September 1999 mundur ke belakang sampai tahun 1975 menjadi tahun- tahun yang tidak bisa terlupakan begitu saja oleh masyarakat Timor Lorosae. Konflik berkepanjangan yang melibatkan beberapa pihak menjadi aral melintang bagi kehidupan masyarakat yang merdeka. Masalah- masalah tersebut kini ditambah pula dengan banyaknya orang yang mengungsi ke wilayah Indonesia yang belum kembali, serta masalah- masalah lain yang terus menghantui kondisi sosial Timor Lorosae. Kecurigaan, ketakutan dan dendam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, pihak yang satu berpegang pada kebenarannya masing- masing sementara pihak lainnya juga demikian. Sikap tidak mau mengalah tampaknya tidak akan bisa dilepas jika masing masing pihak terus bersiteru dan menganggap apa yang dilakukannya adalah benar.
Kubu- kubu yang saling bermusuhan sudah beberapa kali dicoba untuk ditemukan namun ketidakpercayaan dari mereka yang akan kembali pulang menjadi batu penghambat terutama mereka yang terlibat dalam kasus kasus pelanggaran berat. Milisi dan pihak pihak Pro Otonomi meminta jaminan akan keselamatannya mereka jika mereka kembali ke ibu pertiwi, koordinasi pengawalan dan pengawasan kepulangannyapun dilakukan secara ektra ketat bahkan diistimewakan. Dengan kekuasaannya Civpol memberi peringatan bagi masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri tentunya dengan hukuman penjara, kawan yang dulu bersama sama memburu milisi kini menjadi musuh. Korban dan keluarganya takut bukan main terhadap ultimatum yang dikeluarkan pihak Civpol, untuk menegakkan keadilan para korban harus berpikir dua kali, memuaskan dendam atau masuk kurungan tetapi masyarakat lebih banyak membiarkan mereka yang dianggap pelaku atau orang orang yang berhubungan dengan milisi atau pro otonomi berkeliaran bebas. Akhirnya untuk kedua kalinya, korban menjadi pihak yang lemah yang tetap menantikan
keadilan.
Lantas kenapa korban diam bukankah mereka dapat melaporkan kasus kasus yang terjadi terhadap diri mereka kepada pihak polisi atau CIVPOL ? Dari banyak kasus, korban atau orang orang yang masih mempunyai hubungan dengan korban sudah melaporkan kasus kasus yang terjadi dengan dirinya pada tahun 1999 tetapi karena lambannya proses yang dilakukan pihak Civpol dalam mengusut kasus tersebut membuat korban bosan dan akhirnya diam seribu bahasa. Belum lagi urusan bukti dan saksi yang kadang kadang harus disediakan oleh pihak korban atau keluarga korban. Satu contoh adalah kasus pembunuhan Paulino salah seorang warga Desa Memo yang di bunuh pada tanggal 27 Agustus 1999 di desanya oleh pelaku yang bernama Agusto Asmeta Tavares, anggota milisi Halilitar. Dalam kasus ini, sejak pelaku ditangkap hingga pelaku di jatuhi hukuman oleh majelis hakim memakan waktu hampir 11 bulan, dengan hukuman terhadap pelaku selama 16 tahun. Lamanya proses mendapatkan keadilan dengan terbelit-belitnya birokrasi Civpol maupun proses pengadilan tidak dapat diterima begitu saja oleh korban.
Fenomena yang kini banyak terjadi adalah kondisi dimana korban dengan pelaku dapat hidup berdampingan. Berdampingan yang dimaksudkan disini adalah hidup dalam suatu wilayah/kota dimana antara korban dan pelaku sama sama mengetahui satu sama lain. Kenapa pelaku dapat berkeliaran dan hidup bebas sementara perbuatan yang dilakukan pada masa lampau belum dipertanggungjawabkan didepan pengadilan. Kita dapat membayangkan betapa sakit hati korban atau keluarga korban manakala melihat dengan mata kepala sendiri pelaku bebas berkeliaran bahkan menjadi pejabat pejabat penting dalam struktur UNTAET. Dimana keadilan berada, dimana lagi tempat korban dapat mengadukan segala masalah yang dulu menimpanya..UNTAET, CivPol PKF, Serius Crime atau lembaga lembaga yang membela HAM…….dan sampai kapan para korban dan keluarganya akan bersabar hingga keadilan dapat tercapai…..lantas jika mereka tidak sabar, tindakan apa yang akan dilakukan korban dan keluarganya?
Rekonsiliasi,
Pertanyaan pertanyaan diatas harus kita tanyakan pada diri kita masing masing karena kita semua adalah korban, korban ketidakadilan penguasa. Pihak Pro kemerdekaan merupakan korban dari penguasa militer Indonesia yang mendekam cukup lama di wilayah Timor Lorosae sedangkan mereka yang mengatakan dirinya pihak Pro Otonomi atau Integrasi merupakan korban dari konspirasi politik dan intelejen yang menginginkan kekuasaan dan uang belaka. Lantas apa makna rekonsiliasi bagi kita atau rekonsiliasi akan menjadi sebuah pemanis bagi kesuksesan UNTAET dalam menjalankan pemerintahan transisi di Timor Lorosae. Apapun alasannya, dengan Regulasi No 2001/10, UNTAET telah membentuk sebuah Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan tugas utama menyelidiki palanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi dalam konteks konflik politik di Timor Lorosae antara 25 April 1974 hingga 25 Oktober 1999.
Selain itu komisi ini juga bertugas mencari kebenaran dan melaporkan sifat pelanggaran HAM yang telah terjadi, mengidentifikasi kebijakan untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM masa lalu, mendorong rekonsiliasi dan memulihkan martabat korban, merujukkan palanggaran HAM yang terjadi kepada Kejaksaan Agung, memfasilitasi mekanisme rekonsiliasi di tingkat basis yang mendukung penerimaan dan reintegrasi dari individu yang telah merugikan komunitasnya serta peningkatan HAM. Komisi PKR merupakan lembaga yang independent dianggotanya diangkat berdasarkan atas beberapa kualifikasi seperti memiliki karakter moril dan integritas yang tinggi, tidak memihak mempunyai komitmen terhadap HAM yang telah teruji serta mempunyai kemampuan untuk menangani masalah masalah yang tertera dalam regulasi ini (bagian 4.1 Regulasi 2001/10). Syarat lainnya adalah bahwa anggota komisi PKR ini tidak boleh memiliki hubungan darah tingkat pertama dengan anggota lainnya. Komisi PKR ini akan bekerja selama 24 bulan dengan masa perpanjangan selama 6 bulan. Untuk beberapa bulan ke depan yakni antara Oktober hingga Nopember 2001, Komisi Panel Seleksi yang sudah dibentuk oleh UNTAET akan menyeleksi dan mempublikasikan kepada masyarakat umum mengenai komisi PKR. Komisi akan ada ditingkat nasional dan distrik dengan masing masing anggota 7-8 orang untuk nasional dan 35 orang total anggota Komisi PKR untuk distrik.
Camarada Kopral, seorang relawan di Timor Lorosae