Setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Wina (1985) dan Montreal Protocol (1987) pada tahun 1992, serta menetapkan target penghentian bahan perusak ozon pada akhir tahun 2007, Indonesia dinilai telah berhasil mengimplementasikan peraturan untuk menfasilitasi fase pengurangan bahan perusak ozon.
Sebagai perjanjian dasar yang mendorong kerjasama antar negara untuk melakukan penelitian, observasi, sistematik lapisan ozon, dan memonitor produksi CFC serta pertukaran informasi. Konvensi Wina tidak memuat target dan tidak mengikat secara hukum. Demi memperkuat kedudukan Konvensi Wina, maka pada bulan September 1987 disahkanlah Montreal Protocol yang mengikat secara hukum dan memberikan sanksi yang lebih kuat demi mengurangi produksi dan konsumsi atas Bahan Perusak Ozon.
Lapisan ozon memegang peranan yang sangat penting untuk kesejahteraan kita karena melindungi permukaan bumi dari efek berbahaya radiasi sinar UV. Selain fungsinya sebagai pelindungi permukaan bumi, ozon juga merupakan komponen yang paling penting dalam industri pengolahan air minum. Pengolahan ozon untuk air minum pertama kali dilakukan di Perancis tahun 1906. Kemudian Jepang di tahun 1973 dan Los Angeles Amerika pada tahun 1987. Memasuki tahun 1990-an pemanfaatan ozon berkembang sangat pesat meliputi pengolahan ozon untuk limbah, sterilisasi bahan makanan mentah dan peralatan medis.
Jika disatu pihak ozon bersifat sebagai kawan karena manfaatnya, namun sisi lain ozon juga merupakan gas beracun yang sangat membahayakan, jika tidak memperhatikan tata cara penggunaannya. Berbeda dengan ozon pada lapisan stratosfer bumi yang dapat menahan radiasi UV, konsentrasi ozon di lapisan udara (meski rendah) sekitar 1 ppm saja, dapat mengakibatkan manusia sulit untuk bernafas, juga mengalami penurunan daya tampung jantung serta perusakan sistem kekebalan tubuh. Sedangkan pada konsentrasi sekitar 24.5-36 ppm, dapat meracuni berbagai binatang seperti kucing, kelinci dan marmot. Pada kandungan di atas 50 ppm, ozon akan membawa kita pada kematian. Kandungan ozon yang cukup tinggi juga dapat mengganggu proses metabolisme tanaman, dan menurunkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit, seperti halnya manusia. Serta menurunkan produktivitas tanaman seperti kedelai, gandum dan kapas.
Disamping itu, sisi negatif ozon akan muncul jika bereaksi dengan gas hydrocarbon, yang dihasilkan dari asap kendaraan dan pabrik. Reaksi tersebut akan membentuk asam nitrat dan asam sulfate, dimana akumulasi proses ini akan menstimulan hujan asam, yang selain sangat membahayakan manusia juga akan merusak ekosistem bumi. Keadaan udara di sekitar kita yang sudah sangat tercemar oleh asap kendaraan bermotor, pabrik, yang berakumulasi setiap tahunnya, makin diperparah dengan adanya kiriman asap akibat kebakaran hutan.
Konversi hutan alam menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan kelapa sawit, atau peruntukkannya untuk fungsi lain di Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Pulau Jawa, seringkali dilakukan dengan cara membabat hutan, membiarkannya kering dan melalui pembakaran. Meskipun beberapa kebakaran hutan ”murni” merupakan bencana alam. Dikarenakan musim panas yang berkepanjangan, sehingga hutan menjadi sangat mudah terbakar, seperti yang dialami di AS dan Australia. Tapi persentase kebakaran hutan murni ini sangat rendah, jika dibandingankan dengan kebakaran hutan akibat konversi lahan.
Begitu besarnya kerugian yang dikibatkan oleh pembakaran hutan untuk konversi lahan, semakin diperjelas dengan banyaknya energi biomassa yang terbuang percuma ke udara, yang dihasilkan dari proses pembakaran tersebut. Jika tiap hektar lahan sawit menghasilkan biomassa kering sekitar 5 ton per hektar per tahun, maka biomassa dari proses penebangan hutan volumenya dapat mencapai sekitar puluhan ton per hektar. Energi mahal itulah yang jika musim kemarau tiba selalu dijadikan parsel istimewa oleh para pengusaha dan aparat pemerintah untuk dikirim ke negara tetangga Indonesia.
Fenomena deforestasi yang berimplikasi pada semakin menurunnya luas kawasan hutan, mengakibatkan menurunnya kemampuan daya dukung hutan sebagai kawasan tangkapan dan resapan air hujan. Terjadinya perubahan siklus hidrologi lokal dan regional, akibat perubahan iklim global yang dipengaruhi oleh fenomena El Nino, juga menyebabkan terjadinya kemarau yang panjang. Persoalan ini menyebabkan kian kritisnya ketersediaan air, untuk menompang kebutuhan 6.5 miliar penduduk bumi saat ini.
Perubahan iklim global juga memicu penyebaran wabah penyakit menular yang membahayakan seperti Malaria, DBD, Leptospirosis, dan Flu burung. Perubahan tersebut juga meningkatkan intensitas dan frekuensi badai tropis, intensitas curah hujan yang sangat ekstrim, sehingga menyebabkan banjir besar dan longsor dibanyak tempat. Pusat Studi South Pacific Region Environment Programme meramalkan, pada pertengahan abad 21, beberapa pulau kecil di Indonesia akan terendam karena naiknya permukaan air laut setinggi 45 cm. Tingginya permukaan air laut disebabkan pelelehan lapisan es di Kutub, akibat peningkatan suhu secara global sebesar 2.30C.
Begitu nyatanya dampak yang kita rasakan sebagai akibat perubahan iklim secara global, memaksa kita untuk mengupayakan proses adaptasi, dan meminimalisasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan iklim. Bagi Indonesia, harus segera mengidentifikasi sektor-sektor yang dapat berperan untuk menurunkan emisi, merumuskan mekanisme pembangunan bersih, dan mengembangkan isu-isu prioritas untuk bernegosiasi dengan negara lain, agar tercapai kerja sama saling menguntungkan. Harus diantisipasi, upaya mengkaji ulang berbagai kebijakan yang akan dihadang ”benturan kepentingan” antara ekonomi dan ekologi. Terobosan ini sebenarnya ada dalam akal sehat dan tak jarang terkandung dalam kearifan budaya yang sudah terlupakan.
Wika Handini – w_handini@yahoo.com – Indonesia Initiative for Social-Ecology Studies (IISES)