Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, bangsa Indonesia sedang mendapat musibah yang maha dahsyat. Gempa bumi dan gelombang tsunami telah memporakporandakan Nangroe Aceh Darussalam (NAD), propinsi paling ujung barat di wilayah Republik Indonesia ini. Kedahsyatan gempa dan tsunami ini tidak saja meratakan semua bangunan fisik rumah dan fasilitas umum, namun bencana ini telah meminta korban nyawa yang tidak terhingga jumlahnya.
Berdasarkan laporan resmi dari Lembaga Informasi Negara dibawah koordinasi Satkorlak Bencana Gempa dan Tsunami di Banda Aceh per tanggal 9 Januari 2004, tercatat jumlah korban jiwa yang meninggal atau telah dimakamkan sebanyak 83.423 orang, korban yang hilang sebanyak 6841 orang, mereka yang mengalami luka parah sebanyak 952 orang, mereka yang mengalami luka ringan sebanyak 110 orang, sedangkan mereka yang kini menjadi pengungsi yang tersebar di sejumlah posko pengungsian di sekitar Banda Aceh dan kabupaten sekitarnya yang terkena bencana sebanyak 370.679 orang.
Tentu saja data tersebut adalah informasi yang berhasil di dikumpulkan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan jumlahnya bisa jadi lebih besar dari yang telah dilaporkan. Dan yang pasti sampai laporan hasil investigasi ini di turunkan, jumlah korban bencana ini akan terus bertambah, karena masih banyak wilayah yang belum tertangani oleh tim evakuasi korban karena memang secara lokasi cukup luas dan tingkat kerusakan yang cukup parah.
Akibat bencana yang begitu dahsyat, persoalan selanjutnya yang muncul adalah masalah penanganan pengungsian korban pasca bencana ini. Tentunya, persoalan pengungsian tidak saja sebatas pada bagaimana memberikan mereka yang menjadi korban ini mendapatkan tempat dimana mereka harus tinggal. Persoalan pengungsian juga mencakup aspek bagaimana para korban ini tidak saja mendapatkan tempat tinggal, namun juga perlu mendapat perhatian bagaimana mereka dapat tinggal secara baik dengan tercukupinya kebutuhan mereka seperti makanan, pakaian, kesehatan dan bahkan ketenangan secara psikologis. Setidaknya pengungsi korban bencana ini dapat melanjutkan kehidupannya dengan terpenuhinya sejumlah kebutuhan dasarnya sebagai masyarakat.
Bagi pengungsi perempuan, selain mempunyai persoalan akan kebutuhan-kebutuhannya yang mendasar sebagai manusia, ia juga mempunyai persoalan yang lebih spesifik dibandingkan dengan pengungsi laki-laki. Siklus reproduksi perempuan yang mengharuskan perempuan dewasa mengalami masa haid adalah salah satu persoalan sendiri yang membutuhkan penanganan secara spesifik, yang tidak mungkin dialami oleh pengungsi laki-laki. Ketika perempuan mengalami haid, tidak saja masalah kesehatan reproduksi yang harus diperhatikan, namun juga masalah psikologis yang mengalami sejumlah perubahan.
Dalam konteks itulah, untuk mengetahui bagaimana kondisi nyata perempuan di dalam posko pengungsian akibat bencana ini, maka Yayasan Jurnal Perempuan mengirimkan satu tim untuk melakukan investigasi terhadap kondisi perempuan di sejumlah pengungsi di Banda Aceh. Kami menyadari bahwa persoalan di pengungsian ini memang bukan hanya persoalan laki-laki saja atau persoalan perempuan saja sehingga harus ada pembedaan. Namun demikian ada dua pertimbangan yang mengharuskan apa yang kami lakukan lebih memfokuskan diri pada persoalan perempuan, pertama Yayasan Jurnal Perempuan adalah lembaga nir laba yang memfokuskan diri untuk mempromosikan isu-isu perempuan dan kesetaraan gender melalui media. Terkait dengan itu, maka apa yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan harus sesuai dengan visi dan misi organisasi yang memang terfokus pada masalah perempuan dan kesetaraan gender.
Aspek kedua yang juga menjadi pertimbangan adalah spesifikasi kondisi perempuan yang lebih komplek seperti terjadinya siklus haid, ibu hamil dan menyusui. Spesifikasi ini jelas membutuhkan penanganan yang lebih khusus, tidak bisa disamaratakan dengan pengungsi laki-laki. Haid misalnya, siklus ini terjadi pada perempuan dan membutuhkan pembalut, yang mungkin tidak akan dialami oleh laki-laki.
Pengiriman tim Yayasan Jurnal Perempuan ke NAD ini ditujukan untuk melakukan beberapa hal yaitu ; (1) Melakukan peliputan menyeluruh tentang kondisi perempuan dan anak-anak di sejumlah posko pengungsian di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya yang akan digunakan untuk kebutuhan pemberitaan Radio Jurnal Perempuan dan situs jurnalperempuan.com. (2) Tim ini juga melakukan identifikasi sejumlah masalah yang dialami oleh perempuan dan anak-anak di lingkungan posko pengungsi pasca bencana, (3) Mendapatkan informasi secara langsung tentang kondisi rekan-rekan jaringan Yayasan Jurnal Perempuan yang berada di Aceh yaitu kondisi stasiun radio beserta krunya juga kondisi aktivis dan LSM perempuan di Aceh dan (4) Memberikan rekomendasi secara spesifik yang ditujukan untuk bantuan dan proses pemulihan bagi perempuan dan anak-anak.
B. Proses Investigasi
Tim YJP (Yayasan Jurnal Perempuan) melakukan proses investigasi selama 5 hari secara penuh yaitu mulai tanggal 5 – 9 Januari 2005. Menurut jadwal, tim YJP seharusnya sudah bisa melakukan peliputan mulai tanggal 4 Januari 2005, namun karena ada kendala traffic lalu lintas udara, memaksa tim YJP mengalami penundaan penerbangan sampai 1 hari penuh dan ketika itu pesawat sudah mendarat di Batam. Dalam pengiriman pertama ini, Tim YJP mendapat bantuan dari Terre Des Homes Netherlands yang waktu itu melakukan pengiriman bantuan ke Aceh dengan menggunakan pesawat cargo.
Selama 5 hari penuh, Tim YJP melakukan peliputan penuh ke 6 posko pengungsi yang tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar dan melakukan wawancara kepada pengungsi perempuan. Berikut informasi posko pengungsi dan jumlah narasumber yang di wawancarai oleh Tim YJP selama berada di Banda Aceh:
No
|
Posko Pengungsi
|
Jumlah Narasumber |
||
Perempuan
|
Anak
|
Petugas Posko |
||
01 | Posko Pengungsi di lingkungan bandara udara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang – Banda Aceh | 6 perempuan | 2 anak perempuan | 1 petugas |
02 | Posko Pengungsi Seulimun – Aceh Besar | 3 perempuan (2 diantaranya sedang menyusui) | – | 1 petugas |
03 | Posko Pengungsi di Janthon – Aceh Besar | 3 perempuan | – | – |
04 | Posko Pengungsi di Masjid Lampeuneurut – Aceh Besar | 6 perempuan (4 diantaranya sedang mengandung) | 2 anak perempuan | 1 petugas |
05 | Posko Pengungsi di kawasan Dinas Sosial – Banda Aceh | 5 perempuan (2 diantaranya sedang menyusui) | 2 anak (perempuan dan laki-laki) | – |
06 | Posko Pengungsi Ujong Bate – Aceh Besar | 4 perempuan | 2 anak perempuan | 1 petugas |
07 | Posko pengungsi di kawasan TVRI – Banda Aceh | 12 perempuan (2 diantaranya sedang menyusui) | 3 anak (2 perempuan dan 1 laki-laki) | |
Total Narasumber | 39 perempuan | 11 anak | 4 petugas |
Sejumlah narasumber yang diwawancarai setiap posko diambil secara acak dengan memasuki tenda-tenda pengungsian dan memang mencari narasumber perempuan dan anak-anak. Dari satu posko yang dikunjungi maka proses selanjutnya menggunakan mekanisme snowball, misalnya untuk mencari dimana ada pengungsi perempuan yang hamil atau menyusui.
Selain melakukan proses peliputan di sejumlah posko pengungsian, Tim YJP juga melakukan peliputan terhadap kondisi kota Banda Aceh yang terkena bencana. Ada sejumlah kawasan yang telah dikunjungi untuk bisa memperoleh gambaran secara langsung bagaimana gempa dan tsunami menyapu kota Banda Aceh ini.
C. Temuan Dalam Investigasi
Berdasarkan investigasi yang dilakukan dalam laporan ini, akan disampaikan dua kondisi yang terjadi pada pengungsi perempuan dan anak-anak di 7 posko pengungsian. Dalam bagian ini akan terbagi dalam 3 bagian. (1) Tentang kondisi umum kota Banda Aceh, (2) Kondisi umum posko pengungsian, (3) Kondisi perempuan di pengungsian ketiga tentang kondisi anak-anak.
C.1. Kondisi Umum Kota Banda Aceh
Sampai dengan 9 Januari 2005, kondisi kota Banda Aceh masih belum menunjukkan aktivitas secara normal sebuah pemerintahan propinsi. Meskipun sejumlah masyarakatnya sudah terlihat lalu lalang di kota, namun kondisi itu tidaklah dapat menunjukkan bahwa telah beraktivitasnya kembali kehidupan masyarakat kota Banda Aceh. Toko-toko yang selamat dari bencana juga masih banyak yang belum buka, bahkan sejumlah warung kopi dan penjual mie aceh yang sebelumnya cukup banyak ditemui di sepanjang kota Banda Aceh, kini tidak dapat dijumpai lagi. Aktivitas masyarakat mulai muncul dipinggiran kota Banda Aceh seperti di Ule Krueng yang terletak sekitar 10 km dari pusat kota Banda Aceh.
Dari pengamatan yang dilakukan, diperkirakan 70 persen kota Banda Aceh mengalami kerusakan total dan kini sedang mengalami kelumpuhan. Hal ini dapat dilihat bagaimana diseputaran masjid Baiturohman yang menjadi salah satu pusat kota Banda Aceh benar-benar rusak dan sejumlah wilayah disekitarnya masih belum bisa di akses, karena proses evakuasi jenasah dan pembersihan jalan belum bisa dilakukan sehingga tertutup untuk umum. Instalasi listrik belum bisa beroperasi. Air bersih juga masih sulit didapat. Jika malam tiba, kota Banda Aceh yang semula ramai, kini selepas Mahgrib saja sudah sepi. Di seputaran Masjid Baiturohman nampak gelap dan tidak bisa menunjukkan aktivitas.
Di wilayah Ulele misalnya, yang selama ini dikenal sebagai kawasan padat penduduk kini tidak tersisa lagi. Semua sudah tersapu dengan gelombang tsunami. Sepanjang mata memandang yang bisa dilihat hanyalah puing-puing bangunan yang rata dengan tanah. Rumah-rumah penduduk hamper 90 persen rata dengan tanah hanya menyisakan pondasi rumah. Dari kondisi itu nampak bagaimana kedahsyatan gelombang tsunami ini.
Di wilayah Penayung yang sebelumnya juga menjadi pusat aktivitas masyarakat dengan berbagai ruko yang ada kini menjadi senyap. Sebagian hancur dan kayu-kayu masih berserakan dimana-mana yang terkadang masih dijumpai sejumlah jenasah yang belum bisa diangkut. Itu jenasah yang terlihat, belum lagi jenasah yang masih berada dalam tumpukan yang masih belum bisa dijangkau. Jenasah yang sudah sekian lama juga sudah menimbulkan bau yang tidak sehat. Hampir jenasah yang ditemukan dalam kondisi membusuk dan membesar. Sebagian tubuhnya juga sudah mulai menghilang dan rusak.
Pemandangan yang juga akan ditemui diantara kehacuran kota adalah banyaknya perahu dan kapal laut besar yang bertengger di dalam kota dan memasuki ruko-ruko yang berada di sekitar kota. Hal ini menunjukkan bagaimana kuatnya gelombang ini sehingga bisa menyeret kapal yang besar itu sampai ke deretan ruko-ruko.
Salah satu bagian kota yang cukup sibuk adalah di kawasan pendopo tempat tinggal Gubenur NAD. Di Pendopo inilah yang kini dijadikan sebagai Posko relawan yang dikoordinasikan oleh Satkorlak Bencana Gempa dan Tsunami yang dipimpin oleh Menko Kesra RI. Disamping itu Pendopo Gubernur ini juga dijadikan media center bagi para jurnalis baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Di pendopo ini juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Aceh dan siapa saja untuk memperoleh informasi tentang kondisi Aceh pasca gempa dan tsunami. Di pendopo ini pula disediakan sejumlah line telepon secara gratis ke semua tujuan, termasuk internasional juga terdapat jaringan internet yang bisa dimanfaatkan.
Setelah gelombang gempa dan tsunami yang memasuki kota Banda Aceh, kini gelombang sukarelawan, bantuan dan kunjungan sejumlah pejabat dari dalam dan luar negeri termasuk badan-badan internasional dan nasional silih berganti berdatangan ke kota Banda Aceh. Selain posko relawan yang dikoordinasikan oleh Menko Kesra termasuk dari TNI, banyak juga posko relawan yang berdiri sendiri-sendiri baik yang dikoordinasikan oleh NGO, Partai Politik atau organisasi-organisasi massa lainnya termasuk mahasiswa dari berbagai kota.
Para relawan ini terbagi dalam berbagai aktivitas, dari relawan yang melakukan evakuasi jenasah sampai relawan yang berada di posko-posko pengungsi. Namun demikian, tidak sedikit pula sejumlah orang yang mengaku relawan namun mereka tidak melakukan apapun kecuali mengunjungi tempat-tempat yang terkena bencana, sehingga hampir menjadi sebuah “wisata bencana”.
Dalam pengamatan Tim YJP pula diperkirakan masih banyak sekali jenasah yang belum dievakuasi. Hal ini bisa dimaklumi karena luasnya wilayah yang terkena bencana dengan tingkat kerusakan yang besar, disamping itu minimnya peralatan dan tenaga relawan yang untuk melakukan evakuasi.
C.2 Kondisi Posko Pengungsian
Sebelum masuk pada kondisi perempuan di pengungsian, dapat digambarkan bahwa pengungsian yang ada dapat terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama pengungsian yang terkoordinir dalam suatu posko pengungsi. Biasanya mereka ditampung dalam satu wilayah tertentu dan tinggal didalam tenda-tenda penguangsian atau bangunan-bangunan sekolah atau instalasi umum lainnya dan kelompok pengungsi yang kedua adalah mereka yang ditampung oleh rumah-rumah penduduk. Ada yang tinggal bersama dengan keluarganya atau kerabat, namun ada pula yang tinggal dirumah penduduk yang memang memberi bantuan. Namun mereka tetap terkoordinir, biasanya kepala desa setempat yang mengkoordinir mereka.
Kedua kelompok pengungsian ini memang mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Kelebihan dari pengungsi yang ditampung di rumah-rumah penduduk mereka akan mendapatkan tempat yang lebih baik misalkan dari ketersediaan air bersih, ruangan yang layak dan beberapa kebutuhan makanan bisa tercukupi. Namun demikian, mereka sulit terjangkau oleh bantuan yang datang, karena identifikasi para pengungsi yang ditampung dirumah penduduk ini tersebar sehingga cukup sulit untuk dilakukan koordinasi. Para pengungsi inipun akan mengalami persoalan baru menyangkut keterbatasan kemampuan keluarga yang menampung, sejauh mana mereka akan terus memberi tampungan bagi korban ini, karena juga harus diperhatikan bagaimana dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Sementara itu, mereka yang tinggal di posko-posko pengungsian biasanya mereka terkoordinir, dan memudahkan untuk menyalurkan bantuan yang datang. Namun demikian di posko-posko inipun mereka mendapati tempat yang kurang layak. Mereka tinggal di tenda-tenda yang bisa jadi satu tenda berisi lebih dari lima keluarga. Belum lagi satu keluarga bisa membawa minimal 2 orang hingga 6 orang. Jadi di dalam tenda itu bisa terisi sekitar 30 lebih orang, baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan bayi bercampur baur menjadi satu. Di dalam tenda itu semua aktivitas keluarga dilakukan mulai dari memasak, mencuci piring, makan, makan tidur dan sebagainya.
Persoalan lain yang muncul dalam tenda pengungsian ini adalah masalah ketersediaan air bersih dan MCK (Mandi Cuci Kakus yang layak). Jangan dibayangkan bahwa MCK tersebut terdapat aliran air yang layak. Umumnya MCK adalah tempat mereka untuk membuang air kecil maupun besar, sedangkan airnya mereka masih mencari sendiri. Belum lagi udara yang panas di siang hari menambah suasana posko pengungsian yang ada masih kurang representatif untuk dijadikan tempat tinggal.
Meskipun dapat diketahui bahwa kelompok pengungsi terbagi dalam dua bagian, namun dalam investigasi yang dilakukan oleh Tim YJP tidak menjangkau kelompok pengungsi yang ditampung oleh penduduk. Tim YJP hanya melakukan investigasi kepada sejumlah pengusian yang dikoordinir di dalam posko-posko pengungsian yang ada. Hal ini dikarenakan keterbatasan tim yang berangkat dan ruang jangkauannya cukup jauh, karena informasi yang didapat, mereka yang ditampung biasanya berada dalam satu dusun tertentu di luar kota Banda Aceh.
C.3. Kondisi Perempuan di Posko Pengungsian
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, maka ada beberapa persoalan yang muncul dari pengungsi perempuan yang tinggal di posko-posko pengungsian, yaitu :
1. Kebutuhan spesifik perempuan belum terakomodasi oleh bantuan. Dari 7 lokasi posko pengungsian yang telah dilakukan investigasi, hampir keseluruhannya belum terjangkau kebutuhan perempuan secara spesifik seperti pakaian dalam dan pembalut wanita. Hampir semua bantuan yang datang masih bersifat umum seperti makanan (mie instan), aqua, selimut, susu dan sebagainya. Bahkan dalam suatu posko yang berhasil di datangi yang kebetulan sedang melakukan penyaluran bantuan yang katanya khusus untuk ibu-ibu ternyata yang datang lebih bersifat kebutuhan untuk memasak seperti kompor, set piring, set sendok, ember, penggorengan, pisau dan sebagainya. Padahal kebutuhan perempuan akan pakaian dalam dan pembalut justru menjadi bagian utama bagi para perempuan.
Menurut pengakuan perempuan yang diwawancarai mereka merasa cukup dengan bantuan yang datang dan sangat bersyukur, namun kalau bisa mereka berharap bantuan yang datang jangan hanya makanan atau minuman saja, tetapi juga pakaian dalam termasuk juga pembalut.
Ketika tim YJP melakukan wawancara terdapat 2 pengungsi perempuan yang sedang datang bulan yaitu ibu Mirna dari posko pengusian Blang Bintang dan seorang gadis bernama Nova dari Posko TVRI Banda Aceh. Ibu Mirna sudah dua hari tidak mengganti pembalutnya, karena ibu Mirna tidak mempunyai pembalut cadangan, dan semua perempuan yang ada dalam satu tidak mempunyai sehingga tidak bisa berbagi. Mau membeli Ibu Mirna tidak mempunyai. Pernah ibu Mirna meminta di posko, namun ia tidak berhasil karena posko merasa semua bantuan harus serempak dan bersama-sama tidak bisa satu persatu. “Perempuan disini butuh pakaian dalam dan pembalut pak. Seperti saya ini sekarang sedang datang bulan, tetapi saya tidak mempunyai pembalut, jadi habis saya pakai saya cuci lagi,” ujar Ibu Mirna. Selain ibu Mirna, Nova yang berusia 20 tahun ini menggunakan handuk kecil sebagai pengganti. Seperti ibu Mirna, ia tidak mempunyai pembalut. Apa yang dilakukan Mirna juga dilakukan oleh pengungsi perempuan lainnya yang satu tenda dengan Nova.
Ibu Mirna dan Nova dapat dikatakan mewakili sejumlah perempuan yang ditemui, yang rata-rata mengeluhkan tidak tersedianya bantuan berupa pakaian dalam dan pembalut. Ibu Hasna, 39 tahun yang tinggal di pengungsian TVRI mengaku kalau ia belum mengganti pakaian dalam, karena tidak punya lagi. Kalau akhirnya harus di cuci, maka ibu Hasna tidak menggunakan pakaian dalam karena memang tidak mempunyai pengganti. “Saya butuh pakaian dalam, karena pakaian dalam saya tidak punya penggantinya. Jadi kalau pakaian dalam ini saya cuci, saya ya nggak pakai pakaian dalam untuk sementara sambil menunggu kering cucian. Kalau dipakai terus tidak kuat gatalnya. Jadi tolonglah ada bantuan pakaian dalam untuk kita-kita yang perempuan ini,” ujar ibu Hasna.
Memang, tidak semua posko pengusian tidak mendapat sama sekali bantuan pakaian dalam maupun pembalut. Beberapa posko memang mendapat, namun terganjal masalah distribusi. Padahal juga di tiap posko ada yang pernah didata berapa jumlah perempuan yang ada dalam pengungsian. Di posko Blang Bintang misalnya, bantuan pakaian dalam dan pembalut pernah ada, namun distribusinya tidak merata. Ada satu keluarga yang dapat dan ada satu keluarga yang tidak dapat. Bantuan pakaian dalam dan pembalut ini biasanya tidak menjadi satu paket. Bantuan ini lebih banyak menjadi bantuan tersendiri, akibatnya dalam hal distribusi tidak merata dan tidak mengena pada sasaran.
Persoalan lain dari tidak terjangkaunya kebutuhan perempuan disebabkan karena bentuk bantuan yang datang memang tidak memasukkan unsur pakaian dalam dan pembalut. Taufik, seorang Koordinator posko Seliumun Aceh Besar yang ditemui Tim YJP mengatakan bahwa, tidak adanya bantuan khusus untuk perempuan itu sebenarnya tergantung dari bantuan yang datang. “Kami disini hanya menerima saja bantuan yang datang. Pernah suatu kali ada orang yang meminta informasi tentang kebutuhan para pengungsi, kami sudah mencatatkan apa saja yang dibutuhkan, dan salah satunya adalah kebutuhan perempuan, namun sampai sekarang belum datang, yang datang justru dari pemberi bantuan yang lain, yang mungkin tidak sama dengan permintaan. Kalau sudah begini kami tidak bisa apa-apa, kami hanya mendistribusikan saja kepada pengungsi,” ujar Taufik.
Jadi dalam hal kebutuhan yang spesifik bagi perempuan yang tidak terakomodasi ini terdapat tiga persoalan yaitu pertama yaitu masalah distribusi bantuan yang tidak merata terhadap perempuan yang membutuhkan. Tidak meratanya distribusi ini dikarenakan pakaian dalam dan pembalut ini dikemas dalam paket tersendiri, tidak menjadi satu paket dengan bantuan lain yang sudah pasti distribusinya. Persoalannya juga tidak adanya sukarelawan khusus yang memang peduli dengan masalah perempuan ini, sehingga bantuan pakaian dalam dan pembalut tidak terdistribusi dengan baik. Kedua jenis bantuan yang datang tidak memasukkan pakaian dalam dan pembalut dalam paket bantuannya. Hal ini terkait dengan pihak pemberi bantuan. Pihak posko umumnya hanya menerima saja jenis bantuan yang diberikan oleh pemberi bantuan dan mendistribusikannya kepada pengungsi.
Persoalan ketiga adalah adanya birokrasi dalam penyaluran bantuan. Persoalan ini salah satu contohnya yang dialami oleh ibu Mirna, ketika ia sedang membutuhkan pembalut, dan meminta ke posko namun di tolak dengan alasan bantuan yang disalurkan harus dalam satu koordinasi, tidak bisa sendiri-sendiri. Pola birokratisasi penyaluran bantuan ini tentu saja berdampak sangat negatif bagi perempuan.
2. Fasilitas MCK (Mandi Cuci dan Kakus) yang layak dan air bersih sulit di temui perempuan di posko pengungsian.
Bagi perempuan, fasilitas MCK dan kebutuhan air bersih sangatlah penting. Siklus reproduksi perempuan ketika haid misalnya, menjadi suatu keharusan untuk mendapatkan air bersih. Jika air bersih sampai tidak ditemui, ini akan berdampak buruk pada aspek kesehatan reproduksi, karena darah haid harus setiap saat dibersihkan sehingga tidak menimbulkan kuman yang akan berpengaruh pada kesehatan reproduksinya.
Namun demikian, dari investigasi yang dilakukan di 7 posko pengungsian, kebutuhan air bersih hampir tidak ada dan jika ada jumlahnya akan sangat terbatas dan harus digunakan oleh banyak pengungsi yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Ibu Risma 29 tahun, seorang ibu rumah tangga dengan satu orang putra salah seorang pengungsi di posko Dinas Sosial Banda Aceh mengeluhkan tidak adanya air bersih sangat meresahkan bagi dirinya. Jika dia harus buang air kecil ibu Risma hampir selalu stress, karena di lokasi pengungsiannya tidak tersedia air bersih. Ibu Risma harus membawa air Aqua, padahal kebutuhan air bersih bagi perempuan meskipun untuk buang air kecil cukuplah banyak daripada laki-laki. “Masak saya harus selalu membawa aqua kalau buang air kecil, padahal untuk mendapatkan aqua sangat sulit,” ujar ibu Risma.
Disamping tidak adanya air bersih, kondisi MCK di hampir setiap posko sangatlah memprihatinkan. Sejumlah posko biasanya tidak membedakan secara khusus mana untuk laki-laki dan mana untuk perempuan. Perbedaanya hanyalah ruang untuk mandi dan ruang untuk buang air besar. Paling parah adalah kondisi kakus. Menurut pengamatan Tim YJP, kakus yang tersedia bukanlah kakus yang layak. Ia berupa tanah saja yang terus ditutup tanah setiap kali buang air besar. Jadi jika ada yang ingin buang air besar, maka di sedikit menggali lubang dan kemudian menutup kembali. Belum lagi tidak adanya air bersih. Jadi kondisinya memang sangat tidak sehat, diamping kumuh juga bau yang tidak sedap menyengat dimana-mana.
Disamping kurang layak, jumlah fasilitas MCK ini juga terbatas, akibatnya banyak perempuan yang mengeluh karena keterbatasan tempat ini. Dalam soal buang air kecil misalnya, tidak seperti laki-laki yang bisa melakukan dimana-mana, sekalipun dibawah pohon, bagi perempuan itu sulit dilakukan. Perempuan tidak bisa buang air kecil sembarangan. Untuk itu ketika fasilitas MCK ini terbatas, maka akan menambah beban perempuan. “Waktu itu saya sudah tidak tahan lagi untuk buang air kecil, ketika saya kekamar mandi ternyata masih harus mengantri, saya bingung sekali, untungnya ada solidaritas dari ibu-ibu di posko. Waktu itu ada tiga orang yang membantu saya dengan membentangkan kain sarung, untuk menutupi saya ketika buang air kecil. Kalau tidak ada merekasaya nggak tahu bagaimana saya harus buang air kecil,” ujar Nuraini 25 tahun, mahasiswi Unsyiah yang menjadi mengungsi karena rumahnya hilang terhempas badai tsunami.
Selain mendapatkan MCK yang sulit, bagi perempuan kesulitan yang lain adalah ketika mereka ganti baju. Inilah yang membedakan dengan laki-laki, sehingga perhatian terhadap perempuan memang harus dilakukan. Jika laki-laki iungin mengganti baju, dia akan melepas pakaian begitu saja, di mana saja. Hal ini berbeda dengan perempuan yang tidak bisa membuka baju sembarangan. Apalagi bagi mereka yang menggunakan pakaian muslim seperti Jilbab. Hal ini pula yang dialami oleh Nuraini, ketika harus mengganti kerudung atau baju muslimnya. “Saya merasa risih jika harus mengganti kerudung, karena saya tidak mempunyai tempat yang khusus yang bisa saya gunakan secara leluasa untuk mengganti baju, pakaian dalam dan juga jilbab saya, kalau membuka sembarang, disamping malu hal ini dilarang oleh ajaran yang saya yakini,” ujar Nuraini.
3. Tanggungjawab domestik masih dibebankan perempuan
Tidak adanya kebutuhan air dan fasilitas yang layak untuk MCK seperti yang digambarkan diatas, semakin menambah beban berat perempuan, karena dalam situasi seperti ini perempuan masih tetap menanggung beban tanggungjawab domestik, mulai dari memasak, mencuci pakaian, mengurus dan memandikan anak dan sebagainya. Masalah pembagian peran ini memang seolah-olah tidak bisa dikompromiskan. Tanggungjawab domestik seolah-olah menjadi kodrat perempuan. Laki-laki umumnya berkeliling mencari bantuan di luar tenda.
Beban domestik bagi perempuan dalam situasi seperti ini sangatlah berat, semua serba terbatas dan semua harus dilakukan yang menambah stress seorang perempuan. Hal ini seperti yang dialami oleh ibu Siti 35 tahun. “Di pengungsian ini capek dan berat pak, mana saya harus mengurus anak, memandikan anak, memasak, juga mencuci, sementara air dan tempat untuk mencuci kurang dan terbatas. Kalau tidak di cuci bau dan kasihan anak-anak kalau tidak mandi. Kalau suami saya seringnya keluar cari bantuan, entah makanan atau apa saja,” ujar ibu Siti. “Kalau saya mengurus diri saya sendiri sih mungkin masih bisa, tetapi saya juga harus mengurus anak-anak saya, jadi terkadang saya nggak sempat ngurus diri saya sendiri,”ujar Ibu Siti.
4. Ibu hamil dan menyusui kurang mendapatkan vitamin dan layanan kesehatan.
Kondisi yang juga menyedihkan terjadi pada ibu hamil dan menyusui. Mereka tidak saja kurang mendapatkan pasokan gizi namun juga perawatan medis secara periodik, karena bagaimanapun juga dalam situasi apapun kesehatan ibu saat hamil juga perlu terus dipantau, karena tidak saja mengancam keselamatan ibunya tetapi juga anak yang dikandungnya.
Minimnya pasokan gizi ini seperti yang dialami oleh ibu Yusnidar yang kini sedang mengandung 6 bulan. Sejak di pengungsian hampir 2 minggu, ia kurang mendapat mendapatkan perawatan medis. Makanan yang dia konsumsipun seadanya, sama seperti pengungsi lainnya yang tidak hamil, bahkan ibu Yusnidar mengaku hampir tidak pernah mendapat pasokan makanan bergizi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, padahal makanan-makanan itu sangat dia perlukan dalam situasi hamil. Vitamin memang ia dapatkan, tetapi itu yang ada saja di posko pengungsian. “Saya pengen sekali makan buah, sejak di sini saya jarang sekali makan buah dan sayuran, padahal saya juga butuh gizi untuk anak yang saya kandung. Di sini makanannya lagi-lagi mie instant. Sejak disini pula saya ngak pernah mendapat pemeriksaan dokter, tenaga medis memang ada, namun sangat terbatas,” ujar Yusnidar.
Masalah ibu hamil ini memang cukup kompleks dan seharusnya mendapatkan penanganan khusus. Bahkan, menurut pengakuan Dr Yosephin, tenaga medis yang membantu di forum LSM Aceh, banyak ibu-ibu hamil yang ditemuinya mengalami gangguan kehamilan misalkan letak plasenta kandungan yang rendah yang harus di operasi, karena kalau tidak ia akan mengalami pendarahan terus menerus. Kalau ini terjadi dan tanpa ada penanganan medis, akan berakibat pada kematian ibu akibat pendarahan. Menurut ibu Yoshepin, juga di sejumlah posko pengungsian, banyak sekali obat-obatan dan perlengkapan medis, namun persoalannya tidak tersedianya tenaga medis. Jadi bantuan obat-obatan yang datang menjadi percuma tidak bisa digunakan dengan baik. Belum lagi ketersediaan ambulans yang setiap saat dibutuhkan untuk ibu hamil ini sangat minim. Tentu ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian ibu dan anak kalau lambat mendapat pertolongan.
Sedangkan bagi ibu yang menyusui, persoalannya tidak jauh berbeda dengan ibu yang sedang hamil yaitu berkaitan dengan pasokan vitamin dan sayur-mayuran sebagai penambah gizi untuk air susu ibu (ASI). Sejumlah ibu-ibu yang menyusui mengeluh karena sejak dipengungsian dirinya sulit mendapat makanan tambahan gizi, padahal dia harus menyusui. Ibu-ibu ini makanannya hanya mie instant yang kandungan gizinya untuk ASI hampir tidak ada sama sekali. Bahkan, ada yang sampai ASI nya tidak keluar lagi.
Dan menurut pengakuan seorang ibu payudaranya mengalami sakit karena harus dipaksa memberi ASI anaknya, sementara kadang-kadang ASInya keluar kadang tidak. Dengan kondisi seperti itu, maka ibu ini terkadang memberi susu formula untuk anaknya, daripada tidak mendapat susu sama sekali. “Kasihan anak saya pak, ia gizinya menurun, kadang saya beri ASI, kadang saya kasih susu yang saya dapat dari posko. Saya sendiri tidak mendapat tambahan vitamin, kalau bisa ada sayur-sayuran untuk ibu yang menyusui seperti saya ini, ujar ibu Maimunah sambil mengendong bayinya yang berusia 9 bulan.
Masalah pasokan gizi ini menjadi penting karena, menurut salah seorang tenaga medis yang ada di forum LSM Aceh mengatakan bahwa ada kasus yang memprihatinkan yang terjadi pada salah seorang ibu yang menyusui. Ia pingsan sehabis menyusui anaknya. Setelah mendapat pengecekan medis, ibu ini ternyata minim pasokan gizi, terutama bagi dirinya. Jadi daya tahan tubuh si ibu lemah, sementara dia juga harus memberikan ASI nya untuk anaknya.
Masalah air bersih juga menjadi masalah tersendiri bagi ibu hamil dan menyusui. Bagi ibu hamil, ia kerap ke kamar mandi, entah buang air kecil atau sakit perut yang terus dirasakan. Sementara itu bagi ibu yang menyusui, kebutuhan popok bayi juga sangat minim. Sementara anak kecil hampir setiap hari membutuhkan pakaian ganti baru. Tidak tersedianya air bersih menyulitkan ibu-ibu ini untuk mencucui pakaian bayinya yang setiap harus memaksa harus diganti. Bahkan banyak sekali anak-anak bayi yang akhirnya tidak memakai baju, atau bajunnya tidak ganti.
Itulah gambaran mengenai kondisi ibu hamil dan menyusui di pengungsian. Jika diidentifikasikan maka persoalannya dapat terlihat dalam beberapa hal, pertama pasokan gizi dan vitamin yang kurang, Kedua penanganan tenaga medis yang kurang, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya tenaga media di posko-posko pengungusian, Ketiga, tidak adanya pasokan air bersih untuk mencuci popok dan pakaian bayi yang setiap saat diperlukan dalam kuantitas yang banyak, dan Keempat, kekurangan pakaian dan popok untuk bayi, sehingga bantuan yang datang diharapkan juga memperhatikan aspek ini.
5. Akses perempuan mendapatkan bantuan sangat terbatas
Dari hasil investigasi juga terungkap bagaimana akses perempuan untuk mendapatkan bantuan sangat lemah dibandingkan laki-laki. Tidak saja terbatas secara fisik, beban domestik perempuan juga menghambat perempuan untuk mempunyai peluang mengkases bantuan yang datang. Bagi sebuah keluarga yang ada seorang laki-laki mungkin masih bisa mengandalkan mereka yang laki-laki, namun jika satu keluarga itu perempuan semua, maka akses mereka sangatlah kecil. Apalagi beberapa bantuan yang didistribusikan bersifat berebutan, kontan saja para pengungsi perempuan akan kalah dengan pengungsi laki-laki yang jauh lebih kuat untuk berebut.
Hal ini seperti yang di keluhkan oleh keluarga ibu Yasmin, di posko pengungsian TVRI. Ia tinggal bersama 4 orang anaknya, 3 perempuan dan 1 laki-laki. Ketika diwawancara ibu Yasmin ini mengeluh karena kesulitan mendapat bantuan, karena tidak ada anak laki-laki yang dewasa, karena anak laki-lakinya masih kecil. Menurutnya, karena tidak ada laki-laki yang sudah dewasa keluarganya tidak seperti tetangganya yang dengan mudah mendapat bantuan karena ada laki-laki dewasa yang sanggup berebut bantuan.
“kalau bisa bantuan jangan dibagikan secara berebutan, karena kami ini yang keluarganya semua perempuan yang sering tidak mendapat bagian. Tidak mungkin kami berebut, apalagi kondisi kami lemah. Saya punya anak laki-laki tapi masih kecil. Di tenda-tenda yang ada orang laki-laki dewasa dia bahkan bisa mendapat satu karung,” ujar ibu Yasmin. Karena keterbatasan itulah, ibu Yasmin dan keluarganya hanya menerima bantuan yang memang dibagi-bagikan ke tenda pengungsian.
6. Bantuan untuk perempuan adalah perlengkapan masak – memasak
Jika ada bantuan yang datang khusus perempuan, maka bantuan yang diterima bukanlah bantuan yang spesifik yang diterima perempuan seperti pada poin pertama diatas. Bantuan yang datang justru bantuan yang berkaitan dengan kegiatan domestik, yang semakin menegaskan posisi perempuan yang mempunyai tanggungjawab domestik.
Hal ini terjadi di posko pengungsi di dinas sosial yang secara kebetulan ketika Tim YJP datang sedang ada pembagian bantuan. Tim YJP melihat petugas posko mengumumkan bahwa telah datang bantuan khusus untuk ibu-ibu atau perempuan. Petugas itupun membacakan apa saja yang terdapat dalam paket bantuan itu yaitu; Kompor, ember, alat penggorengan, pisau dapur, sendok, piring dan sabun cuci piring. Bantuan ini memang dibutuhkan bagi pengungsi, namun apakah bantuan ini yang diperlukan untuk perempuan? Karena dari daftar kebutuhan itu tidak ada barang pakaian dalam yang termasuk juga pembalut yang mempuyai pengaruh signifikan bagi perempuan dan kesehatan reproduksinya.
Bantuan perempuan alat masak-memasak yang diidentikkan dengan kebutuhan perempuan ini tentunya berdampak secara negatif bagi tersedianya bantuan yang yang lebih spesifik lagi. Karena dengan demikian, petugas posko merasa kebutuhan perempuan sudah tercukupi, padahal bentuk kebutuhannya sangat berbeda dari yang dibutuhkan perempuan secara khusus.
C.4. Kondisi Pengungsi Anak-Anak
Selain perempuan, bencana ini juga mempunyai dampak bagi anak-anak yang akhirnya harus tinggal di pengungsian. Dari investigasi di 7 posko pengungsian beberapa catatan yang terkait dengan kondisi anak-anak dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Anak-anak kehilangan ruang bermain
Salah satu masalah yang paling utama bagi anak-anak adalah hilangnya ruang bermain. Anak-anak belum mampu mencerna tentang peristiwa yang sedang terjadi dan dialaminya, sehingga anak-anak masih tetap membutuhkan ruang bermain untuk dirinya. Pipit, dari komnas perlindungan anak yang juga bersama-sama berada di posko pengungsian mengatakan bahwa mekanisme pertahanan diri bagi anak adalah bermain, jadi ruang bermain bagi anak juga harus di tetap disediakan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan komentar Seto Mulyadi yang juga dari Komnas perlindungan anak. Menurut kak Seto, anak jangan dibebani untuk bersedih seperti orang dewasa, karena akan berpengaruh pada kondisi psikologisnya, kalau tidak segera diberi ruang bagi anak-anak dia akan mengalami trauma dan dendam akan lingkungan sosialnya.
Lalu bagaimana dengan kondisi anak-anak di posko pengungsian? di sejumlah posko yang ditemui, tidak nampak keceriaan anak-anak. Mereka nampak tegang, takut dan tidak terurus. Tidak ada permainan yang khas yang dilakukan oleh anak-anak. Mereka kebanyakan bergerombol dengan orang-orang dewasa, bahkan sesekali berebut bantuan dan meminta-minta kepada setiap orang asing yang ada.
Sila, misalnya anak perempuan berusia 7 tahun ini merasa tidak kenal sama anak-anak disini sehingga dia tidak bisa bermain, dan kalau bermain Sila sulit menentukan permainannya, tidak seperti di tempat tinggalnya dulu. “Nggak kenal siapa-siapa lagi, terus mau main, main apa? Dulu enak main lari-lari sama teman-teman,” ujar Sila.
2. Anak-anak terserang penyakit diare dan gatal-gatal
Salah satu masalah yang timbul bagi anak-anak adalah masalah kesehatan. Di posko pengungsian yang kumuh, sangat rentan bagi anak-anak untuk terserang penyakit, terutama gatal-gatal dan diare. Anak-anak ini terserang diare karena tidak terkontrol makananya. Selama di posko pengungsian, mereka tidak terawat dengan baik, baik kebersihannya maupun makanan yang dikonsumsinya. Selain itu makanan mie instant yang terus-menerus mereka konsumsi setiap hari berpengaruh pada pencernaan sehingga yang dirasakan sekarang adalah sakit perut. Selain diare anak-anak juga terserang penyakit gatal-gatal. Hal ini dikarenakan tingkat kebersihan air dilingkungan kesehatan yang tidak memadai.
3. Gizi makanan bagi anak-anak kurang
Gizi makanan bagi anak-anak sangatlah kurang. Hampir setiap hari yang dikonsumsi anak adalah makanan yang juga dikonsumsi orang dewasa yang belum tentu baik bagi perkembangan anak. Makanan yang hampir dipastikan mereka konsumsi setiap hari adalah mie instant. Tidak ada satupun diposko pengungsian yang mempunyai variasi makanan khususnya bagi anak-anak.
Minimnya gizi bagi anak-anak ini terlihat dari pandangan mereka sangat luyu dan kotor. Beberapa anak yang berhasil ditemui Tim YJP menurut pengakuan orangtuanya mengalami penurunan berat badannya. “Anak saya sejak d ipengungsian semakin terlihat kurus dan kotor, dan terkadang sering sakit, padahal sebelumnya badannya cukup gemuk dan selalu bersih, saya sangat mengkhawatirkan kondisi anak-anak ini, apalagi sekarang saya tidak bisa mengontrol dengan baik apa yang mereka lakukan setiap hari, “ujar Isma, orang tua Alif seorang anak laki-laki berusia 4 tahun.
4. Anak-anak mengalami perubahan perilaku
Salah satu gejala yang juga berhasil di tangkap oleh Tim YJP dari pengamatan dan hasil wawancara adalah perubahan perilaku pada anak-anak. Anak-anak yang ada di posko lebih banyak menjadi anak yang pendiam. Mereka terlihat stress dengan perubahan situasi yang terjadi. Hal ini seperti pengakuan ibu Siti yang anaknya sekarang tidak seceria dulu lagi. Dia banyak melamun dan diam, setiap ketemu orang agak takut. Anaknya berusia 6 tahun “Hampir setiap hari dia selalu menanyakan, ma kapan pulang?, “ujar ibu Siti menirukan anaknya.
5. Anak-anak rentan penculikan dan perdagangan
Salah satu isu yang marak yang terjadi pada anak-anak pasca bencana gempa dan tsunami ini adalah penculikan dan perdagangan anak-anak. Hasil investigasi YJP memang tidak menemukan informasi dan data akan penculikan dan perdagangan anak tersebut. Sejumlah informasi yang diperoleh Tim YJP namun ketika di cross cek ulang tidak berhasil ditemukan jawabannya, dan memang jadinya simpang siur antara informasi yang satu dengan yang lain.
Namun demikian, jika diamati bagaimana kondisi anak-anak ini di pengungsian memang cukup rentan untuk terjadinya penculikan dan perdagangan. Hal ini terkait dengan kondisi posko pengungsian yang tidak teratur dan banyak sekali orang-orang yang lalu lalang tidak jelas. Sementara itu banyak juga terdapat anak-anak yang lalu lalung tidak terawasi dengan baik.
Dengan kondisi yang seperti ini, bukan tidak mungkin anak-anak ini menjadi rentan untuk terjadi penculikan. Kondisi rentan juga memang bisa terjadi karena beban orang tua yang berat dengan jumlah anak yang banyak sangat mungkin orang tua akan menjual anaknya. Apalagi pendataan berapa jumlah anak di setiap posko pengungsian tidak dilakukan secara baik. Sehingga pengawasan terhadap anak-anak inipun menjadi rendah.
C.5. Kondisi Aktivis dan LSM Perempuan di Banda Aceh
Selain untuk melihat gambaran masalah perempuan dan anak-anak, Tim YJP ke Banda Aceh juga ingin mengetahui bagaimana kondisi rekan-rekan aktivis perempuan di Banda Aceh yang selama ini menjadi mitra Yayasan Jurnal Perempuan. Termasuk juga untuk mengetahui bagaimana kondisi radio jaringan Yayasan Jurnal Perempuan. Setelah melakukan pertemuan dengan sejumlah aktivis, maka beberapa dapat diinformasikan sebagai berikut:
1. Sejumlah staff LSM perempuan Flower Aceh di kabarkan selamat, namun kantor flower aceh tidak bisa diselamatkan. Barang-barang, buku dan sejumlah berkas-berkas penting kegiatan mereka selama ini hilang hanyut oleh gelombang tsunami. Namun demikian, Tabrani Yunis yang pernah menjabat sebagai pengurus di Flower Aceh sampai saat ini tidak menemukan keluarganya (anak dan istrinya). Selain itu Hijriyanti salah satu pendiri Flowers Aceh keluarganya juga hilang dan belum ditemukan sampai saat ini.
2. Staff KKTGA (Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh) yaitu M.Nur sampai saat ini belum diketahui nasibnya, sementara itu staf yang lain di kabarkan selamat. Seperti halnya Flower Aceh, kantor KKTGA juga rusak. Sejumlah data dan berkas-berkas kegiatan mereka hilang tersapu gelombang tsunami.
3. Radio jaringan Baiturrohman sampai tanggal 9 Januari 2005 lalu, masih belum bisa dimasuki. Lokasi radio ini masih tertutup karena belum diadakan pembersihan dan evakuasi. Menurut informasi yang di peroleh, radio Baiturohman dalam kondisi rusak berat, dan tidak bisa beroperasi lagi. Radio jaringan jurnal perempuan yang juga mengalami kerusakan total adalah radio prima FM. Kerusakannya sampai berakibat tidak bisanya beroperasinya kembali radio tersebut karena bangunan dan semua peralatan stasiun radio rusak berat.
D.Kesimpulan
Berdasarkan sejumlan temuan diatas, maka Tim YJP mempunyai tiga kesimpulan sebagai berikut:
1. Persoalan perempuan belum dijangkau sebagai persoalan yang komprehensif di dalam situasi apapun termasuk situasi darurat seperti yang terjadi di Aceh. Dalam situasi apapun, termasuk darurat seharusnya persoalan perempuan tetap dipertimbangkan sebagai persoalan yang spesifik dan khusus. Kebutuhan perempuan tidak bisa distandarisasikan dengan kebutuhan umumnya, tanpa mempertimbangkan dimensi gender. Memahami kebutuhan masyarakat tidak bisa tunggal. Memahami kebutuhan masyarakat harus berpijak pada situasi bahwa didalam masyarakat itu ada laki-laki dan perempuan yang mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda.
Namun sayangnya perbedaan kebutuhan dalam masyarakat ini tidak bisa ditangkap oleh sebagian besar masyarakat baik dalam situasi normal maupun darurat. Situasi ini tentunya berdampak kurang baik bagi perempuan, karena ketika dalam situasi darurat seperti yang terjadi di Aceh, maka sejumlah bantuan yang datang benar-benar tidak bisa menjangkau kebutuhan perempuan secara khusus. Hal ini tentunya tidak terlepas dari penyamarataan kebutuhan dalam masyarakat.
2. Distribusi yang tidak terkoordinasikan dengan baik serta birokrasi panjang dalam proses penyaluran bantuan berdampak pada tidak terlayaninya perempuan dalam kondisi darurat. Tentunya hal ini berdampak pada aspek-aspek lain yang terjadi pada perempuan, misalnya kesehatan reproduksi. Karena perempuan sulit mendapatkan pembalut, maka perempuan menggunakan pembalut bekas yang tingkat kebersihannya tidak bisa dijamin. Pembalut bekas akan menimbulkan kuman yang dapat menginfeksi organ reproduksi perempuan yang rentan terhadap penyakit atau virus yang datang. Sementara organ reproduksi merupakan bagian vital dari perempuan.
3. Penanganan kesehatan bagi perempuan yang kurang diperhatikan. Hal ini terlihat dari sejumlah penanganan terhadap perempuan yang hamil dan menyusui yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus kesehatan, namun mereka masih sangat minim terutama pasokan gizi padahal dalam kondisi seperti ini mereka sangat membutuhkan. Kurang diperhatikannya masalah kesehatan bagi perempuan hamil dan menyusui ini tentu berdampak pada perempuan dengan berbagai resiko. Misalnya untuk perempuan hamil, pasokan gizi yang kurang, berdampak pada kesehatan ibu hamil. Kurangnya gizi pada perempuan hamil tidak saja berdampak buruk bagi kesehatan ibu, tetapi juga berdampak pada kesehatan bayi yang dikandung. Resiko yang paling buruk adalah kematian ibu pada saat melahirkan karena memang ibu tidak mempunyai kekuatan karena gizi yang dikonsumsi kurang.
4. Bagi pengungsi anak-anak mereka belum mendapatkan perlindungan dan penanganan yang baik. Kondisi ini tentunya berdampak buruk bagi anak dari berbagai persoalan misalnya hilangnya ruang bermain mereka, rentan penculikan, rentan perdagangan anak, kesehatan yang tidak terjamin. Tanpa penanganan dan perlindungan bagi anak ini dalam jangka panjang akan berisiko pada trauma yang akan terus membayangi hidup si anak. Anak bisa jadi pendendam terhadap situasi sosial yang nantinya akan dia jalani.
E. Rekomendasi
Atas sejumlah pemaparan fakta dan kesimpulan diatas, maka rekomendasi yang bisa dilakukan untuk penganan perempuan korban gempa dan tsunami di Aceh adalah sebagai berikut:
1. Kepada para pemberi bantuan setidaknya memikirkan dan memasukan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan secara lebih spesifik seperti pakaian dalam dan pembalut dalam setiap paket bantuan yang disalurkan.
2. Perlu pendataan secara lebih spesifik disetiap posko pengungsian berapa jumlah pengungsi laki-laki, berapa jumlah pengungsi perempuan dan berapa jumlah pengungsi anak-anak. Dengan pendataan ini maka akan teridentifikasi kebutuhan masing-masing, sehingga bantuan yang direkomendasikan juga berdasarkan data yang ada.
3. Perlu adanya sukarelawan yang khusus menyalurkan bantuan spesifik untuk perempuan. Hal ini akan membantu kerja petugas posko pengungsian dalam mendistribusikan bantuan yang ada, sehingga bantuan yang didistribusikan bisa merata dan tepat sasaran.
4. Perlu dibangun tenda khusus untuk perempuan yang bisa digunakan oleh perempuan ketika berganti pakaian, menyusui, dan bahkan bila perlu dibangun MCK yang benar-benar khusus untuk perempuan. Pos ini hanya digunakan untuk kebutuhan sesaat tidak untuk tinggal. Untuk kegiatan lainnya mereka tetap tinggal bersama-sama keluarga.
5. Perlu tersedia tim medis khusus yang terus memantau kesehatan ibu hamil dan menyusui, karena merekalah yang rentan mengalami gangguan kesehatan. Termasuk juga mulai dibuka layanan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui.
6. Menghapus birokrasi penyaluran bantuan kepada para pengungsi yang bersifat confidencial, misalkan perlu pembalut sewaktu-waktu bagi perempuan yang sedang haid. Posko harus menyediakan bantuan-bantuan cadangan untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak, sehingga pengungsi akan terus terlayani dalam situasi apapun.
7. Perlu dibangun dan diciptakan ruang bermain bagi anak-anak yang selama ini kurang. Karena pada dasarnya anak-anak jangan dibebani terlalu berat masalah yang dihadapi, karena daya pikir anak-anak belum bisa menjangkau pada persoalan yang besar.
8. Mengajak orang tua untuk terus menjaga anak-anaknya karena situasi pengungsian cukup rentan terjadinya penculikan, termasuk memberi penyadaran bagi orang tua agar tetap mengasuh anaknya meskipun dalam kondisi susah. Hal ini penting karena dalam situasi sulit orang tua terkadang tidak mau menanggung beban anak-anaknya, sehingga mudah dibujuk rayu untuk menjual anaknya.
F. Penutup
Demikian laporan investigasi ini. Kami berharap laporan ivestigasi ini bisa memberikan gambaran nyata khususnya bagi kondisi perempuan dan anak-anak akibat bencana gempa dan tsunami di Banda Aceh. Akhirnya atas nama Tim Aceh YJP, kami berharap laporan investigasi ini dapat bermafaat bagi perempuan, anak-anak, dan masyarakat yang menjadi korban bencana dan juga bagi mereka yang peduli akan nasib perempuan dan anak korban bencana.
Jakarta, 14 Januari 2005
Eko Bambang Subiyantoro