Setelah belasan tahun lamanya kami para tapol PKI mengalami penyiksaan dan tahanan tanpa proses hukum dengan terpaksa kami dibebaskan secara bertahap dengan istilah bebas murni/ Gol. B. Kebebasan yang kami peroleh bukan karena kemurahan dan kebijaksanaan pemerintahan Orba tapi berkat tekanan dunia internasional berkenaan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia yang mengaku negara hukum dan Pancasilais di bawah pimpinan Ex Kopral KNIL Soeharto ternyata menjadi negara yang biadab dalam pelanggaran HAM.
Setelah kebebasan dari penahanan kami masih dikenakan tahanan administratif diberi KTP ET/OT tak bersih lingkungan, untuk anak cucu Ex Tapol PKI tidak diperbolehkan nikah atau menjadi pegawai / TNI / Polri sampai kini di zaman reformasi pemerintahan Mega masih tetap didiskriminasi. BAKORNA / BAKORDA dengan intelnya selalu mengawasi gerak-gerik Ex Tapol PKI, untuk kawan-kawan WALAP / Wajib Lapor dikenakan upeti Rp. 500 – 1.000 per minggu sejak dari ’66 sampai ’80, setiap bulan kerja paksa di proyek-proyek Kodam / Kodim tanpa bayaran. Ada juga yang terus menerus diperbudak oleh Perwira setempat hanya sekedar uang makan dan uang rokok.
Kebiadaban bukan saja dilakukan oleh perwira tetapi juga dilakukan Bintara / Tamtama petugas Laksus diantaranya yang pernah dialami kawan Sulaiman anggota PKI Comite Resort / CR rumah pribadinya yang merangkap Kantor CR disita oleh Serma Bolot Bunawi Bintara Laksuda Jl. Gandhi Medan. Penghuni sekeluarga diusir, kini kawan Sulaiman telah wafat, sedangkan isteri dan anak-anaknya pergi merantau tak ada masyarakat yang mengetahui sampai kini.
Lain waktu setelah pensiun Serma Bolot Bunawi menjadi petugas Keplor / RT. Orang-orang Walap / Wajib Lapor dipaksa harus mengerjakan lahan sawah / ladang / kolam ikan di Perbaungan desa Tualang Deli Serdang. Harta-harta tersebut adalah hasil rampasan dari orang-orang PKI dan UNDERBOW-nya. Ada pula kisah mengenai seorang kawan yang sedang Walap dipaksa untuk membelikan tempat tidur untuk putri dari Serma Bolot (Purnawirawan) si petugas RT, karena anaknya tersebut akan menikah. Melihat / mendengar mengalami perlakuan-perlakuan petugas Orde Baru kami Ex Tapol hanya bisa mengurut dada. Sementara itu mencari pekerjaan sangat sulit, masyarakat banyak yang takut berhubungan dengan kami. Segala usaha telah aku alami dari mulai kerja ngaspal jalanan, kenek prahoto (truk-red), kerja bangunan dan lain- lain. Alangkah nista dan azabnya penderitaan kami yang tak berkesudahan itu. Famili dan keluargapun tak peduli bila kami datang meminta pertolongan untuk cari pekerjaan, sehingga banyak yang menjadi trauma dan stres ada juga yang sakit saraf.
Aku Eddy Sartimin walaupun sudah punya penghasilan sebagai Tukang Photo Amatir akhirnyapun diintrik (di fitnah, di jelek- jelek kan-red) oleh teman sesama tukang Photo Amatir yang kalah bersaing dengan aku, mereka bilang aku PKI yang akan melakukan hal-hal yang tak terduga. Sehingga aku terpaksa menghentikan kegiatan foto-memfoto, menjual alat-alat tustel untuk ongkos pergi merantau ke Riau, mengikut seorang teman sewaktu masih bertugas di TNI – AD aku yang tak punya pengalaman hanya dapat kerja buruh kasar antara lain: bongkar muat balaktim, tarik ongkak seperti lembu dll. Pernah juga jadi kenek senso penebang kayu aku hampir mati tertimpa pohon kering yang tumbang di luar perhitungan berjarak setengah meter dari tempat ku berteduh. Serpihan ranting mengenai kening ku sehingga berlumuran darah dan menjadi cacat sampai kini. Lalu aku bercocok tanam menumpang di ladang Pak Buyung seorang asal Riau tapi tak berhasil karena dirusak kera dan babi.
Di Riau aku bertahan selama 7 (tujuh) tahun, tahun 1992 bersama teman-teman seperantauan menuju propinsi Jambi di perkebunan Sungai Bahar selama 4 tahun aku bertahan di Jambi, nasib sial menimpa kami bertiga disengat lebah sekujur badan sehingga badan kami bengkak-bengkak. Empat jam kemudian baru mendapat pertolongan medis. Namun berkat obat ramuan yang kuproses sendiri bengkak tersebut berangsur hilang sembuh dan tidak membawa dampak sampingan, malahan segala penyakit yang selama ini pernah kuderita hilang setelah aku periksa ke Puskesmas. Mungkin kisah-kisah ku ini pernah di alami oleh kawan-kawan senasib Ex Tapol PKI di seluruh Nusantara.
Tanggal 5 Juli 1997 aku pulang ke Medan karena mendapat panggilan surat anakku Susiana yang telah menjadi seorang ibu dengan dua orang anak. Namun kegembiraan ku untuk memomong cucu hilang setelah aku berselisih paham dengan anakku tersebut, karena dokumen-dokumen yang kutitipkan padanya hilang, sampai ahirnya ia mengatakan lebih mulia menjadi anak durhaka dari pada punya bapak Eks-PKI. Aku memang punya watak pemarah, dan merasa kami tak berbuat salah. Begitu juga aku paling benci bila dicaci maki PKI yang tak ber-Tuhan atau Atheis. Setahu kami orang-orang PKI punya agama antara lain Islam, Katolik, Protestan dll. Kalaulah aku mengikuti emosi saat itu entah apa jadinya terhadap anak durhaka itu. Mungkin aku jadi pembunuh dan kembali meringkuk di tahanan sampai akhir hayatku bagaimana nasib kedua cucuku yang akan kehilangan ibunya akibat ulah kakeknya sendiri, itulah pikiran sehat yang timbul seketika. Sebelum aku pergi aku bilang sampai kapanpun aku tidak akan kembali melihat kalian sebelum kalian bertobat.
Singkat kata aku akhirnya bertemu dengan anggota-anggota PRD dan orang-orang PRODEM dan aku menjadi warganya PRD dan aktif di KPK PRD Medan sampai kini, mulai sejak saat itu pikiran dan trumaku hilang, malahan aku menganggap apa yang pernah kualami dalam penderitaan ini, belum berarti bila dibandingkan dengan penderitaan rakyat yang masih dalam penindasan saat ini, aku dan kita semua bangunlah dari tidur dan trauma yang berkepanjangan marilah kita teruskan perjuangan secara bersama-sama dengan pejuang-pejuang muda menuju pembebasan, apa lagi yang kalian takutkan padahal kita Eks-Tapol rata-rata sudah manula, dari pada mati dalam ketakutan lebih baik mati dalam perjuangan itulah tekadku kawan. Bagaimana kawan-kawan? marilah kita berjuang atau trauma berkepanjangan. Rakyat bersatu melawan segala penindasan, Bersekutu dengan Golkar musuh rakyat, Tinggalkan reformis gadungan. Cabut Dwi Fungsi TNI – Polri. Hancurkan Sisa-Sisa Orba.
Medan, Medio April 2002
*Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) berdomisili di Medan, Sumatera Utara.