Pada umumnya, semua bentuk sistem pertanian sensitif terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan, tanah longsor dan kebakaran hutan merupakan beberapa contoh bencana yang umumnya dikaitkan dengan kondisi perubahan iklim. Demikian juga dengan peledakan populasi hama dan penyakit tanaman, yang seringkali dihubungkan dengan peristiwa perubahan iklim. ((Gagnon, et al, 2001; Hopp dan Foley, 2003 dalam Boer, et al, 2007)) El Nino dan La Nina merupakan salah satu fenomena alam yang berdampak penting pada iklim serta mengakibatkan bencana.
Pemanasan global dan Ketersediaan Air untuk Pertanian.
Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia akan berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino, disebabkan keadaan Indonesia sebagai Negara kepulauan. Sedangkan La Nina berakibat curah hujan di Indonesia secara umum akan bertambah.
Penurunan curah hujan pada musim kemarau berdampak terhadap produksi pangan. menurut Boer dan Subbiah (2005), secara umum wilayah yang mengalami kekeringan meningkat selama terjadinya peristiwa El Nino. Berdasarkan analisis data sejarah dampak peristiwa El Nino terhadap produksi padi nasional yang dilakukan oleh Boer dan Las (2003), mengindikasikan bahwa, sistem produksi padi secara nasional rentan terhadap peristiwa iklim yang ekstrem. Misalnya ketika El Nino terjadi, produksi padi berkurang dikarenakan semakin meluasnya wilayah yang kekeringan. Rata-rata kehilangan hasil produksi padi pada periode 1991-2000 sebesar tiga kali lebih tinggi dibanding pada periode 1980-1990.
Pengaruh peristiwa El Nino yang berdampak kekeringan juga dirasakan oleh petani di wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura), terutama di wilayah Kabupaten Karawang dan Subang. Wilayah tersebut merupakan penghasil padi bagi daerah Jakarta, Bekasi dan sekitarnya. Sawah di wilayah Pantura mendapatkan air dari waduk Jatiluhur dan air hujan. Walaupun sawah-sawah sudah mendapatkan air dari irigasi teknis (waduk Jatiluhur), namun air dari waduk tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah petani. Kekurangan air tersebut dicukupi oleh air hujan yang turun. Sehingga dengan adanya kejadian El Nino yang mengakibatkan kekeringan, tentu saja, akan menurunkan produksi padi petani.
Pemanasan Global dan Hama & Penyakit Tanaman
Organisme penganggu tanaman (OPT), seperti hama, penyakit tanaman dan gulma (rumput/tanaman yang tidak dikehendaki keberadaannya), merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, dsb..
Hama seperti mahluk hidup lainnya, perkembangan hidupnya dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, seperti suhu, kelembaban udara, dsb. Faktor iklim tersebut berpengaruh terhadap siklus hidup, keperidian atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan, lama hidup, dsb. Sebagai contoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci), mempunyai suhu optimum 32,5ºC untuk pertumbuhan populasinya (Bonaro et al. 2007 dalam Wiyono, 2007). Dan perkembangan populasi ulat bawang Spodoptera exigua pada bawang merah lebih tinggi pada musim kemarau.
Pengaruh perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Sebagai contoh bakteri penyebab penyakit kresek pada padi Xanthomonas oryzae pv. Oryzae, mempunyai suhu optimum pada 30º C (Webster dan Mikkelsen, 1992). Sementara cendawan penyebab penyakit layu pada bawang merah (Fusarium oxysporum, mempunyai suhu pertumbuhan optimum 28-30 º C (Tondok, 2003). Faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Sebagai contoh tanaman vanili mengalami stres karena terlalu banyak cahaya, sehingga tanaman tersebut rentan terhadap penyakit busuk batang.
Dari contoh-contoh tersebut, iklim berpengaruh terhadap hama dan penyakit tanaman melalui dua hal, yaitu (i) faktor iklim mempengaruhi perkembangan hidup hama dan penyebab penyakit (bakteri, cendawan, virus, dsb), dan (ii) faktor iklim mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit tanaman.
Pada tiga tahun terakhir ini, terjadi perubahan pada masalah hama dan penyakit di Indonesia yaitu eskalasi, peningkatan status dan degradasi.
Eskalasi. Pada kondisi ini hama dan penyakit yang sebelumnya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah, makin meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai. Pada tahun kemarau 2006, Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal dan Brebes. Dan pada tahun 2007, berdasarkan Laporan Safari Gotong Royong Nastari-Klinik Tanaman IPB serangan Thrips sp. semakin berat pada berbagai daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal, Pati, Klaten, Magelang dan Wonogiri. Thrips berkembang pada musim kemarau, dan akan lebih berkembang bila kemaraunya makin kering dan suhu rata-rata makin panas. Contoh lain yaitu serangan penyakit antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. yang semakin berat pada tahun-tahun terakhir ini. Cendawan ini berkembang pada musim hujan dan suhu yang hangat.
Peningkatan Status. Pada tipe ini, hama dan penyakit yang sebelumnya dianggap hama atau penyakit minor, berubah menjadi hama atau penyakit penting. Contoh dari tipe perubahan ini adalah, penggerek padi merah jambu (Sesamia inferens). Sebelumnya hama ini dinyatakan sebagai hama yang tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan hama penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innnotata).
Berdasarkan pengamatan pada bulan April-Mei 2007 di sejumlah tempat di Jawa yaitu Indramayu, Magelang, Semarang, Boyolali, Kulonprogo, dan Ciamis, menunjukkan bahwa dominansi penggerek merah jambu dalam komunitas penggerek meningkat (Nastari dan Klinik Tanaman IPB, 2007). Kalshoven (1981 dalam Wiyono, 2007) menyatakan bahwa penggerek merah jambu banyak berkembang di daerah-daerah kering yang mempunyai iklim kemarau yang jelas. Di sisi lain, Departemen pertanian (2007) menyatakan bahwa pada musim hujan 2007 Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai daerah kekeringan terluas dan melebihi rata-rata 5 tahun terakhir).
Virus gemini merupakan contoh yang fenomenal. Lima tahun yang lalu virus ini tidak merupakan penyakit yang penting, tetapi sekarang ini menjadi penyakit cabai yang paling penting. Hampir disemua daerah pertanaman cabai dan tomat di Pulau Jawa seperti Bogor, Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar, dan Tulungagung. ((Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007)) Penyakit ini menimbulkan daun menjadi menguning (yellowing), dan gejala lebih jelas pada daun muda. Epidemi dari penyakit ini salah satunya ditentukan oleh dinamika populasi serangga vektor yaitu kutu kebul Bemisia tabaci.
Hingga saat ini belum ada penelitian yang mendalam untuk meneliti faktor penyebab ledakan penyakit virus gemini ini. Tetapi data biologi populasi B. tabaci menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik dipengaruhi oleh suhu. Laju pertumbuhan intrinsik B. tabaci pada tomat meningkat dengan meningkatnya suhu uji yaitu 0.0450 (pada 17 °C) menjadi 0.123 ( 30 °C). ((Bonaro et al.., 2007)) Peningkatan keparahan penyakit-penyakit tanaman oleh virus yang disebabkan oleh perubahan iklim juga diramalkan oleh Boland et al., (2004) di Kanada yang berkaitan dengan perkembangan serangga vektor.
Degradasi. Penyakit hawar daun tomat yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans, sebelumnya dinyatakan sebagai penyakit tomat terpenting di dataran tinggi. Penyakit ini lebih berkembang pada kondisi yang sejuk yaitu suhu 18-22 º C dan lembab (Semangun, 1989 dalam Wiyono, 2007). Berdasarkan laporan dari Yayasan Nastari dan Klinik Tanaman-IPB, pada bulan April-Mei 2007 dimana di Jawa sedang musim hujan, penyakit ini jarang sekali ditemukan pada tanaman tomat di dataran tinggi. Boland et al., (2004 dalam Wiyono, 2007) meramalkan bahwa dengan peningkatan suhu penyakit hawar daun tomat oleh P. infestans pada bawang bombay di Kanada akan menurun.
Dengan adanya berbagai contoh masalah hama dan penyakit tanaman yang sering timbul, maka terdapat indikasi kuat adanya kaitan antara pemanasan global dan perubahan iklim dengan masalah hama dan penyakit tanaman di Indonesia. Namun demikian untuk pemahaman masalah secara komprehensif perlu dilakukan kajian yang khusus dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.
Septiva Herlin Artati