Dalam sebuah kunjungan ke Afrika Selatan pada 1998 Jacques Derrida, seorang filsuf yang paling disegani, menyerang masyrakat Afrika Selatan dengan mengatakan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus dimengerti sebagai aktivitas pelupaan. Sungguh komentar yang kurang ajar! Bukankah KKR merupakan metode yang tepat untuk menuju masa depan melalui penyelesaian masa lalu yang menyeluruh? Bukankah itu merupakan proses mengingat dan mengenang, bahkan secara internasional dianggap sebagai model—sebuah simbol global dari sikap penolakan yang elegan untuk melupakan dan terus melangkah maju?
Derrida tak menyangkal adanya dimensi-dimensi ingatan yang menyokong kerja KKR. Memang ia mengatakan banyak hal positif tentang pilihan bulat KKR dalam situasi yang amat sulit untuk mengungkap dan menyimpan dokumen tentang kekejaman Apartheid. Ia mengakui bahwa klaim KKR sebagai model dapat diterima.
Ia membuat hal itu menjadi sangat sederhana sekaligus juga sangat filosofis. Penyimpanan dokumen, yang secara tradisional dimengerti sebagai tindakan mengingat, pada tingkat yang lebih dalam merupakan tindak pelupaan. Sebagaimana ia gambarkan pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Witwatersrand, ketika kita membuat catatan pada secarik kertas dan memasukannya ke saku, berarti kita menyimpan informasi sehingga kita bisa melupakannya dan kita mencabutnya ketika dibutuhkan. Lebih jauh lagi, ia mengatakan bahwa mengingat dan melupakan tidak biner berlawanan—terang berlawanan dengan gelap. Segala tindak mengingat didapatkan dari tindak pelupaan; segala cahaya yang dipancarkan menciptakan bayangan.
Bukan maksud saya untuk menjelajah ranah filsafat yang telah dibuka Derrida. Saya hendak membicarakan secara singkat dimensi-dimensi pelupaan (yang dimengerti secara konvensional) yang berkaitan dengan KKR sebagai proses dan institusi.
Para ahli, jurnalis dan komentator telah meliput secara lengkap proses-proses seleksi yang menentukan kerja KKR. Mandatnya membatasi pada fokus investigasi yang sempit yaitu pelanggaran HAM berat yang dilakukan selama masa Apertheid. Kendala-kendala praktis membuat geraknya semakin sempit—sebagai contoh, hanya sekitar sepuluh orang korban yang hadir untuk diberikan kesempatan menuturkan kisahnya di depan publik. Banyak investigasi yang dihambat oleh inkompetensi, pertikaian internal, tekanan politik dan beragam bentuk hambatan. Beberapa wawancara dilakukan melalui kamera. Semuanya ini, kalau boleh saya katakan, merupakan dimensi pelupaan.
Partai Nasional Baru mampu mendesak penghapusan beberapa temuan dari laporan KKR. Di tahun 1998 upaya ANC untuk melakukan hal serupa menemui kegagalan. Sekarang kita lihat IFP membawa KKR ke pengadilan untuk menyangkal temuan-temuan yang berhubungan dengan dugaan keterlibatan IFP atas pelanggaran berat HAM (lihat Stan Winer’s Truth Report Blocked). Dapat dikatakan ini semua adalah ekspresi-ekspresi dari insting pelupaan.
Dalam catatan yang lebih positif, komitmen KKR terhadap pengungkapan publik dan pemaparan kisah memuat sebuah dimensi pelupaan. Saya tidak menekankan gagasan sempit tentang penutupan atau tentang pemberian maaf dan pelupaan. Ikhtiar utama KKR adalah melawan penyangkalan dan penghapusan. Namun tugas yang sama pentingnya adalah menyebabkan pemulihan—dengan kata lain, penuturan kisah bukan untuk melupakan apa yang terjadi tetapi mengungkapkan bahwa penderitaan, perasaan bersalah, kepedihan, kebencian dan seterusnya—sebagaimana yang telah dialami—dapat dilupakan.
Hilangnya sumber-sumber ingatan institusional merupakan dimensi lain dari pelupaan. Di sini saya khususnya merujuk pada penyimpanan dokumen KKR yang tak selesai dan carut marut. Pemeriksaan menyeluruh pada catatan-catatan KKR dan catatan-catatan keamanan yang masih ada di masa Apertheid belumlah selesai dilakukan, sehingga tidak mungkin untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang pasti. Tetapi perhatikanlah hal-hal berikut ini. Kita tahu bahwa keberadaan 34 kotak yang disebut catatan KKR tidak diketahui atau disembunyikan oleh negara. Kita tahu bahwa sebagian besar memori elektronik KKR berada dalam kondisi yang rentan dan mungkin memiliki lubang-lubang yang signifikan. Kita juga tahu bahwa banyak staf KKR memindahkan catatan-catatan organisasional ketika mereka pergi Dan kita tahu bahwa setidaknya dalam hal penyelamatan data-data aparat keamanan, yang merupakan bukti yang telah dilihat oleh KKR sekarang telah hilang.
Pasti realitas-realitas ini memiliki dampak signifikan terhadap hak-hak publik untuk mengakses dokumen-dokumen KKR. Lebih jauh lagi, jaminan akses pada bagian-bagian dokumen yang aman dalam penjagaan Arsip Nasional tidaklah mudah. Komitmen untuk mengingat, dalam pandangan saya, membuat arsip-arsip tentang Afrika Selatan sangat aksesibel dan terbuka. Jika tidak maka akses hanya akan dilakukan melalui pengajuan permintaan dibawah peraturan Akses Promosi untuk Informasi. Dan sebagaimana diketahui cara seperti ini sangat komplek, memakan waktu dan seringkali merupakan pekerjaan yang melelahkan.
Lapis terakhir dari pelupaan dapat dilihat dalam tanggapan negara terhadap banyaknya rekomendasi yang dibuat KKR dalam laporannya. Aspek ini telah diangkat dengan baik oleh media. Sedikit saja upaya yang telah diselesaikan untuk menyediakan repatriasi-repatriasi terhadap korban pelanggaran HAM yang teridentifikasi. Nampaknya tak ada kehendak untuk melakukan pengusutan terhadap para pelaku yang mengabaikan proses amnesti KKR atau gagal menjamin amnesti. Hak pemerintah sekarang untuk memaafkan seseorang yang ditolak mendapatkan amnestinya oleh KKR, salah satunya, merupakan sebuah derita pelupaan dari proses amnesti yang merupakan sebuah mekanisme penting bagi transisi Afrika Selatan menuju demokrasi. Dan meskipun Arsip Nasional melakukan beberapa upaya, negara mengabaikan rekomendasi KKR yang luas tentang penyimpanan rekamanan oleh negara.
Ketika kita menggabungkan semua tindak pelupaan ini bersama-sama, menurut saya, kita pasti tiba pada kesimpulan bahwa tipifikasi Derrida tentang KKR menuntut pertimbangan serius. Kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa bagi negara KKR hanya sekedar alat untuk memberikan persetujuan mengingat demi pelupaan yang lebih dalam lagi. Semua yang setuju pada kesimpulan ini—dan jumlahnya akan bertambah lagi—menyatakan bahwa ketika negara menyelesaikan dengan masa lalu sebenarnya merupakan niatan untuk kembali pada kehidupan normal secepat mungkin.
Namun sebagaimana ditunjukkan Derrida, tidak pernah ada pelupaan tanpa mengingat. Dan tidak pernah ada pelupaan tanpa kemungkinan untuk mengingat. Seperti yang ia tegaskan pada 1998: “Hal yang kita pikir sudah dilupakan akan kembali melalui berbagai cara yang tak dapat diprediksi.” Beruntung Afrika Selatan memiliki banyak individu dan organisasi yang memiliki komitmen untuk menghentikan proses penghapusan dan mendesak diwujudkannya keadilan. Bagi mereka persoalan KKR yang belum selesai tidak akan dilupakan.
Oleh Verne Harris; November 03, 2002
(Penulis merupakan direktur Arsip Sejarah Afrika Selatan, dan mantan anggota KKR dalam penyelidikan catatan-catatan resmi tentang penghancuran milik pemerintah Apartheid) Artikel ini merupakan terjemamahan bebas dari artikel www.zmag.org