Kalahnya Hak Hidup Orang Miskin oleh Air Mancur Menari Monas

0
764

Apakah kita masih ingat dengan kejadian seorang warga pemulung di Jakarta yang terpaksa harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah? Saat itu, hari Minggu 5 Juni 2005 penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta – Bogor geger karena mereka tahu seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Sedianya Supriono hendak memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta dan dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Supriono di kantor polisi bercerita anaknya meninggal karena penyakit muntaber dan polisi belum langsung percaya kemudian memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Pada wartawan Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sebelumnya selama empat hari terserang muntaber dan sudah dibawa berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya bisa sekali saja membawa Khaerunisa ke puskesmas karena tidak punya uang. Sebagai pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilan saya hanya Rp10.000,- per hari”, tutur bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Menurut Supriono dikatakan bahwa dia hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring di gerobak ayahnya.

Akibat tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu 5 Juni 2005 sekitar pk 07.00 wib. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada orang lain yang tahu atau melihat kecuali sang bapak dan kakaknya, Supriono dan Muriski termangu. Sementara Uang di saku Supriyono tinggal Rp 6.000,- tentu tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans.

Supriono di RSCM meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan tetapi surat permintaan pulang tidak langsung diberikan pihak rumah sakit. Akhirnya Supriyono hanya bisa tersandar di tembok bersama Muriski, kakak Khaerunisa yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal yang sesekali memegang tubuh adiknya. Baru sekitar pk 16.00 wib, petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut. Luar biasa, karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono kembali harus berjalan kaki ke stasiun kereta api dan menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski menuju ke kota Bogor, tanpa ada bantuan mobil jenazah.

Kejadian menyakitkan seperti dialami oleh Khaerunisa di atas kembali terulang terjadi di Jakarta. Kembali beberapa media massa memuat pengalaman pahit hidup sebagai orang miskin dan tidak mendapatkan pelayanan publik sebagaimana mestinya sebagai manusia. Kejadian itu menimpa seorang bayi yang dilahirkan oleh orang tua miskin bernama Muhammad Zulfikri. Bayi berusia baru 5 hari yang lahir premature itu bersama orang tua sang bayi, Husain dan Laila Sari pada tanggal 18 Juli 2005 lalu harus berkeliling selama 11 jam dan ditolak 6 rumah sakit. Husain yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan hanya Rp 35.000 sehari itu tinggal bersama istrinya dan anak mereka yang baru lahir itu di sebuah rumah kontrakan sederhana di RT 09 RW 07 Kelurahan Makasar, Jakarta Timur. Hari itu mereka mendapati mata dan kulit Zulfikri berwarna kuning dan kondosinya lemas. Sekitar pk 09.00 wib, Zulfikri dibawa ke Puskemas Pinang Ranti Jakarta Timur, sekitar pk 09.00 wib untuk segera mendapatkan pengobatan. Namun karena alasan kondisi Zulfikri yang lemah itu, pihak Puskesmas menolak merawat dan meminta agar Zulfikri dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih Cawang Jakarta Timur. Bermodalkan uang di saku seadanya, kedua orang tua dan bayi yang malang ini menuju RSUD Budhi Asih dan tiba disana ditangani oleh petugas Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kondisi badan Zulfikri yang hanya 1,4 kilogram itu membuat pihak RSUD Budhi Asih menolak merawat dan meminta agar dibawa ke Rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Kondisi Zulfikri semakin lemas dan langsung dibawa ke RSM dengan menggunakan taksi agar bias lebih cepat tiba. Setibanya di RSCM, bayi Zulfikri tidak langsung ditangani atau diberi pertolongan. Justru pihak petugas bagian IGD menolak merawat dan mengatakan bahwa RSCM tidak memiliki alat untuk merawat bayi seperti Zulfikri dan semua kamar perawatan penuh. Sesuai saran petugas IGD RSCM, Husain dan Laila membawa bayinya ke RS Gatot Subroto dengan harapan bayi mereka dapat tertolong. Setibanya di RS Gatot Subroto, Zulfikri langsung dibawa menuju ke bagian IGD. Belum lagi mendapatkan perawatan, seorang petugas IGD meminta Husain dan Laila menanyakan, apakah mereka dapat membayar biaya perawatan Rp 700.000 per hari. Permintaan biaya perawatan yang mahal itu langsung disetujui karena kedua orang ini ingin sekali anaknya sembuh. Mungkin karena melihat penampilan mereka yang miskin, petugas IGD itu mengatakan bahwa semua ruangan di RS tersebut sudah penuh.

Di tengah kebingungan setelah ditolak oleh RS Gatot Subroto, Husain bersama isterinya Laila disarankan oleh seseorang yang merasa iba melihat kondisi Zulfikri, untuk membawa ke RS Mintoharjo di Benhil, Jakarta Selatan. Husain mengatakan bahwa penerimaan di RS Mintoharjo sedikit membuat mereka lega. Anak mereka oleh petugas RS Mintoharjo langsung diberi perawatan dan pertolongan pertama. Rasa lega itu ternyata tidak berlangsung lama karena kembali petugas RS Mintoharjo kembali menolak dengan alasan alat di sana tidak memadai untuk merawat Zulfikri. Petugas itu menyarankan agar bayi Zulfikri dibawa ke RS Anak dan Bersalin Harapan Kita karena disana memang rumah sakit khusus dan memiliki alat lengkap untuk perawatan anak. Diantar oleh seorang dokter yang mereka jumpai di RS Mintoharjo, bayi Zulfikri kembali dibawa ke RS Harapan Kita. Ternyata di RS Harapan Kita, sama sekali tidak mengobati apalagi menerima anak mereka. Petugas RS tersebut menolak anak Husain tanpa alasan.

Atas anjuran seorang pengunjung di RS Harapan Kita, Zulfikri dibawa ke RS UKI di Cawang Jakarta Timur. Setelah bayi Zulfikri diperiksa, seorang petugas menyarankan kembali anak mereka itu dibawa ke rumah sakit lain yang alat perawatannya jauh lebih baik dari RS UKI. Rumah sakit yang disarankan itu adalah RS Harapan Kita, RS Harapan Bunda di Ciracas Jakarta Timur, RS Thamrin dan RS Pasar Rebo. Atas dorongan dan tekat untuk menyembuhkan penyakit Zulfikri, Husain dan Laila membawa rumah sakit yang jarak dekat dengan RS UKI Cawang yakni ke RS Harapan Bunda. Kedua orang tua bayi yang malang itu akhirnya tiba di RS Harapan Bunda setelah pk 23.00 wib. Pengalaman pahit dibeberapa rumah sakit sebelumnya mengajarkan Husain langsung memesan kamar perawatan, tanpa memikirkan besarnya biayanya walaupun uang di kantongnya tinggal Rp 15.000,-. Setelah melakukan negosiasi dan mendapatkan pinjaman uang dari keluarganya, akhirnya bayi Zulfikri diterima dan dirawat di RS Harapan Bunda.

Derita kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan serupa dialami oleh bayi Zulfikri di atas juga menimpa seorang bayi bernama Robbie William Tanabora. Sepanjang usainya, sejak dilahirkan 3 bulan lalu bayi itu harus tetap tinggal di RS Umum Daerah Koja Jakarta karena orang tuanya Frederik Tanabora dan Maria Letsoia tidak bisa membayar biaya perawatan. Kejadian itu bermula karena 3 bulan lalu saat Robbie dilahirkan atas bantuan seorang bidan di daerah Semper, Timur Jakarta Utara mengalami kesalahan penanganan persalinan. Bayi Robbie dilahirkan normal pada tanggal 21 April 2005 tetapi mengalami kejadian keracunan air ketuban dan harus dibawa ke RSUD Koja. Keadaan Robbie yang parah semakin membaik setelah mendapatkan perawatan di RSUD Koja. Masalahnya sekarang adalah ayah Robbie adalah seorang karyawan yang baru kehilangan pekerjaan dan tidak bisa membayar biaya pengobatan Rp 10.081.000 kepada RSUD Koja. Ketidak-mampuan membayar biaya pengobatannya itu membuat bayi Robbie hingga hari ini tidak boleh dibawa pulang ke rumah dan ditahan di RSUD Koja, walau orang tuanya sudah membawa surat keterangan miskin dari RT dan RW.

Menyedihkan sekaligus menyakitkan sekali beban penderitaan yang ditanggung oleh keluarga yang hidup miskin di kota besar Jakarta. Tidak ada kepedulian atau pun bantuan dari pihak pemerintah provinsi yang terus banyak membangun proyek-proyek yang nilainya puluhan bahkan ratusan milyar rupiah atau trilyunan rupiah. Proyek-proyek seperti pembuatan patung Jendral Sudirman di jalan Jendral Sudirman Jakarta Selatan yang memakan biaya katanya sekitar Rp 6 lebih atau juga proyek renovasi Air Mancur di depan Hotel Indonesia yang memakan biaya lebih dari Rp 14 milyar. Tidak kalah spektakulernya lagi, saat ini Sutiyoso sedang membangun proyek Monorail yang akan menghabiskan biaya Rp 3,2 trilyun. Begitu pula beberapa hari lalu pada tanggal 24 Juli 2005 lalu Gubernur Jakarta, Sutiyoso meresmikan sebuah proyek Air Mancur Menari dan Menyanyi di Monumen Nasional (Monas) seharga Rp 26,7 milyar. Proyek-proyek ini tentunya tidak berguna untuk menolong dan bukan bagian dari pemenuhan hak hidup orang miskin.

Di tengah-tengah penderitaan yang dialami warganya itu, Sutiyoso mengatakan dengan entengnya, bahwa proyek pembuatan air mancur Monas itu tidak diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Jakarta. Pembangunan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta akan sarana rekreasi aktraktif. Walaupun Sutiyoso mengatakan, bahwa proyek air mancur Monas itu tidak perlu membayar uang tetapi harus memberikan 30 titik reklame pada PT Media Indra Buana sebagai ganti atas biaya pembangunnya. Pemberian 30 titik reklame ini artinya tetap saja warga Jakarta yang akan membayarnya kemudian hari. Bayangkan saja apabila biaya 30 titik reklame yang katanya dihargai hanya 26,7 milyar itu diberikan dan dimasukkan kedalam APBD Jakarta. Uang sebesar itu tentunya akan bisa dinikmati dan menolong ribuan orang miskin seperti Supriono berserta dua anaknya Muriski dan Khaerunisa yang wafat mengenaskan hanya karena penyakit muntaber. Atau juga dapat dinikmati oleh orang-orang miskin di Jakarta agar tidak bernasib malang seperti Husain dan Laila yang terpaksa harus membawa anaknya Zulfikri mencari rumah sakit serta bayi Robbie yang harus tidak bisa pulang ke rumah karena harus menjadi jaminan atas kemiskinan orang tuanya.

Begitu pula dengan beban energi listrik yang harus dikeluarkan apabila air mancur menari di Monas itu dioperasikan sebanyak 1.600 KVA atau 1,6 juta watt. Jumlah energi listrik yang sedemikian besar itu apabila dibagikan atau digunakan oleh keluarga miskin dengan kekuatan 450 Watt tiap rumah. Sekitar 3.5000 rumah keluarga miskin yang bisa menikmati itu energi listrik yang dihambur-hamburkan oleh air mancur di Monas tersebut. Jelas sekali dari sisi biaya pembuatan air mancur itu adalah sebuah pemborosan di tengah-tengah penderitaan serta kesulitan hidup warga Jakarta. Termasuk juga penggunaan energi listrik di atas jelas-jelas sebuah pemborosan dan pelecehan terhadap kehidupan warga miskin serta ajakan hemat energi yang dicanangkan oleh presiden SBY saat ini. Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk hidup secara manusiawi dan pemerintah memiliki kewajiban agar hak itu terlindungi? Pengalaman pahit dan getir sebagai orang miskin yang dialami di atas bukanlah kejadian pertama atau kesepeuluh. Ratusan bahkan jutaan orang miskin di Jakarta selama ini justru telah dilanggar oleh pemerintah kotanya dengan melakukan “penghematan” pemenuhan kewajiban melayani warga negaranya sendiri. Selama ini pemerintah selalu berteriak keras tentang pemberian jaminan subsidi bagi biaya pelayanan kesehatan kepada orang miskin? Bukankah pengalaman penderitaan saudara-saudara di atas telah cukup membuktikan bahwa pemerintah kota juga negara ini sudah tidak bisa dipercaya lagi?

Jakarta, 27 Juli 2005

Penulis : Azas Tigor Nainggolan adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here