Tidak diragukan lagi bahwa dampak terbesar dari krisis hutang dirasakan oleh negara penghutang Dunia Ketiga. Negara- negara Barat sampai saat ini tidak terlalu serius memikirkan soal pemecahan masalah hutang karena efek krisis ini belum mereka rasakan, atau paling tidak belum mereka sadari. Faktanya, banyak efek samping dari krisis ini yang “pulang kampung” kembali ke negara- negara Barat sendiri. Di bawah ini adalah beberapa dari efek bumerang krisis hutang:
Masalah Imigran
Karena kekacauan perekonomian di negara Dunia Ketiga, di mana pengeluaran negara harus dipusatkan untuk membayar hutang bukannya menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan, maka lahirlah “pelarian- pelarian ekonomi” dari negara- negara Dunia Ketiga ke negara- negara Barat. Pelarian ekonomi ini ternyata menimbulkan banyak permasalahan di negara- negara Barat, seperti bertumpuknya antrian ijin kewarganegaraan baru dan maraknya imigran gelap. Umumnya cukup sulit bagi imigran gelap untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan bersosialisasi karena statusnya yang tidak jelas, sehingga akan menciptakan suatu kelas baru di masyarakat yang berbeda, baik secara rasial maupun ekonomi yang dapat menjadi bibit baru permasalahan sosial seperti meningkatnya tindak kejahatan, meningkatnya kecurigaan rasial dan lain- lain. Di negeri Belanda misalnya, masalah imigran ini menempati urutan utama dari banyak permasalahan yang dihadapi pemerintah.
Masalah Lingkungan Hidup
Pada tahun 1970-an dan 1980-an perusakan lingkungan hidup secara serius terjadi. Ketika itu amat mudah bagi negara- negara Dunia Ketiga untuk memperoleh pinjaman bagi pembangunan yang sebagian besar merupakan proyek berskala raksasa seperti pembangunan bendungan, pembukaan perkebunan dan industri yang menggunakan tenaga batu bara. Biasanya pembangunan seperti ini tidak membantu pengentasan kemiskinan dan malah membawa kerusakan pada lingkungan.
Krisis hutang membuat keadaan ini makin parah, karena atas nasihat IMF, negara penghutang akan berusaha meningkatkan pendapatannya dengan semakin mengekploitasi alam guna membayar cicilan hutang tersebut. Hutan ditebangi untuk digantikan dengan perkebunan yang hasil komoditinya laku dijual di negara- negara Barat, memberi tempat pada Perusahaan Multinasional untuk menebangi kayu, menggali tambang tanpa memperhitungkan keserasian pola hidup penduduk asli dan lain- lain.
FAKTA: Negara- negara penghutang terbesar adalah mereka yang paling cepat menggunduli hutannya. Penggundulan hutan terbesar menurut World Resources Institute dilakukan oleh Brasil diikuti oleh Indonesia, dua negara paru- paru dunia.
Masalah lapangan pekerjaan di negara Barat sendiri
Untuk membayar hutangnya, negara- negara Dunia Ketiga memproduksi barang sebanyak- banyaknya untuk diekspor serta mengurangi impor mereka. Barang- barang yang diproduksi tentu saja yang paling laku dijual di negara- negara Barat, sehingga pasar akan kebanjiran produk yang kurang lebih serupa, sehingga harga akan menjadi anjlok. Anjloknya harga barang ini bukan hanya merugikan Dunia Ketiga, namun juga Barat sendiri karena akan ada beberapa sektor industri dan pertaniannya yang tidak mampu menyaingi harga murah dari Dunia Ketiga. Sebagai contoh mungkin akan lebih murah orang membeli sepatu produksi Indonesia daripada sepatu yang diproduksi langsung di Barat. Di sisi lain, kesempatan untuk menjual komoditi ke Dunia Ketiga juga semakin berkurang, karena Dunia Ketiga tidak mempunyai uang untuk membelinya. Dua hal tersebut menyebabkan lapangan pekerjaan di Barat sendiri akan menurun dan pengangguran meningkat. Sebelum krisis hutang terjadi, Eropa mampu menjual seperlima eksportnya ke Dunia Ketiga, namun pada tahun 1990 menurun menjadi sekitar sepersepuluh.
Perdagangan Obat Bius
Jutaan warga Amerika dan Eropa menggunakan obat bius. Negara- negara Barat sudah mengeluarkan banyak dana dan usaha untuk memerangi perdagangan ini. Namun belum ada pemerintahan yang memikirkan bahwa perdagangan obat bius dan hutang saling berhubungan. Untuk membayar hutang, Dunia Ketiga membutuhkan komoditi untuk dijual seperti coklat atau kopi yang nilainya menurun karena pasar dibanjiri produk yang sama. Sementara itu harga obat bius justru meningkat, sehingga banyak negara berpaling kepada perdagangan obat bius untuk memperoleh pemasukan. Selain itu tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan semakin banyak orang yang harus melakukan pekerjaan ilegal. Di Bolivia misalnya, 40% penduduknya tergantung dari perdagangan obat bius ini untuk hidup.
Oleh karena itu krisis hutang ini bukanlah masalah Dunia Ketiga saja, tapi sudah dan masih akan menjadi masalah global, karena itu perlu penanganan yang serius, terutama perubahan paradigma dari IMF dan Bank Dunia yang kebijakan- kebijakannya terbukti tidak membawa hasil yang baik.