Mengapa menolak bayar utang? Bukankah itu tidak bertanggung jawab, ibarat ngebon di warung tapi tidak mau bayar? Kalau tidak mau bayar, kenapa berutang? Pertanyaan- pertanyaan seperti itu kerap muncul menanggapi ide tentang penghapusan utang yang saat ini harus ditanggung Indonesia.
Pertama- tama harus dipahami bahwa utang yang kini ditanggung Indonesia, tidak membawa keuntungan untuk rakyat dan dilakukan dengan sistem yang salah. Sistem salah itu dimulai ketika peminjaman dana dari luar negeri dilakukan dengan tidak transparan oleh Orde Baru. Ketika itu selalu dikatakan bahwa anggaran belanja negara kita adalah anggaran yang berimbang, pengeluaran seimbang dengan pemasukan. Sebenarnya, kalau mau jujur, penerimaan belanja kita sering ditutup oleh utang luar negeri. Namun ini tidak diakui.
Utang tidak membawa keuntungan untuk rakyat, karena pada jaman Orde Baru penggunaan utang luar negeri mengalir kepada proyek- proyek yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai kebutuhan dan menimbulkan kesenjangan sosial. Terjadi pula pengendapan utang tersebut ke dalam rekening dan proyek- proyek yang berbau korupsi. Diperkirakan sebesar 30% utang tersebut dikorupsi oleh pejabat- pejabat Orde Baru, dengan sepengetahuan lembaga pemberi dana tersebut. Contohnya adalah kasus pembangunan waduk Kedungombo yang dibiayai Bank Dunia. Ketika proyek itu berjalan, terjadi banyak hal yang merugikan penduduk sekitar, seperti ganti rugi yang tidak memadai, pengusiran dengan teror, transmigrasi paksa sampai pemberian julukan PKI bagi warga yang tidak mau ‘bekerjasama’. Kasus ini mencuat sampai ke dunia internasional, sehingga seharusnya Bank Dunia sebagai pemberi dana mengetahui hal- hal tersebut.
Kedua, pada saat ini utang luar negeri tersebut sudah begitu besarnya sehingga menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia. Utang- utang yang kita tanggung saat ini ternyata bukan hanya utang yang dibuat oleh negara, tapi juga utang yang dibuat oleh swasta. Dan negara juga harus menanggung utang para pengusaha swasta tersebut serta para pemilik bank pada Pogram Rekapitalisasi Perbankan. Jadi utang macet yang dibuat oleh swasta juga diambil alih oleh negara, sementara pihak- pihak swasta yang berutang tersebut kurang maksimal dituntut pertanggung-jawabannya.
Jadilah kini Indonesia harus membayar cicilan utang Rp 90 triliun setiap tahun, yang berarti besarnya 40-50% dana APBN sementara anggaran pembangunan hanya 13,4% (Rp 45,5 triliun) dan dana kesehatan kurang dari Rp 10 triliun. Artinya setiap warga negara Indonesia tiap tahun bayar utang sebesar US$ 45 dan hanya menerima anggaran kesehatan US$ 2 per orang. Total utang luar negeri kita saat ini adalah Rp 1.500 triliun sehingga setiap warga negara, dari bayi sampai kakek- kakek harus menanggung beban sebesar Rp 7,3 juta.
Dari mana kita mendapat dana untuk membayar cicilan utang? Kalau melihat contoh RAPBN 2001, maka kekurangan anggaran diambil dari utang luar negeri yang baru. Sehingga pepatah “gali lobang tutup lobang” berlaku di sini. Selain itu, dana untuk bayar utang diperoleh dengan menaikkan pajak, mengurangi subsidi bahan bakar, mengurangi subsidi pendidikan, mengurangi subsidi kesehatan dan didapat dari pengeksploitasian lebih besar terhadap hasil alam rawan non migas. Pajak Pertambahan Nilai misalnya, ditargetkan naik dari Rp 46,8 triliun (tahun 2001) menjadi Rp 69,8 triliun tahun 2002. Subsidi turun dari Rp 48,2 triliun tahun 2001 menjadi Rp Rp 46,2 triliun tahun 2002. Ini berarti harga BBM, listrik, biaya pendidikan akan terus naik, sementara perekonomian masih belum pulih dan angka pengangguran masih amat besar.
Apakah mungkin utang dihapuskan?
Utang mungkin saja dihapuskan jika kita melihat sejarah utang itu sendiri. Pada tahun 1930-an, Inggris mengemplang utang Perang Dunia I kepada AS sebesar US$14,8 miliar. Sampai saat ini belum dibayar. Dan besar utang Inggris ini kurang lebih sama dengan seluruh utang negara miskin terhadap Inggris, namun Inggris terus menagih utang ini
Kasus lain terjadi pada Jerman, dimana ketika itu negara- negara sekutu memberikan pengurangan utang besar- besaran kepada Jerman yang kalah Perang Dunia II, sehingga Jerman hanya perlu membayar 5% dari pendapatan eksportnya untuk membayar utang. Hasilnya, Jerman menjadi salah satu negara maju saat ini.
Apalagi jika melihat komposisi utang Indonesia yang seperti sudah dikatakan di atas belum tentu digunakan untuk kepentingan rakyat, dan terdiri dari utang swasta, tentu mungkin bagi rakyat untuk mempertimbangkan kembali untuk membayar utang. Ide tentang penghapusan utang saat ini juga sudah diajukan oleh negara- negara Afrika, disertai dengan argumen bahwa hal itu pantas mereka terima mengingat akibat penjajahan masih dirasakan oleh mereka sejauh ini.
Argumen- argumen lain
Data PBB menunjukkan bahwa kalau saja dana negara- negara miskin yang dipakai untuk membayar utang dialihkan untuk biaya kesehatan dan pendidikan, maka 7 juta anak dalam satu tahun bisa diselamatkan. Selain itu, setiap satu dollar bantuan yang masuk ke negara miskin dan berkembang, akan kembali sebanyak 9 dollar dalam bentuk pembayaran cicilan utang.
Oleh karena itu penghapusan utang sangat mendesak dilakukan, juga tuntutan supaya negara tidak mengambil alih utang swasta. Karena tidaklah adil jika rakyat miskin yang harus menanggung utang, sementara para pengusaha kaya justru menyimpan uang mereka dalam bentuk dollar di luar negeri.
***
Uraian di atas diambil dari bahan kampanye Koalisi Anti Utang, untuk data- data lebih lanjut atau pemberian dukungan bisa melalui alamat- alamat berikut:
INFID (International NGO Forum on Indonesia Development)
Jl. Mampang Prapatan XI/23, Jakarta 12790
Telp: 021-79196721, 79196722
Fax: 021- 7941577 email: infid@nusa.or.id situs: www.infid.or.id
Koalisi Anti Utang (KAU)
Jl Tegal Parang Utara No 14 Jakarta Selatan,
Telepon 021-7941672 email: infokau@lycos.com
Debt Watch Indonesia
Jl Pengadegan Selatan no 11, Pancoran Jakarta 12770
Telp:021-7974989 email: debtwacth@yahoo.com