebagai bagian dari kelompok etnis Tionghoa keturunan, sementara generasi muda terlihat terbagi-bagi dalam beberapa kelompok. Hal ini tidaklah aneh mengingat sebagian besar generasi muda lahir setelah tahun 1965, setelah peristiwa 30 september dan pembekuan tiga pilar budaya Tionghoa pada tahun 1967. Adanya peristiwa tersebut mendorong etnis keturunan Tionghoa kemudian mengambil salah satu identitas etnis dimana mereka tinggal dan beradaptasi. Dan hasilnya generasi muda keturunan mereka inilah yang kemudian lebih cenderung mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu etnis yang dianggap asli seperti Jawa, Sunda atau Betawi, bukan keturunan Tionghoa. Peristiwa Mei 1998 seakan menyentakkan para generasi muda ini ketika etnis keturunan Tionghoa menjadi korban dalam peristiwa ini. Mereka mengalami berbagai macam bentuk kekerasan, dan akibatnya mereka pun mengalami trauma yang entah kapan tersembuhkannya.
Identitas menjadi hal yang penting.dalam interaksi antar kelompok, dimana untuk membedakan sekaligus menyamakan persepsi mengenai sesuatu hal mereka menggunakan identitas masing-masing. Identitas bukanlah suatu yang final dan statis. Merupakan hal yang dinamis yang dapat dimaknai oleh setiap orang yang melekatkan identitas pada orang tertentu. Identitas berbeda dari setiap kelompok etnis yang ada di Indonesia inilah yang kemudian membangun negara kesatuan Indonesia. Dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika, negara ‘sepertinya’ mengakomodir semua keberagaman etnis tersebut. Namun ketika konsep nation building dimunculkan, identitas etnis yang berbeda seakan dipinggirkan dan semua orang ‘dipaksa’ untuk mengakui sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, bukan mengakui sebagai etnis tertentu yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Begitu banyak contoh mengenai peminggiran etnis tertentu hanya karena identitas yang dilekatkan pada mereka atau mereka melekatkannya sendiri dianggap berbeda atau ‘asing’. Seperti halnya keturunan Tionghoa di Indonesia. Seringkali etnis diluar keturunan Tionghoa melekatkan identitas keturunan Tionghoa sebagai etnis yang kikir, asosial dan kaya, yang sebetulnya merupakan stereotipe. Dan identitas tersebut dikuatkan dengan melihat ciri-ciri fisik keturunan Tionghoa yang rata-rata berkulit putih dan bermata sipit. Dan seringkali menafikkan orang keturunan Tionghoa yang berada diluar stereotipe tersebut sebagai bukan orang keturunan Tionghoa. Stereotipe ini kemudian diberlakukan pada setiap orang keturunan Tionghoa baik generasi tua maupun muda.
Apabila kita menganggap stereotipe sebagai dasar perlakuan umum terhadap etnis lain, maka sesungguhnya kita sudah mendasarkan suatu sikap diskriminatif didalam diri kita, sehingga meng’izin’kan untuk melanggar Hak orang lain. Karena itu, sikap tidak mendiskriminatif harus datang dari diri sendiri terlebih dahulu. Baru kemudian dapat disebarkan ke lingkungan kita. Tidak hanya ke sekelompok etnis, atau beberapa kelompok etnis, tapi semua etnis yang mengakui sebagai warga negara Indonesia. Semua warga, termasuk warga keturunan Tionghoa sendiri yang menghilangkan prasangka terhadap etnis lainnya. Karena sebetulnya tidak ada diskriminasi dalam dasar kehidupan bernegara yang di anut Indonesia, yaitu sesuai dengan pasal 2 dan 5 dalam Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Artinya semua warga Indonesia memiliki hak, posisi dan kesempatan yang sama di semua bidang yang ada. Termasuk dalam bidang hukum administrasi.
Penulis:Diyah Wara Restiyati – Pemerhati masalah sosial-ekologi
Sebelum negara ini terbentuk, mungkin saja pertentangan antar etnis sudah terjadi. Hanya saja, mereka lebih fokus dalam usaha memperluas wilayah kekuasaan (jaman kerajaan). Namun saya sendiri kurang mafhum mengenainya.
Mengenai SKBRI, entah kenapa yang saya ketahui hanyalah diterapkan terhadap WNI yang dianggap keturunan Tionghoa. Saya sebutkan dianggap karena rasanya tidak ada dari mereka yang merasa dirinya memiliki hubungan dekat dengan RRC. Ditambah pula, populasi manusia di wilayah Indonesia (sebenarnya Asia Tenggara kalau tidak salah) terjadi karena para pelayar dari Yunan. Sehingga, bila demikian, sedikit banyak, semua dari kita memiliki “keturunan Tionghoa”. Sayangnya, saya lupa sumber dimana saya membaca informasi tersebut.
Akhir kata, keadilan bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk kemaruk. Namun, menurut saya pribadi, keadilan masih jauh dari rakyat Indonesia, terutama kaum minoritas. Jargon minoritas disini tentu dapat diartikan sangat luas.
Tambahan, sebenarnya setiap dari kita pernah mengalami betapa tidak nyamannya menjadi minoritas. Saya yakin sekali mengenai ini. Yang disayangkan adalah, mengapa ketika kita sudah tidak berada di kelompok minoritas tersebut, kita seakan lupa.